Warga Sudan Selatan Bertahan Hidup Makan Eceng Gondok dan Rumput

27 Februari 2017 11:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anak-anak menuju posko bantuan makanan dari PBB. (Foto: Reuters/Siegfried Modola)
Kematian mengintai Sara Dit dan 10 anak-anaknya di Sudan Selatan. Mereka didera kelaparan dalam persembunyiannya. Lari dari konflik bersenjata, Dit harus bertahan hidup di rawa-rawa, memakan eceng gondok dan rerumputan.
ADVERTISEMENT
Dit dan anak-anaknya adalah sebagian kecil dari 100 ribu orang yang disebut PBB terancam mati kelaparan. Di rawa-rawa dan pulau kecil di tengah sungai Nil daerai Leer dan Mayendit, mereka kabur dari kejaran kelompok pemberontak yang berperang dengan tentara pemerintah sejak 2013.
"Anak-anak sakit tapi saya bisa apa? Tidak ada rumah sakit di dekat sini dan kami tidak bisa berjalan jauh karena sedang bersembunyi. Anak tertua saya memancing ikan, tapi kami tidak bisa dapat banyak karena tidak punya peralatan memancing," kata Dit kepada Reuters akhir pekan lalu di klinik nutrisi UNICEF Sudan Selatan.
Warga menuju posko bantuan makanan dari PBB. (Foto: Reuters/Siegfried Modola)
Dit mengaku keluarganya telah berhari-hari hanya memakan eceng gondok, ikan-ikan kecil dan rerumputan yang mengambang di air. Berada di pelarian, keluarganya tidak bisa bercocok tanam dan mendapat uang untuk membeli makan.
ADVERTISEMENT
Dit bukan satu-satunya. Wanita bernama Nyaluat Chol yang ditemui Reuters juga mengaku bertahan hidup dengan memakan eceng gondok dan buah palem selama setahun terakhir.
"Kami lari dari pertempuran sejak lama. Kami tinggal di pulau karena lebih baik di sini. Tapi kami tidak bisa pergi beli makanan. Kami makan rerumputan yang mengambang di air," ujar Chol.
Seorang ibu menuju posko bantuan makanan dari PBB. (Foto: Reuters/Siegfried Modola)
Dit dan Chol adalah bagian dari 20 ribu orang yang keluar dari persembunyian dengan mengarungi rawa-rawa untuk mendatangi pos PBB di desa Thonyor yang dikuasai pemberontak. Di pos ini, mereka mendapat pengobatan, tapi makanan masih kurang.
"Mereka bertahan hidup dengan eceng gondok, akar-akaran, rerumputan dari Sungai Nil, kebanyakan mereka makan sehari sekali," ujar George Fominyen, juru bicara program makanan PBB, WFP.
ADVERTISEMENT
Sementara menunggu makanan datang, PBB memberikan warga Sudan Selatan jaring dan joran untuk memancing ikan.
Warga mengantri makanan sumbangan dari PBB. (Foto: Reuters/Siegfried Modola)
Sudan Selatan adalah negara pertama dalam enam tahun terakhir yang mengalami bencana kelaparan. Pekan lalu, PBB memprediksi ada 5,5 juta orang di Sudan Selatan yang akan kesulitan akses makanan pada Juli mendatang.
Bencana kelaparan terjadi setelah perang sipil pecah di Sudan Selatan pada 2013. Saat itu Presiden Salva Kiir memecat wakilnya Riek Machar atas tuduhan percobaan kudeta. Pasukan pendukung Kiir dan Machar saat ini bertempur sengit di beberapa bagian negara itu.
Akibat konflik ini juga, inflasi Sudan Selatan mencapai 800 persen tahun lalu. Rakyat negara itu kian menderita dengan kekeringan yang melumpuhkan sektor pertanian. Padahal Sudan Selatan adalah salah satu negara yang memproduksi minyak terbanyak di Afrika.
ADVERTISEMENT