Konten dari Pengguna

Sistem Peringatan Dini Bencana Hidrometeorologi, Sudah Sejauh Mana?

Deni Septiadi
Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG
24 Januari 2019 16:25 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada pagi hari tanggal 10 Januari 2019, sebelah barat Indonesia terpantau adanya “Eddy” yang pada Pukul 19.00 WIB menjadi pusat tekanan rendah “Low” 1008 hPa. Eddy merupakan sirkulasi fluida sebagai tempat berkumpulnya massa udara yang membawa udara lembap dari Asia ataupun Australia.
ADVERTISEMENT
Sepanjang daerah konvergen (Intertropical Convergence Zone, ITCZ) di bawah ekuator (terdorong di atas Jawa) masih terlihat “clear” dari indikasi berlebih aktivitas konvektif. Sementara itu, di wilayah sekitar Australia terlihat tiga buah tekanan rendah “Low” bervariasi antara 1.005-1.006 hPa sehingga ada penarikan massa udara ke Australia.
Selanjutnya pada tanggal 10-13 Januari 2019 pola cuaca masih bervariasi meskipun tidak terlalu sigifikan. Namun mulai 14 Januari 2019 terlihat kondisi yang sangat aktif di sekitar ITCZ dengan kemunculan Eddy dan pusat tekanan rendah di bawah Sumatera dan Jawa.
Puncaknya pada tanggal 21 Januari 2019 terpantau enam buah tekanan rendah yang disebut sebagai low pressure through dengan variasi tekanan 1.006-1.011 hPa belum termasuk di barat Aceh dan tekanan rendah Australia yang semakin drop dengan gradien tekanan semakin melebar (1.004-1.011 hPa).
ADVERTISEMENT
Saat ini ENSO (El Nino Southern Oscillation) sebagai faktor global pembangkit cuaca dan iklim di wilayah benua maritim Indonesia berada dalam kondisi El Nino lemah (0.5-1.0), begitu juga dengan nilai IOD (Indian Ocean Dipole) yang berkisar antara -0.4-0.4 (normal), sehingga tidak banyak uap air yang keluar dari wilayah Indonesia.
Pada tanggal 20 Januari 2019 terlihat ada pergerakan konvektif ke arah timur di atas benua maritim Indonesia bagian barat yang terpantau dari analisis Madden Julian Oscillation (MJO) aktif di fase 4.
Banjir di Sulawesi Foto: Dok. BNPB
Berdasarkan uraian di atas, sistem konvektif skala besar yang menjadi trigger terjadinya bencana hidrometeorologi dalam hal ini banjir besar di sebagian wilayah Sulawesi Selatan sebenarnya sudah terlihat beberapa jam bahkan memperlihatkan palung tekanan rendah (low pressure through) beberapa hari sebelumnya. Analisis ini dapat diperkuat dengan sistem penginderaan jauh menggunakan satelit Himawari 8 menggunakan kanal IR untuk melihat sebaran awan-awan konvektif terutama di atas Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang salah dengan sistem mitigasi kebencanaan yang kita miliki? Tentu selalu menjadi pertanyaan besar mengingat bencana hidrometeorologi terutama banjir bandang, longsor, bahkan puting beliung, dan petir, menjadi momok menakutkan terutama pada musim basah atau penghujan tiba.
Perlu juga diketahui, bulan-bulan Desember-Januari-Februari (DJF) merupakan bulan terbasah untuk sebagian besar wilayah Indonesia terutama dalam Monsoon regime mengikuti migrasi matahari utara-selatan per 3 bulanan. Oleh karena itu, pada bulan-bulan DJF ini kewaspadaan harus menjadi prioritas dalam menekan dampaknya.
Meningkatkan sinergi antarinstitusi pemerintah untuk saling membahu dalam menangani bencana mutlak segera dilakukan. Dengan segala keterbatasannya, informasi diseminasi cuaca atau iklim yang diberikan BMKG juga mungkin perlu ditingkatkan dari sisi kualitas dan kuantitasnya.
ADVERTISEMENT
Berapa banyak lembaran “peringatan dini” yang hanya menjadi lembaran rutinitas keseharian dan menumpuk di meja “user” dalam hal ini pemangku kebijakan baik di daerah maupun pusat. Diseminasi informasi berbasis dampak saat ini paling dibutuhkan mengingat intensitas kebencanaan yang tinggi terutama pada bulan DJF ini.
Alternatif lain di antaranya adalah melibatkan masyarakat langsung dalam melakukan mitigasi untuk wilayahnya sendiri sebagai bagian jejaring informasi untuk mempercepat alur evakuasi apabila terjadi bencana hidrometeorologi.
Perlu juga diwaspadai per 24 Januari 2019 pusat tekanan rendah yang terdapat di barat laut Australia telah tumbuh menjadi Tropical Cyclone (TC) “Riley”, dengan pusat tekanan 992 hPa yang memiliki potensi menarik dan mengumpulkan massa udara lembap mengingat suhu muka laut benua maritim yang cenderung menghangat (>28°C), ditambah palung tekanan rendah yang masih terlihat.
ADVERTISEMENT
Wilayah Jawa, Bali, dan sekitar Mataram perlu mewaspadai potensi hujan lebat, angin, dan petir beberapa hari ke depan. Kita doakan semoga proses evakuasi dan penanganan pascabencana di Sulawesi berlangsung dengan baik. Perhatikan daerah aliran sungai (DAS), bendungan, bahkan saluran air.
Ayo tetap waspada!
Analisis gradien angin yang memperlihatkan munculnya daerah palung tekanan rendah (low pressere trough) dari 17-22 Januari 2019 pukul 7.00 WIB.
Distribusi awan konvektif menggunakan satelit Himawari 8 pada 22 Januari 2019 pukul 7.00-13.00 WIB.
Munculnya siklon Tropis "Riley" 992 hPa di bagian barat Australia pada 14 Januari 2019