Menguji Janji Penggusuran Anies-Sandi

Denny Bratha
Penikmat Buku dan Kopi...
Konten dari Pengguna
20 April 2017 17:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Bratha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto ilustrasi penggusuran yang sedang berlangsung (Foto: Muhammad Iqbal)
Pilkada DKI Jakarta sudah usai (19/4), pasangan Anies-Sandi hampir dipastikan memenangkan kontestasi politik yang menyita banyak emosi dan energi itu, namun isu atau program yang digaungkan selama masa kampanye langsung menggema di linimasa. Salah satunya adalah persoalan Penggusuran.
ADVERTISEMENT
Anies-Sandi, pada masa kampanyenya, secara tegas berjanji tidak akan melakukan penggusuran tapi penataan. Apakah Anies-Sandi akan terus konsisten dengan janjinya?
Penataan Kota saat ini menjadi isu strategis bagi kota-kota besar di dunia. Penataan mutlak dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara derasnya laju pertumbuhan penduduk dan menyempitnya ketersediaan lahan permukiman.
Apa yang terjadi di Jakarta adalah terjadinya ketidakseimbangan antara pertumbuhan penduduk dan ketersediaan tanah untuk tempat tinggal.
Rakyat yang tidak mampu membeli atau menyewa tempat tinggal layak kemudian mendiami tanah-tanah yang dianggap tak bertuan, bantaran kali, rel kereta api, lahan hijau, kolong tol, dan lainnya. Menciptakan permukiman padat dan sesak.
Kepadatan dan kesesakan tentu tidak sehat bagi perkembangan kesehatan dan psikologis para penghuninya. Apalagi, jika permukiman tersebut dibangun di atas ruang publik atau tanah yang dikuasai oleh Negara (seperti di bantaran sungai, bantaran danau dan pantai), yang mengakibatkan hilangnya fungsi ruang sebagaimana mestinya dan menimbulkan dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Ahok-Djarot selaku petahana menilai bahwa penggusuran permukiman padat yang berada di atas tanah yang dikuasai negara dan memindahkan mereka ke Rumah Susun merupakan sebuah langkah yang tepat untuk mengantisipasi dampak psikologis warga yang tinggal di permukiman padat dan sesak.
Warga akan menemukan ruang baru yang lebih ideal dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Selain itu, penggusuran juga bagian dari upaya untuk mengembalikan fungsi ruang publik yang sudah “diduduki secara ilegal” oleh rakyat.
Namun sebaliknya, pasangan Anies-Sandi menganggap penggusuran dan relokasi membawa dampak negatif. Menjauhkan warga dari sumber ekonomi mereka selama ini, penyesuaian gaya hidup baru dan adaptasi lingkungan yang berat dan membutuhkan waktu lama.
Apalagi jika pengusuran atau relokasi tersebut dianggap dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi, mengabaikan terciptanya ruang dialog, mengesampingkan legalitas dan aspek lainnya.
ADVERTISEMENT
Anies-Sandi berjanji akan menghentikan penggusuran dan lebih mengutamakan penataan kampung-kampung kumuh dengan mengedepankan dialog. Program dan arugumentasi Anies-Sandi, nampaknya lebih diterima oleh warga Jakarta. Pasangan ini pun menang di seluruh daerah penggusuran dan puluhan rumah susun.
Infografis Janji-janji Anies-Sandi (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Setelah Anies-Sandi menang Pilkada Jakarta, apakah penggusuran tidak akan terjadi? Dan penataan kampung-kampung kumuh yang berdiri di atas ruang publik atau lahan yang dikuasai Negara bisa dilakukan dengan tetap menjaga fungsi ruang yang ada?
Seperti kita ketahui, pendudukan tanah-tanah Negara untuk permukiman dilakukan oleh warga karna keterbatasan sumber daya yang mereka miliki dan mahalnya biaya sewa atau membeli sebuah rumah.
Warga seolah tidak mempedulikan dampak kesehatan dan psikologis tinggal di perumukiman padat dan sesak, sebab bagi mereka yang terpenting adalah bisa memiliki tempat berteduh dari terik panas dan hujan.
ADVERTISEMENT
Kesesakan dan Kepadatan menyebabkan penguasaan ruang untuk keperluan-keperluan individu dan kelompok semakin menyempit. Rumah menjadi tidak nyaman karena banyaknya anggota keluarga yang menempati rumah tersebut, banyaknya orang yang berlalu lalang di sekitar rumah, dan jarak antar rumah yang terlalu dekat, serta suara bising yang mengganggu terus menerus.
Rumah kehilangan fungsinya yang seharusnya bisa menjadi tempat berlangsungnya dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai-nilai, adat kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup, memberi rasa aman dan nyaman penghuninya.
Berbagai kajian menunjukan bahwa kepadatan dan kesesakan permukiman akan menimbulkan berbagai persoalan psikologis serius bagi penghuninya, terutama pada anak-anak dan remaja.
Aktivitas sosial kolektif warga juga menjadi terganggu dan terpapar dampak negatif. Study Holahan (1982) menyebutkan bahwa kepadatan dan kesesakan permukiman akan memicu aktivitas negatif warganya, antara lain:
ADVERTISEMENT
Dampak negatif permukiman sesak dan padat tersebut tentu harus menjadi pertimbangan utama tim Anies-Sandi dalam melakukan penataan perkampungan yang layak huni. Sebab selama ini publik belum mendapatkan penjelasan yang rinci dan konkret dari konsep Anies-Sandi tersebut selama masa kampanye berlangsung.
Masyarakat Jakarta tentu menunggu konsep penataan kampung-kampung kumuh seperti apa yang akan dilakukan oleh Anies-Sandi setelah menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Penataan yang tanpa menggusur atau memindahkan. Penataan permukiman kumuh yang tetap memperhatikan aspek kesehatan dan psikologis penghuninya. Penataan yang tidak menghilangkan fungsi ruang yang ada, seperti fungsi Garis Sempadan Sungai/Jalan/Rel Kereta/Danau dan Pantai.
Sederet pertanyaan tersebut tentu harus dijawab dengan kerja konkret, seperti juga program menolak reklamasi dan penyediaan rumah dengan DP 0 %.
Kita tunggu saja episode berikutnya.