Teknik Modifikasi dalam Penyemaian Awan untuk Rekayasa Cuaca

Deni Septiadi
Peneliti Petir dan Atmosfer BMKG
Konten dari Pengguna
15 Januari 2020 14:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deni Septiadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi awan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi awan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebuah catatan tentang rekayasa cuaca dalam penyemaian awan (cloud seeding)
ADVERTISEMENT
Secara umum penyemaian awan (cloud seeding) dilakukan untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah curah hujan, memperbesar atau bahkan menindas batu es (hail). Ada beberapa pertanyaan mendasar yang mungkin kita tanyakan tentang seberapa efektifkah Teknik Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilakukan oleh beberapa institusi dalam penyemaian awan (cloud seeding) sebagai rekayasa cuaca.
Mikrofisis pembentukan awan dan hujan
Sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu mikrofisis tentang pertumbuhan awan dan akhirnya menghasilkan hujan yang diawali oleh pemanasan permukaan oleh radiasi matahari yang datang ke permukaan bumi (incoming solar radiation, insolation) menghasilkan perbedaan tekanan yang kontras (pressure gradient) antara daratan dan lautan kemudian menghasilkan alih radiasi melalui proses konveksi ke atas (thermal convection).
Proses konveksi melalui aliran udara ke atas (updraft) akan membawa serta partikel aerosol atmosferik berupa debu vulkanik ataupun garam-garaman yang terangkat melalui percikan air laut ke atas. Partikel yang ke atas tersebut selanjutnya akan terseleksi berdasarkan ukuran (skala mikrometer) kemudian dapat menjadi Inti Kondensasi Awan (IKA) yang bersifat higroskopis dan mampu mengikat air untuk terangkat melalui konveksi tadi dalam bentuk uap dan mengalami kondensasi untuk berubah fasa (wujud) dari uap air menjadi tetes-tetes air pada bagian bawah awan (bottom cloud) di bawah titik beku (freezing level) isothermal 0 °C.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, partikel awan yang telah berubah fasa menjadi tetes air tersebut akan dipaksa naik ke atas untuk didinginkan menjadi partikel yang lebih dingin di bawah 0 °C, sehingga pada lapisan awan berikutnya terjadi pengintian es/Inti Es (IES) yang akan membentuk tetes-tetes yang sangat dingin (supercooled water) dan kristal-krstal es (ice crystal). Ini merupakan lapisan kedua awan, paras terpenting tempat sirkulasi dan turbulensi berlangsung. Ketika energi ke atas masih tersedia melalui aliran udara ke atas (updraft), partikel awan tersebut akan terus naik untuk kembali didinginkan mencapai temperatur udara di bawah -40 °C sehingga pada lapisan atas awan (top cloud) partikel tersebut menjadi solid (padat) dalam bentuk kristal es (ice crystal) bahkan membentuk embrio atau batu es hujan (hail stone) yang nantinya siap jatuh ke bawah menjadi partikel presipitasi melalui aliran udara ke bawah (downdraft). Embrio batu es hujan (hail stone) akan naik mengikuti arus udara ke atas (updraft) sepanjang arus masih cukup besar untuk menopang massa es, sebaliknya akan jatuh ketika kecepatan terminal (terminal velocity) mengikuti gaya gravitasi lebih besar dibandingkan arus udara ke atas. Partikel presipitasi berupa hail yang keluar dari sistem sirkulasi konvektif internal awan dan menuju ke bawah sepanjang penguapan (evaporasi) di luar sistem awan mendukung (cukup besar) akan terurai dari bentuk padat (es) menjadi cair dan jatuh ke permukaan sebagai curah hujan.
ADVERTISEMENT
Rekayasa cuaca dalam tinjauan fisis
Berbagai proses mikro dalam pertumbuhan awan dan hujan tersebut di atas secara tidak langsung memberi gambaran bahwa pemberian atau penambahan partikel garam (NaCL) pada awan jauh dari sifat fisis pembentukannya bahkan tidak bermakna dan cenderung mengancurkan pertumbuhannya. Secara fisis terlihat bahwa, garam-garaman dari laut yang terangkat ke atas kemudian karena sifat hiogroskopisnya mengikat air dan menguap menjadi bagian IKA. Proses tersebut terjadi pada level di bawah awan jauh sebelum IKA terbentuk.
Tidak seperti di Indonesia, di luar sana rekayasa cuaca yang dilakukan umumnya untuk menindas dan melemahkan potensi tumbuh badai, tornado bahkan siklon. Project Stormfury merupakan salah satu contoh projek rekayasa cuaca yang dilakukan pada tahun 1962 sampai 1983 di Amerika Serikat. Perak Iodida (AgI) adalah senyawa yang diinjeksikan ke dalam awan, mengingat bentuknya yang menyerupai kristal es sehingga memudahkan untuk pembentukan inti es dan membekukan tetes kelewat dingin (super cooled water). Penaburan Perak Iodida (AgI) dilakukan menggunakan pesawat atau menembakkan langsung dari permukaan. secara fisis jika dibandingkan dengan partikel garam (NaCL), maka Perak Iodida (AgI) ini justru lebih sesuai ketika diinjeksikan langsung atau disemai ke awan untuk mempercepat pengintian es dan pembentukan partikel presipitasi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan lainnya berkenaan dengan rekayasa cuaca di Indonesia, disamping proses fisis yang belum terpenuhi adalah validasi atau verifikasi keberhasilan rekayasa. Hujan merupakan kejadian yang memiliki sifat ketidak-pastian yang tinggi (chaostic), meskipun teknologi penginderaan jauh baik menggunakan radar maupun satelit dengan mudah kita dapat mengetahui berapa potensi air yang tercurah menjadi hujan (Precipitable water). Namun demikian, berbagai faktor seperti penguapan (evaporasi), angin dan faktor lainnya menjadikan air yang jatuh tidak linier dengan volumenya di awan. Penjelasan mikrofisis tersebut di atas mudah-mudahan dapat memberikan gambaran riil tentang proses fisis pertumbuhan awan dan hujan serta sedikit modifikasi atau rekayasanya secara fisis. Selamat bekerja dan beraktivitas, tetap waspada dan jaga alam.
Oleh : Dr. Deni Septiadi
ADVERTISEMENT
Dosen Meteorologi STMKG
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
(Peneliti Petir dan Atmosfer)