Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Masjid Tertua di Tulungagung Menyimpan Sejarah Diponegoro
21 November 2017 15:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Denny Adrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masjid ini berada di desa Tawangsari kecamatan Kedungwaru Tulungagung yang saat ini telah banyak mengalami perubahan. Namun ada banyak peninggalan sejarah yang tidak terlepas dari perjuangan Kyai Abu Mansyur yang juga dikenal sebagai seorang Diponegoro. Banyak pertanyaan yang kemudian muncul mengapa ada Diponegoro yang lain meskipun dalam sejarah Indonesia saat ini nama itu hanya dimiliki oleh Pangeran Diponegoro yang berperang melawan penjajahan Belanda di tahun 1825 sampai dengan 1830. Selain komplek pemakaman dan masjid, saat in masih ada sisa bangunan lain berupa rumah mirip pendopo peninggalan Kyai Abu Mansyur yang usianya sudah ratusan tahun meskipun telah banyak pemugaran. Sumur tua juga masih ada di belakang bangunan rumah dan tetap dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Ibu Siti Fatimah merupakan cucu Kyai Abu Mansyur yang saat ini menempati rumah itu bersama sejumlah anak-anaknya dan cucu. Setiap sore banyak anak-anak usia 5 hingga 15 tahun yang datang untuk belajar mengaji sehingga nyaris rumah tersebut ramai kala sore tiba. Kembali ke rahasia besar Diponegoro, ada empat orang yang sebenarnya mendapatkan gelar Diponegoro ini dari kerajaan Mataram, dan gelar ini semacam anugerah raja kepada seseorang yang memberikan pengabdian sangat besar bagi kerajaan kala itu.
ADVERTISEMENT
Islam sebagai agama yang besar di bumi Nusantara memiliki banyak kisah menarik dalam penyebarannya, termasuk dengan tokoh yang terlibat dalam menyebarkan. Mataram sebagai salah satu kerajaan besar di masanya juga telah banyak memberikan dukungan pada penyebaran agama Islam di berbagai daerah mulai dari Banten sampai dengan wilayah paling timur di pulau Jawa. Salah satu wilayah yang memiliki sejarah panjang penyebaran agama Islam dengan segala keunikannya yaitu Kabupaten Tulungagung.
Kabupaten yang dahulunya dikenal dengan Kadipaten Ngrowo ini merupakan wilayah yang seringkali dilanda banjir bandang. Tawangsari merupakan salah satu desa yang punya bibit sejarah berkembangnya Tulungagung hingga saat ini melalui penyebaran agama Islam yang dipelopori Kyai Abu Mansur yang juga keluarga kerajaan Mataram. Perpindahan Kyai Abu Mansur dari seorang keluarga Kraton Mataram menjadi seseorang yang punya andil besar dalam menyebarkan Islam tidak lepas dari upaya perluasan sebaran agama ini hingga ke berbagai wilayah. Dari silsilah yang ada di kediaman Kyai Abu Mansur dapat diketahui bahwa beliau merupakan putra dari Amangkurat ke 4 dan saudara dari Hamengkubuwono I atau keturunan ke 8. Kyai Abu Mansyur sendiri juga merupakan menantu dari seorang tokoh terkemuka di Madiun bernama Bagus Harun Basariah yang ikut serta meredakan pemberontakan China di Surakarta pada masa pemerintahan Paku Buwono II. Putri Bagus Harus Basariah bernama Fatimah yang kemudian diberi julukan Nyai Lidah Hitam merupakan keturunan dari Sutowijoyo atau Panembahan Senopati sedangkan Ibu Siti Fatimah merupakan keturunan ke 11 dari ibu bernama Retno Dumilah. Saat pemberontakan China berlangsung Paku Buwono II melarikan diri ke Tegalsari dimana sebuah pondok pesantren berdiri yang dipimpin Bagus Harun Basariah. Atas jasanya Bagus Harus Basariah mendapatkan tanah perdikan di wilayah Sewulan Madiun. Lalu siapa sebenarnya Kyai Abu Mansyur? Menurut Sejarah beliau keturunan langsung dari Amangkurat ke IV turunan ke 8. Atas petunjuk Bagus Harun Basariah, diperintahkan Kyai Abu Mansur menuju ke sebuah daerah yang penuh dengan air yang dikenal dengan rawa atau kadipaten Ngrowo yang saat ini dikenal dengan nama Tulungagung. Lalu berangkatlah Kyai Abu Mansur menuju wilayah yang ditunjukkan dan disanggupi untuk menutup sumber air yang besar penyebab banjir dengan bantuan kebo bule dan dua jin bernama Clontang Jaya dan Jigang Jaya. Akhirnya menutup sumber air itu berhasil dilakukan dimana sebagai pertanda sukses penutupan itu ditanamlah Beringin Kurung yang berasal dari Yogyakarta. Menurut catatan sejarah Kyai Abu Mansur masuk wilayah Ngrowo atau sekarang kabupaten Tulungagung sejak 1725 yang diperkuat dengan adanya surat kekancingan atau semacam SK dari Adipati Mangundirana penguasa kadipaten saat itu kepada Kyai Khasan Mimbar untuk melaksanakan sebuah pemerintahan otonomi dengan hukum syariah. Dalam aturan itu boleh melaksanakan kegiatan nikah talak rujuk tanpa harus meminta ijin ke pemerintah pusat sehingga pembuatan surat atas kegiatan itu bisa dilakukan sendiri. Setelah perjanjian Gianti Mataram pecah menjadi dua bagian wilayah pemerintahan yaitu Surakarta dan Yogyakarta atau Kasunanan dan Kasultanan, sedangkan wilayah Tawangsari menjadi kekuasaan dibawah naungan Yogyakarta atau Kasultanan. Lalu Hamengkubuwono I memberikan semacam kekancingan atau maklumat raja kepada Kyai Abu Mansur dan wilayah yang didiaminya sebagai wilayah merdeka atas kekuasaannya alias berstatus otonomi penuh. Penerbitan surat maklumat itu berkisar tahun 1755 dengan bunyi sebagai berikut " tak paringi panguasan merdika ana ing tanah ira sah reh reh ira, sapa sing ora manut unjukna tak pidana ana ing alun-aluningsun " dengan penulisan tahun bertuliskan jawa dengan bunyi Sinengkalan Butha Ngerik Mangsa Jalmi atau diterjemahkan menjadi 1755 Masehi.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Pakubuwono II juga telah memberikan kekancingan berangka tahun 1447 jauh sebelum perpecahan Mataram yang juga menjadi dasar pemberian tanah perdikan atau wilayah berotonomi penuh bagi kerabat atau orang yang dianggap berjasa bagi negara. Berlanjut pada Diponegoro yang selama ini dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah pejuang kebangsaan yang melawan penjajahan Belanda pada masa okupansi di Indonesia. Pangeran Diponegoro yang berjuang melawan Belanda di angka tahun 1825 sampai dengan 1830 bernama asli Bendara Raden Mas Ontowirya sedangkan Kyai Abu Mansyur sendiri bergelar Tala Diponegoro atau lebih lengkapnya Bendara Raharya Pangeran Tala Diponegoro yang diberikan langsung oleh Pakubuwono II. Kyai Abu Mansyur merupakan orang ke 3 yang mendapatkan gelar Diponegoro ini sedangkan dua lainnya juga mendapatkan kehormatan gelar yang sama meskipun tak banyak catatan yang berhasil diberikan oleh Ibu Siti Fatimah cucu Kyai Abu Mansyur. Namun dapat disimpulkan bahwa gelar itu merupakan pemberian kerajaan bagi pejuang yang melawan penjajah Belanda saat itu. Ada dugaan kuat Kyai Abu Mansyur sendiri sengaja menyembunyikan gelar itu dan melarikan diri ke wilayah Ngrowo untuk menghilangkan jejak dari kejaran penjajah Belanda dan lebih banyak berjuang menyebarkan kebajikan melalui penyebaran agama Islam. Meskipun sama-sama berjuang namun sejarah hanya mencatat perjuangan Ontowirya yang getol melawan pemerintahan Belanda di masa itu. Inilah sepenggal catatan dari rahasia Diponegoro yang terungkap melalui perjalanan ekspedisi Mata Hati Satu Penjuru yang getol dijadikan wahana berbagi sejarah suatu wilayah dan tokoh yang dikhawatirkan dapat terlupakan oleh generasi bangsa ini.
ADVERTISEMENT
DENNY SURYA ATMAJA
PRODUSER ACARA MATA HATI SATU PENJURU
RADIO LIIURFM TULUNGAGUNG