Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mewaspadai Bencana Hidrometeorologi di Penghujung Tahun 2018
13 November 2018 10:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam sepekan ini, beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami dahsyatnya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, longsor, dan puting beliung. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahkan mencatat 7 orang meninggal dunia akibat bencana hidrometeorologi antara 7-12 November 2018 yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Barat, dan Tasikmalaya.
ADVERTISEMENT
Secara statistik, bencana hidrometeorologi dari tahun ke tahun semakin meningkat, sepanjang tahun 2018 saja terdapat sebanyak 605 kejadian puting beliung, banjir 506 kejadian, dan longsor 319 kejadian.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah dampak perubahan iklim semakin nyata merespon aktivitas manusia? Sebelum menjawab itu semua, secara umum, kita perlu memahami berbagai faktor pengendali iklim di wilayah Indonesia yang patut dicermati dalam mengantisipasi bencana hidrometeorologi. Di antaranya yaitu: IOD (Indian Ocean Dipole), ENSO (El Niño-Southern Oscillation), Monsun, dan suhu muka laut serta MJO (Madden Julian Oscillation).
Semuanya memberikan dampak dalam pertumbuhan awan di wilayah Indonesia. Monitoring IOD dengan indeksnya menunjukkan nilai 0.8, 0.5, dan 0.17 (normal) berturut-turut sejak September, Oktober, dan November 2018. Secara umum lebih banyak uap air dari Indonesia yang keluar menuju Samudra Hindia. Kondisi ini diperkirakan terus berlanjut hingga akhir tahun nanti.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, untuk periode yang sama, yaitu September-Oktober-November, ENSO dimonitor normal hingga lemah dengan indeks berkisar 0.3-0.95, artinya dominasi aliran udara keluar terjadi dari Indonesia ke Samudra Pasifik, meski demikian superposisi IOD dan ENSO dapat terjadi, terutama di Indonesia bagian barat. Aktivitas Monsun meskipun tidak terlalu aktif tapi Monsun Asia cenderung akan menguat selama bulan November dan memberikan peluang pembentukan awan hujan terutama Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.
Sementara itu, sepanjang November 2018, Monsun Australia cenderung masih cukup kuat, sehingga menekan potensi pembentukan awan hujan di sekitar Jawa timur, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi bagian selatan. Kondisi suhu permukaan laut di wilayah perairan Indonesia masih bernilai netral dengan anomali suhu berkisar antara -1.0 °C sampai dengan 1.0 °C.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini cukup memberikan peluang penguapan dan pertumbuhan awan di beberapa wilayah Indonesia, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Analisis MJO aktif berada di wilayah Afrika Timur (fase 1) dan diprediksi tetap aktif selama Dasarian I Nov 2018 memasuki fase 2 dan 3.
Berdasarkan peta prediksi spasial anomali OLR, selama Dasarian I Nov sampai pertengahan Dasarian II Nov 2018 perairan Indonesia bagian timur terdapat wilayah subsiden/kering yang menghambat pertembuhan awan hujan, sedangkan di sekitar Sumatera terbentuk daerah konveksi yang mendukung pembentukan awan hujan. Beberapa faktor pengendali ternyata belum memberikan nilai signifikan secara linier dalam peningkatan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Lantas faktor apa sebenarnya yang terjadi? Perlu diketahui, Indonesia merupakan satu di antara tiga negara dengan konveksi terbesar di dunia, tidak sulit untuk awan-awan konvektif (awan berpotensi hujan) tumbuh dan menjulang di Indonesia bahkan sampai pada bentuk sempurnanya yaitu awan Cumulonimbus (Cb) yang dapat tumbuh secara tunggal (single cell) ataupun berkelompok (multi cell) mencapai level tropopause (18 kilometer) dengan jangkauan 2-8 kilometer.
ADVERTISEMENT
Apalagi pada musim-musim peralihan ke musim hujan (September-Oktober-November), potensi tumbuh Cb semakin menjadi-jadi. Ada tiga produk yang dihasilkan oleh awan-awan Cb di antaranya: hujan lebat sampai ekstrem, angin kencang bahkan puting beliung serta petir. Hasil pengamatan satelit Himawari memperlihatkan seringnya Cb multi cell dengan suhu puncak awan yang mencapai di bawah -70°C, sehingga rentan terhadap hujan ekstrem.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan hujan es karena kuatnya konveksi yang mendorong tetes-tetes air yang sangat dingin (super cooled water) pada lapisan tengah awan ke lapisan puncak awan sehingga membeku dan menjadi bongkahan es (hail) yang tidak sempat mencair ketika mencapai permukaan tanah. Tidak sampai di situ, tumbukan antara partikel presipitasi (hail) dan partikel awan (tetes) akan menghasilkan pemisahan muatan positif dan negatif sehingga memicu terjadinya petir.
ADVERTISEMENT
Sambaran petir awan ke tanah (Cloud to Ground, CG) dapat mencapai 10-20 sambaran/km2/tahun dengan puncak aktivitas antara pukul 15.00-16.00 WIB. Potensi energi panas yang dihasilkan oleh petir dapat mencapai 30.000 K sehingga perlu diwaspadai. Daerah pesisir utara Jawa dan selatan Jawa perlu diwaspadai potensi tinggi gelombang yang dapat mencapai 5-7 meter.
Analisis sifat hujan sebagian besar wilayah Indonesia sepanjang September dan Oktober termasuk rendah hingga menengah (<300 milimeter), hanya beberapa wilayah di Sumatera bagian barat dan Kalimantan bagian barat yang memiliki sifat hujan tinggi (>300 milimeter). Kondisi lahan yang kering dengan ketahanan yang rendah apabila mendadak menjadi jenuh akibat diguyur hujan secara terus-menerus akan berpotensi terjadinya longsor dan banjir, sehingga perlu diwaspadai terutama daerah-daerah dengan kemiringan yang curam.
ADVERTISEMENT
Lantas, apa yang harus dilakukan dengan kondisi tersebut di atas? Di samping itu, kewaspadaan secara individual, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, bahkan sampai pada tingkat satker perlu ditingkatkan. Pengelolaan dan tata kota menjadi masalah terbesar apabila tidak segera ditangani. Mitigasi bencana, kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan pengurangan risiko bencana masih perlu terus ditingkatkan.
Berkurangnya lahan hijau, pendangkalan sungai maupun aliran air sebagai daerah resapan atau penampungan menyebabkan air hujan dengan intensitas yang sedangpun (5-10 milimeter per jam) berisiko menjadi masalah besar karena berpotensi menjadi banjir bandang. Perlu langkah jangka pendek dan jangka panjang dalam mensiasati kondisi cuaca maupun iklim tersebut.
Daerah-daerah yang pernah mengalami banjir bandang perlu segera diperbaiki di samping melakukan identifikasi aliran-aliran sungai, waduk, selokan yang memiliki potensi kejenuhan air tinggi dengan mempertimbangkan kontur lahan di sekitarnya. Sistem kebencanaan nasional berbasis informasi dan dampak perlu dipertimbangkan untuk langkah jangka panjang sehingga ke depan dapat lebih tanggap dan siap dalam menghadapi bencana hidrometeorologi.
ADVERTISEMENT
***
Office:
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Jl Perubungan I No. 5 Komplek Meteo, Pondok Betung Bintaro-Tangerang (15221), Indonesia
Phone: (+621) 73691621, 73691622, 73691623
Fax: (+621) 73692676, 7343508
Website: Http://www.stmkg.ac.id
Home:
Jl. Pasir Impun Rt. 03 Rw. 04 Bandung (40194), Indonesia
Phone: +62 8151869384
Email: [email protected], [email protected]