Wawancara Khusus Dubes Palestina: Gaza, dari Makmur jadi Hancur

4 Desember 2017 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sore itu udara dingin. Hujan gerimis di luar, ditambah embusan angin dari penyejuk udara dalam ruangan. Tapi tidak membuat kumparan beranjak dan tetap khidmat mendengarkan kisah Pelaksana Tugas Duta Besar Palestina Taher Hamad.
ADVERTISEMENT
Ditemui kumparan beberapa waktu lalu di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta Pusat, Hamad bercerita soal Gaza dahulu kala, sebelum Israel datang dan menghancurkan semuanya.
Sambil menyesap teh hangat, Hamad mengatakan, Gaza ketika di bawah kendali Mesir, dan Tepi Barat dipegang Yordania, adalah tempat yang makmur, rakyatnya damai tentram, kondisi aman.
"Kalian tahu? Gaza adalah salah satu wilayah dengan persentase angka pendidikan tertinggi di dunia, 95 persen!" kata pria berkumis ini.
"Begitu juga di Tepi Barat. Kami adalah orang-orang berpendidikan."
Sejak berakhirnya Perang Dunia II hingga datangnya Israel pada 1967, Gaza berada di bawah kendali Mesir. Kemudian terjadilah Perang Enam Hari, membuat Mesir kehilangan Gaza hingga saat ini.
Masih segar dalam ingatan Hamad tentang jalanan kota Gaza yang beraspal, tidak ada kawah bekas hantaman roket seperti sekarang. Di bawah pengawasan Mesir, kebutuhan infrastruktur Gaza terpenuhi. Sekolah, jalanan, rumah sakit, dibangun satu per satu.
Kota Gaza (Foto: Wikimedia Commons)
Sebelum pecah perang dengan Israel, perekonomian Gaza berkembang. Ekspor-impor berjalan mulus, masyarakatnya hidup tenang.
ADVERTISEMENT
Warga Gaza bermasyarakat seperti kebanyakan warga dunia lainnya, belajar dan berdagang tanpa rasa takut. Bahkan, Gaza saat itu berdagang dengan negara-negara besar di Eropa.
"Sebelum penjajahan, Gaza mengekspor jeruk, sayur-mayur, buah-buahan ke Eropa. Ekspor bunga-bungaan juga ke Eropa dan negara tetangga, sangat maju saat itu," tutur Hamad.
"Ada pabrik, bangunan tinggi mencakar langit. Tapi setelah penjajahan, kosong. Mereka tidak bisa mengekspor apa-apa lagi," lanjut suami dari seorang wanita asal Sumatra Barat ini.
Kini Gaza terisolasi. Darat, laut, dan udara Gaza dibentengi pasukan Israel. Mencoba melaluinya, berarti maut. Sejak 2007 Israel memblokade Gaza, tepatnya setelah Hamas memenangkan pemilu. Alasan Israel, blokade penting untuk mencegah serangan roket dari militan Hamas.
Sepuluh tahun sudah, blokade masih tegak berdiri di Gaza. Kehidupan yang dulunya makmur dan menyenangkan menjadi menakutkan dan penuh kelaparan. Perekonomian rakyat Gaza tercekik. Tidak ada lagi ekspor hasil bumi ke Eropa, menjual di dalam juga tidak berbuah hasil. Bagaimana bisa menjual barang kepada orang yang tidak punya uang?
Kondisi Gaza (Foto: MAHMUD HAMS / AFP)
Hamad melanjutkan ceritanya. Dia mengatakan, Israel memang membendung infrastruktur Gaza. Mencegah wilayah ini berkembang. Sekolah, jalanan, rumah sakit, semakin menyusut jumlahnya. Padahal, sarana itu paling dibutuhkan ketika roket Israel menghantam Gaza, memakan ribuan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
"Selama penjajahan, Israel tidak melakukan apa-apa. Kami berjuang keras untuk bisa sekolah. Jika ingin membantu negeri kami, tidak ada yang lebih penting selain pendidikan," tutur Hamad.
"Bayangkan, 30 persen populasi Gaza adalah anak-anak, tapi tidak ada sekolah karena kebanyakan hancur oleh Israel."
Pembangunan kembali juga luar biasa sulitnya. Hamad menuturkan, bahan bangunan dilarang masuk ke Gaza akibat blokade. Pintu satu-satunya Gaza ke dunia luar cuma di perbatasan Mesir, itu pun hanya dibuka sekali-kali, dalam kurun waktu yang lama.
Gaza Dibikin Sekarat, Bukan Mati
Bisa jadi kesengsaraan rakyat Gaza memang tujuan utama Israel. Buktinya beberapa kali perang di Gaza terjadi, justru rakyat Gaza yang paling banyak tewas.
Sejak 2008, Israel tiga kali menyerang Gaza. Total lebih dari 3.700 warga Gaza tewas, 17 ribu luka-luka. Dalam agresi terbaru pada 2014 lalu, 2.131 warga Palestina tewas, 501 di antaranya anak-anak, 257 perempuan.
ADVERTISEMENT
Kehancuran infrastruktur dahsyat. Sebanyak 78 rumah sakit rata dengan tanah. Tujuh sekolah ambruk dihantam roket, 252 rusak. Lebih dari 17 ribu rumah hancur atau benar-benar tinggal serpihan.
Dalam bocoran kabel diplomatik Kedutaan Amerika Serikat di Tel Aviv oleh WikiLeaks pada 2011 lalu, pejabat Israel mengatakan kebijakan mereka memang untuk membuat perekonomian Gaza di ambang kehancuran.
Serangan di Gaza (Foto: MAHMUD HAMS / AFP)
Cukup di ambangnya saja, tidak usah sampai masuk jurang. Dengan kata lain, Israel membuat Gaza sekarat berkepanjangan tanpa pernah membiarkannya mati.
Tahun 2006 lalu, penasihat pemerintah Israel Dov Weisglass dalam wawancara BBC membenarkannya. Kata dia: "Tujuannya adalah membuat warga Palestina berdiet, tanpa membuat mereka mati kelaparan."
Pada 2012, pengadilan Israel mengungkapkan dokumen pemerintah Israel soal batasan "jumlah kalori yang harus dikonsumsi warga Gaza untuk mencegah malnutrisi". Kata Gisha, organisasi HAM Israel yang mendorong pengungkapan dokumen itu, "dokumen tersebut bertentangan dengan dalih Israel bahwa alasan blokade dibutuhkan demi keamanan."
ADVERTISEMENT
Tahun ini menandai 50 tahun pendudukan Israel di Palestina, termasuk di dalamnya Gaza dan Tepi Barat. Menurut catatan Amnesty International, sejak Israel menjajah Palestina pada 1967, mereka melakukan pencaplokan lahan, pembangunan permukiman Yahudi ilegal, dan merebut paksa tanah warga Palestina.
Menggunakan militernya, Israel mengatur kehidupan warga Palestina, menguasai listrik dan air yang sangat dibutuhkan. Ketakutan dan kemelaratan membayangi warga negara itu setiap hari. Bahkan Israel mendikte bagaimana cara mereka bepergian.
Berbicara di depan bendera Palestina dan Indonesia, Hamad mengamini fakta-fakta tersebut. Dia menceritakan, banyak pos pemeriksaan Israel didirikan di Palestina, menghambat perjalanan warga, bahkan merenggut nyawa.
Hari Pertama Masuk Sekolah di Gaza (Foto: REUTERS/Ibraheem Abu Mustafa)
Ambil contoh perjalanan antara Ramallah ke Bethlehem, atau Ramallah ke Hebron, yang biasanya memakan waktu hanya 1-1,5 jam. Tapi lantaran pos pemeriksaan Israel berderet sepanjang jalan, waktu tempuh memakan waktu hingga enam jam.
ADVERTISEMENT
"Karena pos pemeriksaan ini, banyak yang kehilangan nyawanya ketika harus segera ke rumah sakit. Ibu-ibu melahirkan di jalan. Ibu dan janinnya akhirnya tewas," Hamad berkata, sedikit tinggi nadanya. Kesal betul dia.
Taher Ibrahim Abdallah Hamad (Foto: Andam Annisa/kumparan)
Rekonsiliasi adalah Kunci
Upaya demi upaya menghapuskan blokade tidak kunjung berhasil. Israel adalah masalah dari luar, tapi konflik internal-lah yang semakin menambah derita. Gaza dikuasai Hamas, sedangkan Tepi Barat oleh Fatah. Keduanya adalah partai yang berseteru dan beda pandangan politik.
Tapi tahun ini, ada harapan baru. Hamas dan Fatah menyatakan rekonsiliasi. Selain demi rakyat, akurnya kedua partai ini untuk meningkatkan citra Palestina di mata internasional.
Hamas dan Fatah mesra, Israel yang gerah. Pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan rekonsiliasi itu palsu. Hamas, kata dia, masih kelompok bersenjata yang berbahaya.
ADVERTISEMENT
Apapun kata Israel, dunia semakin tidak peduli. Masyarakat internasional hanya ingin melihat Palestina segera damai, tidak lagi terpecah. Lelah hati melihat penderitaan mereka.
Hamad mengaku bahagia betul mendengar kabar rekonsiliasi ini. Menurut dia, ini adalah bentuk persatuan rakyat Palestina. Seperti inilah seharusnya umat Muslim, kata Hamad, bersatu.
"Ini adalah Muslim sebenarnya. Islam sejati adalah mendamaikan antara dua orang yang bertikai. Hamas mendengarkan apa aspirasi rakyat di Gaza," tutur Hamad.