Konten dari Pengguna

Gelar Sarjana, Kompetensi, dan Feodalisme

Denny Kodrat
Dosen dan peneliti mutu, sosial dan politik pendidikan. Tinggal di Sumedang.
20 Oktober 2024 10:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Kodrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa di salah satu universitas tengah serius mengikuti perkuliahan
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa di salah satu universitas tengah serius mengikuti perkuliahan
ADVERTISEMENT
Apakah penting mengenyam pendidikan tinggi dan meraih gelar sarjana? tentunya sangat penting. Meski ironisnya, tidak sampai 7% dari 282 juta penduduk Indonesia yang duduk di bangku kuliah. Wajar bila Presiden Joko Widodo kala itu menyampaikan keluhannya terkait persentase penduduk Indonesia yang bergelar sarjana dibandingkan negara-negara ASEAN yang sudah di atas 10%.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa yang lulus dari Perguruan Tinggi (PT) tidak sekadar mendapatkan ijazah saja, namun ia memiliki kompetensi yang teruji di dunia usaha dan dunia industri. Seluruh pembelajaran dalam bentuk kuliah, praktik, magang, atau kegiatan dalam payung program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dilakukan di PT, mengasah keterampilan hard skills dan soft skills nya, sehingga ia sebagai lulusan sesuai dengan profil lulusan PT yang diharapkan dan melampaui Capaian Pembelajaran Lulusan (learning outcomes) PT tersebut. Dengan kata lain, gelar sarjana menjadi tanda bahwa ia kompeten dan profesional di bidang keilmuannya.
Dalam banyak kasus, gelar sarjana diperoleh tidak dengan semestinya. Mahasiswa kuliah bukan menikmati proses mencari ilmu, melakukan riset dan menulis hasil penelitiannya, melainkan menggunakan jasa pihak ketiga agar seluruh aktivitas perkuliahannya lancar tanpa ia harus bersusah payah menyelesaikan kewajibannya sebagai mahasiswa. Hal ini rentan terjadi pada mahasiswa-mahasiswa yang sudah memiliki pekerjaan. Penghasilan dari pekerjaannya itu mampu membayar berapapun yang diperlukan agar proses perkuliahannya selesai.
ADVERTISEMENT
Memang saat ini tidak ada lagi program studi yang melakukan perkuliahan jarak jauh tanpa izin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), atau tidak ada lagi mahasiswa sarjana berkuliah kurang dari 8 (delapan) semester, atau pasca sarjana yang dapat menyelesaikan studi kurang dari 3 (tiga) semester, dengan diwajibkannya seluruh PT mengirimkan laporan kepada PDDikti, yang ketidaklengkapan laporan tersebut akan berdampak pada tidak diterbitkannya Penomoran Ijazah Nasional (PIN). Tidak ada lagi cerita, tiba-tiba program studi meluluskan mahasiswa antah berantah yang tidak pernah ikut kuliah, karena sistem PDDikti dapat mencegah hal itu. Namun kembali lagi, integritas akademik menjadi barang mahal yang tidak selalu dimiliki oleh segenap sivitas akademika. Sehingga fakta di lapangan, penyimpangan terjadi.
ADVERTISEMENT
Muncul pertanyaan kritis, mengapa mahasiswa kita baik jenjang sarjana hingga doktoral masih berpikir untuk mengejar gelar ketimbang menikmati ilmu yang ia dapatkan?
Feodalisme Mengalahkan Kompetensi?
Mindset feodalisme tidak dapat hilang pada diri bangsa ini karena ia merupakan proses panjang sejarah yang tidak serta merta bermetamorfosa mengiringi perubahan dan tuntutan zaman. Situasi kekinian yang sejatinya lebih membutuhkan kompetensi agar mampu bernalar kritis, berkomunikasi, berkolaborasi, kreatif dan inovatif di zaman yang serba cepat berubah dan penuh dengan ketidakpastian, tetap saja gelar sarjana memiliki gengsi tertentu yang sensasinya tidak dapat disamakan dengan keahlian yang dimiliki.
Ini terlihat pada sapaan "Pak Haji" atau "Ibu Hajjah" kepada jemaah haji yang baru pulang dari tanah suci. Terdapat kebanggaan baik bagi yang menyapanya, sebagai bentuk penghormatan, dan bagi yang disapa sebagai bentuk syukur (tahniah). Kenyamanan inilah yang barangkali masuk pada dunia akademik sehingga meski pada bidang-bidang tertentu, seperti ketua partai politik, anggota dewan, tidak disyaratkan harus sarjana atau bergelar doktor, faktanya politisi berbondong-bondong untuk kembali ke kampus belajar untuk meraih gelar akademik tersebut. Bisa jadi gelar akademik ini berguna untuk meyakinkan konstituennya bahwa mereka tidak salah memilih orang yang mewakili mereka di parlemen.
ADVERTISEMENT
Tentunya, keberadaan kultur feodalisme ini perlu dihentikan dalam praktik akademik, karena ia menyelisihi tujuan pendidikan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sehingga perlu ditanamkan bagi siapapun di negeri ini bahwa kita semua merupakan pembelajar sepanjang hayat, baik pendidikan yang dilakukannya itu ada di ranah pendidikan formal, non formal atau informal. Karakter pembelajar sepanjang hayat, salah satunya, ia menikmati, bukan sekadar mencicipi, khazanah keilmuan saat ia mengenyam pendidikan. Dampaknya pada pengaturan waktu studi dengan pekerjaannya, termasuk penyelesaian tugas perkuliahannya. Tentunya berbeda, mereka yang berkuliah untuk menggali ilmu yang lebih mendalam, melakukan riset dan menulis laporan penelitiannya itu untuk menunjang pekerjaannya, dibandingkan hanya sekadar mendapatkan gelar sarjana.
Jika kita menyepakati bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia harus tumbuh, meningkat, dan memiliki daya saing yang tinggi, maka para pemimpin politik perlu memberikan teladan yang baik saat ia melanjutkan studi di PT. Tidak mempertontonkan secara vulgar malapraktik pendidikan yang ujungnya menimbulkan kesan di publik bahwa gelar sarjana pun (termasuk doktoral) dapat diperoleh mudah secara transaksional.
ADVERTISEMENT
Publik pun dalam beberapa hal perlu diedukasi dengan baik sehingga saat ia mengenyam perkuliahan hingga lulus meraih gelar sarjana, ia memiliki kesadaran atas dampak apa yang ia berikan dengan gelar kesarjanaannya itu. Setidaknya ia dapat berefleksi apakah dengan lulusnya ia di PT ia telah menjadi warga negara yang beradab (civilized citizen) ataukah sama saja dengan mereka yang tidak bersekolah. Wallahu'alam bishshawwab.