Konten dari Pengguna

Resolusi 2025, Guru Wajib Melek Literasi Keuangan

Denny Kodrat
Dosen dan peneliti mutu, sosial dan politik pendidikan. Tinggal di Sumedang.
23 Desember 2024 10:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denny Kodrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Guru tengah mempersiapkan pembelajaran (dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Guru tengah mempersiapkan pembelajaran (dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Setelah guru Indonesia “di prank” dengan kenaikan 2 juta rupiah, tentunya tidak ada peluang kenaikan gaji guru selama tahun 2025. Sementara pajak penghasilan nilai sudah dipastikan naik 12%. Guru merupakan profesi terbanyak yang terperangkap pinjaman daring. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong edukasi untuk guru dengan menggandeng Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Salah satu alasannya, bagaimana siswa memiliki literasi keuangan yang memadai, bila gurunya masih belum paham dan melek terhadap literasi keuangan.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya di tahun 2023, di Kabupaten Pangandaran, publik dikejutkan kasus pinjaman koperasi senilai 7,47 miliar rupiah yang belum dikembalikan guru. Uang tersebut merupakan tabungan para siswa dari beberapa sekolah. Hingga hari ini masalah tersebut belum mencapai titik terang.
Tentunya, di tahun 2025, masalah keuangan ini tidak boleh terulang dengan memberikan pemahaman mendalam literasi keuangan yang diharapkan dapat mengubah mindset guru tentang bagaimana mengelola keuangan yang benar dan sehat.
Frugal dan Slow Living
Guru sering disorot menjadi profesi yang tidak mensejahterakan. Namun anehnya, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dan Fakultas/Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan tetap sarat peminat. Terlebih lagi, pemerintah membuka lowongan kerja bagi guru untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ini pun diserbu oleh lulusan (fresh graduate).
ADVERTISEMENT
Hitungan tidak mensejahterakan sepenuhnya kurang tepat bila profesi guru yang dimaksud berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan PPPK. Alasannya, penghasilan yang didapat (take home pay) sudah jauh melebihi nilai Upah Minimum Provinsi (UMP), apalagi ditambah Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP), dan Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang nilainya satu kali gaji pokok. Rata-rata take home pay guru ASN ini di kisaran 9 (sembilan) hingga 10 (sepuluh) juta rupiah setiap bulan. Hanya saja, di beberapa daerah, total penghasilan yang diperoleh tersebut ada yang didapat tiga bulan satu kali seperti TPG atau TPP. Jumlah guru ASN di Indonesia tahun 2024 berjumlah 4.758.730 jiwa. Artinya, tidak sejahtera itu nampaknya ditujukan pada guru non ASN yang bekerja di sekolah swasta atau di sekolah negeri yang data kepegawaiannya belum masuk pada sistem Data Pokok Pendidikan.
ADVERTISEMENT
Data keuangan guru ini menjadi penting untuk melihat akar penyebab mengapa guru terjerat pinjaman daring atau memiliki utang gagal bayar. Apakah karena faktor take home pay yang di bawah UMP atau karena mindset BPJS (Budget Pas-Pas-an, Jiwa Sosialita)? Dua hal ini jelas berbeda penanganannya. Untuk penghasilan di bawah UMP, berarti negara yang bertanggung jawab dalam meningkatkan penghasilan guru non ASN dengan terobosan regulasi. Salah satunya menaikkan TPG non ASN sebesar lima ratus ribu rupiah, sehingga menjadi 2 juta rupiah dan mempermudah guru dalam mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Sementara faktor mindset, perlu sosialisasi masif gaya hidup frugal dan slow living di kalangan guru agar ia tidak terjebak hutang (debt trapped).
Frugal dan slow living salah satunya menikmati alam (dok.pribadi)
Frugal living perlu disosialisasikan di tengah-tengah guru. Konsep frugal living menekankan pada hidup sederhana. Menekankan kebutuhan (need) dibandingkan keinginan (want). Penghasilan yang diterima ia belanjakan untuk kebutuhan yang penting (important) dan mendesak (urgent). Bukan untuk membiayai gaya hidup (life style) yang tidak terjangkau dengan take home pay guru. Dalam frugal living, ia memfokuskan hidup pada nilai (value) yang berguna pada dirinya. Bukan pemborosan dan jauh dari menjual kesan di hadapan publik. Kesan bahwa hidupnya bahagia, glamor, dan kaya raya, divalidasi oleh like, comment dalam media sosial. Padahal kenyataannya tidak begitu. Gajinya tidak cukup untuk membiayai gaya hidup papan atas. Karenanya, ia tutupi dengan berhutang.
ADVERTISEMENT
Guru dengan frugal living akan membuat rencana finansial yang realistis dan matang sesuai dengan penghasilannya. Pola 10% untuk menabung, sedekah. 20% untuk investasi atau dana darurat. 30% untuk cicilan hutang dan 40% untuk kebutuhan primer dan sekunder dapat dijalankan dengan konsisten. Jika seorang guru memiliki penghasilan satu bulan 10 juta rupiah, ia dapat mengalokasikan satu juta untuk menabung, dua juta untuk dana darurat. Jika ia ingin memiliki hutang, batas maksimal cicilan hutang tiga juta rupiah. Empat juta rupiah digunakan untuk kebutuhan pokok dan sekunder. Sehingga tidak realistis apabila seorang guru memiliki cicilan hingga 80% dari gajinya bahkan terkadang minus karena ia meminjam uang dari beberapa tempat yang berbeda hingga ramai diberitakan meminjam di pinjaman daring.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan keuangan berkaitan pula dengan kontrol diri atas syahwat ingin memiliki semua barang yang tidak diperlukan. Takut tidak ikut tren yang dikenal dengan fear of missing out (FOMO), ingin terlihat mapan, bahkan kaya, ujungnya memiliki sikap rakus. Karenanya, penting pula untuk ditanamkan mindset slow living. Dalam konsep slow living, guru harus berefleksi terhadap aktivitas yang ia lakukan. Ia memaknai, dan bahkan menikmati seluruh kegiatan seperti merencanakan pembelajaran, mengajar, mendidik, membimbing, melatih hingga mengevaluasi siswa. Seluruh aktivitas itu dilakukan secara sadar (mindful) dan hadir (presence) baik pikiran dan raganya. Terkadang, karena sudah menjadi rutinitas, yang dilakukan guru sekadar gugur kewajiban an sich.
Konsep slow living mengajarkan pula kesadaran dalam melaksanakan aktivitas. Menghindari pekerjaan yang tergesa-gesa, tanpa well-planned, dan dilakukan dengan serba dadakan. Sebaliknya, ia menikmati dalam menempuh proses yang dilakukan. Sehingga, ia menghindari kompetisi. Lebih memperkuat kolaborasi, komunikasi positif yang saling menumbuhkan. Wajar apabila dalam pengelolaan keuangan pun, ia akan mengatur pengeluaran dengan sadar. Memprioritaskan kebutuhan yang important dan urgent. Ia menghindari konsumerisme. Lebih mengutamakan investasi ilmu dibandingkan barang-barang mewah dalam membelanjakan uangnya. Ia membeli barang dilihat dari segi nilai (value) dan seberapa efektif barang yang ia beli menunjang pekerjaannya. Ia tidak mudah “panas”, iri dan gengsi saat lingkungannya membeli barang bermerk (branded) yang mahal dengan mencicil, sementara dirinya tidak.
ADVERTISEMENT
Konsep frugal dan slow living ini mendidik para guru untuk mengetahui batas kemampuan dalam membeli barang yang dibutuhkan berkesesuaian dengan postur penghasilannya. Istilah BPJS jangan sampai terjadi pada guru kecuali ia akan tersiksa lahir dan batin karena terjebak dengan hutang yang tidak mungkin ia lunasi. Kepala sekolah memiliki peran penting menjadi model teladan bagi guru. Ia dapat dijadikan rujukan dan contoh untuk hidup sederhana, meski ia sebenarnya mampu membeli barang yang bermerk.
Mengelola uang sejatinya sangat sederhana. Ia hanya perlu memastikan aliran uang (cashflow) yang masuk (cash in) harus lebih besar atau sama dengan uang keluar/pengeluaran (cash out). Bila pengeluaran lebih besar dari penghasilan, ini masalahnya. Ia harus mengendalikan pengeluaran sehingga minimal sama dengan penghasilan. Jika tidak, ia akan menutupinya dengan hutang. Ini pangkal masalahnya. Mengurangi hutang bahkan tidak punya hutang indikasi keuangan sehat. Ia disebut sehat bila cash in sama dengan cash out berapapun take home pay nya, baik sesuai atau di bawah UMP.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit yang beralasan kurangnya kesejahteraan sebagai guru menjadi alasan utama ia berhutang. Padahal terdapat opsi solusi dalam masalah ini. Opsi pertama, ia dengan keterbatasan penghasilannya berarti harus menyesuaikan gaya hidup dan pengeluarannya. Kedua, ia mencari sekolah lain yang dapat lebih menjamin kesejahteraannya. Atau ketiga, ia beralih profesi lain.
Terjebak dalam hutang akibat low income sebagai guru tentunya sangat miris, dan ini pekerjaan rumah pemerintah Prabowo. Pendidikan bermutu tidak mungkin dapat hadir tanpa peran serta guru sebagai pelayan terdepan (frontliner) dalam pembelajaran. Bagaimana mungkin guru dapat fokus terhadap pekerjaannya bila penghasilan minim, hutang banyak.
Denny Kodrat, pengamat pendidikan