Godaan Melanggengkan Kekuasaan

Denny Bratha
Penikmat Buku dan Kopi...
Konten dari Pengguna
10 Agustus 2022 21:34 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Bratha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di masa lampau, kekuasaan dan masa jabatan seorang Raja tidak dibatasi oleh aturan hukum yang pasti, sebab seorang Raja adalah konstitusi itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Seorang Raja berhenti berkuasa saat tutup usia, kemudian digantikan oleh Raja baru yang masih keturunannya. Namun seorang Raja juga bisa dilengserkan secara paksa akibat perebutan kekuasaan dari dalam Istana itu sendiri.
Berakhirnya kekuasan Raja bisa juga disebabkan karena kalah perang dengan kerajaan lain, tidak peduli sudah berapa lamanya kerajaan itu berdiri. Kalingga yang berusia 188 tahun (594 – 782 M) bubar karena diserang oleh Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sunda yang usianya 910 tahun (669 – 1579 M) runtuh akibat ditaklukan oleh Kesultanan Banten. Kerajaan Galuh yang berusia 983 tahun (612 – 1595 M) runtuh karena ditaklukan oleh Kesultanan Mataram.
Di era Kerajaan, kekuasaan Raja dan kerabat Istana yang tak terbatas rentan diselewengkan, melahirkan ketidakadilan dan ketidaketaraan, tidak adanya kepastikan hukum, cenderung korup dan hanya memperkaya sekelompok elite Istana.
ADVERTISEMENT
Sistem Demokrasi lahir untuk membatasi kekuasaan yang tidak terbatas itu, memberikan kepastian hukum, menegakkan aturan dan mendistribusikan kekayaan untuk seluruh warga Negara.
Namun meminjam ungkapan Sang Bagawan Sosial, Soejatmoko, bahwa godaan kekuasaan memang menggiurkan. Siapapun yang menikmati kekuasaan, akan melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mengutip temuan ahli ilmu politik Alexander Baturo dalam buku “The Politics of Presidential Term Limits” (2019), sepanjang 1945 sampai 2017, sebanyak 94 presiden—baik yang berasal dari rezim demokratis maupun tidak—sudah menambahkan durasi jabatan kepresidenannya
Sebut saja misalnya, Fidel Castro Presiden Kuba (49 tahun), Chiang Kai-Sek Presiden Taiwan (47 tahun), Kim Il-sung Presiden Korea Utara (46 tahun), Muammar Khadafi Presiden Libya (42 tahun). Presiden Albania, Enver Hoxha, berkuasa selama 40 tahun. Robert Mugabe Presiden Zimbabwe (37 tahun).
ADVERTISEMENT
Bung Karno sempat terjebak dalam wacana Romantika Revolusi yang menjadikannya Presiden seumur hidup. Soeharto Presiden berikutnya melanggengkan kekuasaanya selama 32 tahun
Pada era Demokrasi modern, beberapa pemimpin Dunia mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaannya. Vlidimir Putin yang sudah 22 tahun berkuasa, sebagai presiden 4 periode dan Perdana Menteri 1 periode, mengamandemen Konstitusi yang memberikan peluang buatnya untuk terus berkuasa. Konstitusi ini otomatis memberikan lampu hijau buat Putin untuk maju nyapres pada 2024 dan mungkin pada 2030, apabila ia masih diberkati kesehatan dan didukung oleh banyak pemilih suara. Bukan tidak mungkin, Putin pensiun dari Kremlin ketika usianya 83 tahun.
Presiden Turki Racep Tayyip Erdogan juga melakukan perubahan konstitusi yang memberikan celah untuk bisa terus memimpin melebihi batas maksimal 2 periode. Hal yang sama juga dilakukan oleh Presiden Cina XIe Jinping dengan adanya keputusan Kongres Rakyat Nasional di Cina tahun 2018 yang sepakat untuk tak lagi membatasi periode kepresidenan.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama juga dilakukan President Mesir Abdel Fattah el-Sisi, dimana pada tahun 2019 parlemen Mesir mengesahkan perubahan konstitusi yang mengizinkan President berkuasa sampai 2030.
Godaan kekuasaan untuk terus menerus melanggengkan kekuasaan faktanya memang sudah ada sejak zaman dulu sampai saat ini. Maka jika sekarang muncul wacana menambah masa jabatan Presiden Jokowi hal itu sah-sah saja adanya. Toh, rakyat sejak 2 tahun terakhir setiap minggu sudah terbiasa mendengar kata “Diperpanjang” yang diumumkan oleh Menteri Luhut Binsar Panjaitan.