Konten dari Pengguna

PLTU Suralaya Jadi Penyebab Polusi Udara Jakarta?

Deni Septiadi
Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG
25 Agustus 2023 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana PLTU Suralaya. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu lalu beredar sebuah peta spasial yang menggambarkan bahwa kontributor utama penyebab polusi udara Jakarta dan sekitarnya bukanlah dari kendaraan atau sektor transportasi, tetapi diakibatkan oleh aktivitas PLTU Suralaya di Banten.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung analisis ini, mereka berasumsi bahwa pagi dan malam hari polusi udara semakin terasa pekat. Hal ini dihubungkan dengan beban puncak penggunaan listrik pada malam dan pagi hari, serta pembakaran batu bara dari PLTU.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menganggap peta tersebut adalah hoaks yang disebarkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang hanya memperkeruh keadaan. Bagaimana sebenarnya?
Ternyata setelah ditelusuri, peta spasial tersebut berasal dari laporan akhir CREA (Center for Research on Energy and Cleai Air) yang di buat tahun 2020. CREA membuat laporan terkait pencemaran lintas batas Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Menggunakan model meteorologi TAPM/CALPUFF yang dikembangkan oleh CSIRO (Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization), model ini melibatkan variable meteorologi seperti arah dan kecepatan angin, kelembapan, suhu, stabilitas atmosfer dan parameter meteorologi lainnnya.
ADVERTISEMENT
Peta spasial yang viral di Twitter tersebut merupakan sebaran konsentrasi NO2 yang distribusi dispersinya memanjang di atas 100 kilometer, bahkan sampai ke Bandung.
Sebaran polutan mengarah ke arah tenggara, sehingga bisa diasumsikan bahwa model ini mensimulasikan distribusi dispersi pada saat penguatan monsoon Asia di mana arah dominan aliran fluida berasal dari Siberia, Asia (Utara) atau lebih tepatnya pada fase Desember-Januari-Februari (DJF).
Jelas di sini, model dibuat dengan tidak mempertimbangkan faktor topografi, terrestrial, dan kekasaran permukaan. Padahal kalau kita lihat, jelas Jakarta dan kota-kota penyangganya seperti Banten, Tangerang, Bogor, dan Bekasi merupakan daerah urban perkotaan di mana gedung-gedung, perumahan dan bangunan lainnya dapat berlaku sebagai blocking fluida atau penghalang aliran.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, karakteristik konvektif (parameter konvektif) sebagaimana pada model-model meteorologi lainnya tidak menjadi pertimbangan. Padahal awan-awan konvektif lebih masif tumbuh dan berkembang di sekitar Benua Maritim Indonesia (BMI) pada fase DJF ini.
Karakteristik konvektif ini menjadikan angin permukaan lebih variable di samping menjadi blocking aliran fluida terutama dari Asia. Jika dilihat kembali jangkauan radius sebaran mencapai lebih dari 100 km, maka diperlukan sangat banyak emiten atau polutan dari PLTU Suralaya serta dibutuhkan cerobong asap yang sangat tinggi lebih 200 meter dari permukaan.
Lebih lanjut, laporan final tersebut menyebutkan bahwa keluaran model TAPM/CALPUFF merupakan skenario terburuk disperse polutan dari PLTU Suralaya. Sehingga jelas model telah dilakukan peningkatan (improvement) berkali-kali lipat sehingga model ini menjadi over estimate.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan kejadian polusi saat ini (Juni-Juli-Agustus, JJA), di mana dominasi aliran fluida berasal dari monsoon Australia. Jelas model ini tidak dibuat untuk simulasi kondisi terkini.
Kemudian untuk menjawab, mengapa polusi pada pagi hari dan malam hari cenderung lebih terasa pekat? Jelas ini tidak berkaitan dengan beban puncak pemakaian listrik ataupun terkait pembakaran batu bara. Di lapisan batas atmosfer (LBA) dengan ketinggian sekitar 1000 meter dari permukaan, terdapat lapisan inversi.
Umumnya suhu akan turun terhadap ketinggian (lapse rate atau susut suhu). Namun, pada ketinggian dekat permukaan suhu berbalik naik terhadap ketinggian. Lapisan inversi ini berlaku semacam shield (perisai) atau penutup yang membatasi polutan untuk naik lebih tinggi. Sehingga polutan akan terkonsentrasi di bawah lapisan inversi ini.
ADVERTISEMENT
Ketinggian dan keberadaan lapisan inversi dipengaruhi oleh stabilitas atmosfer. Semakin stabil atmosfer (pagi, sore, dan malam) maka polutan akan semakin mendekati permukaan. Sebaliknya, atmosfer akan semakin labil pada siang hari saat radiasi masuk semakin optimal, inversi dan LBA akan terdorong lebih ke atas menjauhi permukaan.
Kesimpulan akhir dari peta spasial distribusi polutan yang bersumber dari PLTU Suralaya menggunakan model CREA tadi jelas over estimated dan perlu dilakukan verifikasi lebih lanjut atau setidaknya dijelaskan lebih rinci untuk menghindari kesalahan interpretasi dalam pembacaannya.
Meskipun tentu kita menyadari bahwa PLTU, industri, kendaraan, rumah tangga, dan lain-lain juga menjadi kontributor emisi polutan—baik itu CO2, NO2, SO2, dan PM 2.5.
Demikian terima kasih.