Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dapatkah Kita Mendeteksi Puting Beliung?
21 Januari 2019 11:29 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, kita semakin sering mendengar kejadian puting beliung melanda beberapa wilayah di Indonesia. Satu di antaranya, yang memberikan dampak kerusakan dan kerugian terbesar, adalah kejadian puting beliung yang memporak-porandakan pemukiman di Rancaekek, Bandung, 11 Januari 2019.
ADVERTISEMENT
Kemudian muncul pertanyaan, terkait bagaimana sebenarnya proses fisis terbentuknya puting beliung dan cara mendeteksinya agar ke depan kita dapat meminimalisir dampak yang diakibatkannya.
Sebagai miniatur (small scale) tornado, kecepatan rotasi angin, durasi, dan panjang lintasan terdampak dari puting beliung memang tidak sebesar tornado. Namun demikian, sebagaimana laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengacu pada kasus puting beliung di Rancaekek, maka tentu daya rusak puting beliung sebagai bagian dari bencana hidrometeorologi tidak boleh diremehkan. Dalam peristiwa itu, tercatat 640 unit rumah mengalami kerusakan, termasuk 1 orang luka berat, serta lebih dari 82 Kepala Keluarga mengungsi, bahkan telah ditetapkan masa tanggap darurat selama 7 hari.
Durasi kejadian puting beliung yang cenderung sangat singkat, umumnya 5-10 menit, tentu menyulitkan dalam mengidentifikasinya. Bahkan, belum pernah terukur secara pasti berapa besar kecepatan rotasinya. Selama ini, asumsi yang digunakan hanya berdasarkan kerusakan secara visual, yaitu sekitar 60 kilometer per jam.
ADVERTISEMENT
Puting beliung merupakan angin yang berputar (spin) menyerupai corong (funnel shaped), yang berasosiasi dengan sel konvektif awan badai (thunderstorm) dan diinisiasi oleh sejumlah vertikal wind shear (geser angin) akibat adanya perbedaan kecepatan (velocity) antara angin pada level ketinggian yang berbeda di atas permukaan tanah dan bertiup bersamaan dalam satu lokasi. Selanjutnya, udara yang bergerak lebih cepat mulai berputar (spin) di atas angin yang lebih lambat secara horizontal. Proses invisible ini akan semakin aktif dan rotasi putaran semakin cepat dengan ukuran yang lebih besar (reinforcement process).
Pada saat atmosfer dalam kondisi labil kuat, aliran udara hangat ke atas (updraft) dari awan badai atau Cumulonimbus (Cb) yang mengalami fase pematangan (mature stage) akan mengangkat rotasi akibat wind shear tersebut menjadi vertikal masuk ke dalam sistem awan. Pada proses ini, puting beliung sepenuhnya telah terbentuk dan bergerak seiring angin dari awan badai. Biasanya, rotasi besar ini terjadi di sisi belakang awan badai kemudian meluas ke bawah menyentuh permukaan (touch down).
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, sebelum memahami instrumen atau peralatan apa yang dibutuhkan dalam mendeteksi puting beliung, setidak-tidaknya telah dipahami mekanisme pembangkit puting beliung yang melibatkan asosiasi antara vertikal wind shear dan awan badai.
Jawa Barat dan sekitarnya, dengan kekasaran permukaan beragam dan ketinggian bervariasi akibat pengaruh orografi, menjadi sumber ideal mekanisme wind shear. Sebagaimana aliran angin yang melewati pegunungan akan berosilasi sinusoidal menghasilkan gelombang gunung (mountain wave) dan berimbas pada wind shear.
Lantas, bagaimana ternyata mekanisme wind sear ini di mengalami amplifikasi (penguatan) dari penetrasi angin laut (sea breeze), mengingat temperatur muka laut (Sea Surface Temperature) yang cenderung menghangat dari utara maupun selatan Jawa? Perlu diwaspadai, terutama topografi sekitar Bandung tak ubahnya seperti mangkuk.
ADVERTISEMENT
Meskipun tentu perlu dikaji lebih lanjut seberapa jauh penetrasi angin laut ke daratan yang menurut beberapa peneliti, bahkan dapat mencapai 80-100 kilometer. Lalu, perlu diketahui juga mekanisme Sea Breeze Front (SBF), yang umumnya memiliki panjang muka 20-30 kilometer dan mengintrusi daratan hingga 20 kilometer.
Mekanisme kedua pembangkit puting beliung adalah adanya awan-awan badai (thunderstorm) yang merupakan tahapan sempurna dari Cumulonimbus (Cb), baik satu sel (single cell) maupun banyak sel (multi cell). Indikasi jenis awan-awan konvektif cumuliform matang ini adalah terbentuk tiga lapisan awan dari bawah ke atas, yaitu lapisan kondensasi (di bawah isoterm 0°C) tempat berkumpulnya tetes-tetes air; lapisan campuran (mixed layer), yang merupakan pusat awan yang terdiri dari tetes-tetes kelewat dingin (belum mengkristal) dan kristal-kristal es biasanya di tropis lapisan ini mencapai temperatur -40°C; serta lapisan atas awan (top cloud), yang mencapai temperatur -60 °C dengan komposisi partikel es solid baik kristal es maupun embrio hailstone (batu es hujan).
ADVERTISEMENT
Dalam studi kasus Rancaekek, observasi penginderaan jauh menggunakan Satelit Himawari 8, terlihat temperatur puncak awan mulai pukul 14.00-15.50 WIB variasi temperatur puncak awan berkisar antara -60 hingga (-90 °C). Kemudian, dengan memisahkan (filtering) dan mengeliminasi awan-awan nonkonvektif, didapat secara visual aktivitas multi cell Cb.
Dari paparan di atas, instrumen yang diperlukan, baik itu sistem penginderaan jauh maupun pengamatan udara atas dan bawah, harus dapat menjawab atau setidak-tidaknya memberikan gambaran tentang wind shear dan pertumbuhan awan badai (thunderstorm) yang melibatkan analisis labilitas atmosfer, angin laut, kekasaran permukaan (topografi), dan pemahaman akan pembangkit cuaca/iklim benua maritim Indonesia yang melibatkan kondisi lokal, regional dan global.
Dengan asumsi analitik di atas, sepertinya, wilayah-wilayah Jawa Barat bagian selatan atau khususnya Bandung bagian Selatan memiliki kerentanan yang tinggi untuk terpapar kebencanaan hidrometeorologi, tapi tentunya membutuhkan kajian secara komprehensif lagi.
ADVERTISEMENT
Ayo, waspada bencana hidrometeorologi!