Gaya Politik Klasi Flava di Era Angket

Dens Saputra
Dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat St. Ursula. Fokus Kajian pada bidang Politik dan Pemerintahan
Konten dari Pengguna
25 Maret 2024 8:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dens Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu sudah usai. Keputusan KPU telah memenangkan Prabowo dan Gibran. Tetapi riak di level elite masih bergemuruh. Beberapa pihak tidak puas dengan hasil pemilu. Tentu tidak sekadar angka statistik, melainkan sistem pemilu yang menurut mereka tidak proposional. Jalur hukum pun ditempuh.
ADVERTISEMENT
Agar bisa didengar oleh publik, mekanisme angket di DPR menjadi pilihan perjuangan. Tetapi lucunya, isu beredar ketua partai dan elite pendukung paslon 01 dan 03 sedang berkemas akan bertemu Prabowo-Gibran. Apakah angket hanyalah upaya untuk mencari suaka bagi para gelandangan politik? Semoga saja tidak. Sebab bisa saja tarik ulur gaya politik kita hari ini seperti atraksi klasi flava.
Kasi Flava adalah tradisi sepak bola yang ada di benua Afrika. Dalam pertandingan tersebut, para pemain lebih mengutamakan gaya dan skill dari pada hasil. Skill sepak bolanya sungguh atraktif. Bahkan bikin kaget. Klasi diartikan sebagai tempat atau lokasi dan Flava adalah rasa atau gaya.
Terjemahan umumnya diartikan sebagai tempat untuk bergaya. Gaya bermain bola jalanan ala negeri Nelson Mandela ini sangat menarik dan penuh atraksi bagi penikmat bola. Tidak berbeda jauh dengan siklus politik kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa disangkal kalau demokrasi menjadi satu paham yang populer semenjak berakhirnya perang dunia ke dua. Gagasan “freedom” dengan mudah mendapat dukungan dari berbagai negara dan penduduknya.
Dukungan ini berangkat dari kondisi masyarakat yang sebagian besar berada dalam kolonialisme dan ketertindasan, sehingga demokrasi menjadi kue empuk untuk dicerna. Jika dilihat lebih jauh, demokrasi memang sudah muncul semenjak Piagam Magna Carta yang membatasi monarki Inggris 15 Juni tahun 1215. Demokrasi memang asyik untuk dinikmati sebagai satu konsep, tetapi praktiknya seperti memancing di air keruh.
The Economist Intelligence (EIAU) pada 2021 merilis laporan indeks demokrasi Dunia, di mana diketahui Indonesia menduduki peringkat ke-52 dengan skor 6,71 (databoks.katadata.co.id). EIAU mengelompokkan Indonesia sebagai negara demokrasi yang cacat (flawed democracy).
ADVERTISEMENT
Meskipun cacat, secara statistik indeks demokrasi Indonesia masih lebih baik dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-64. Salah satu alat untuk mengukur indeks demokrasi oleh EIAU adalah PEMILU. Semenjak 2004 kita memang dihadapkan dengan kenyataan demokrasi langsung. Tetapi anehnya pemilu hari ini hanyalah milik elite. Bahkan isu-isu publik dibengkokkan hanya untuk kepentingan tampil di televisi.
Demokrasi melalui Pemilu ternyata tidak sekadar pertarungan masyarakat akar rumput. Tetapi pertunjukan siapa yang paling dominan di kalangan elite kelas atas. Pemilu menjadi ruang di mana pendapat dan pendapatan terus digesekkan. Bagi yang menang pemilu sudah berakhir. Tetapi bagi yang kalah, jalur hukum adalah cara menghentikan euforia pemenang Pemilu.
Semuanya sah di mata demokrasi liberal kita hari ini. Kecurangan dalam pemilu menjadi seruan paling ikonik untuk memangkas dusta pemilu. Politisi dan pengamat politik tidak lepas dari semarak untuk memperjuangkan hak angket. Ribut kali ini bukan lagi soal hasil dan sistem pemilu. Tetapi bisa jadi siapa yang cari untung dari isu angket yang akan bergulir. Bisa pengamat politik, politisi, atau bahkan pemilik stasiun televisi.
ADVERTISEMENT
Arena politik Indonesia bisa dilihat sebagai parade Klasi Flava yang memainkan pertandingan dengan “mengolok” lawan-lawannya. Ada keterampilan, strategi, dan komunikasi yang ditampilkan dalam pertandingan tersebut. Hal ini lumrah di tahun politik, di mana pemain akan mengupayakan berbagai “gaya” agar mental lawan bisa tunduk.
Negara dengan kekuatan demokrasi liberal seperti Indonesia tentunya adalah lahan basah bagi tukang cari untung. Demokrasi kita kehilangan subtansi dikarenakan elite sibuk memainkan atraksi Klasi Flava. Intinya adalah kegaduhan dan kegentingan, sehingga sinetron hak angket terus mendapat jam tayang lebih.

Demokrasi Unjuk Gigi

Semakin berisik semakin asyik. Substansi tidak diperlukan dalam drama politik hari ini. Intinya tampil dan unjuk gigi menyampaikan pendapat. Risiko politik tidak masuk hitungan. Intinya kantong terisi dan nama semakin populer. Faktanya memang dengan adanya demokrasi membuat banyak kalangan mudah mendapat popularitas. Tinggal pandai silat lidah atau pandai silat jabatan.
ADVERTISEMENT
Semua itu dimainkan dalam praktik politik praktis. Sebelumnya mendukung, tetapi di akhir kesempatan menjadi pihak yang melawan. Poinnya semua selalu mengatasnamakan rakyat. Kalau begitu, rakyat harus mengatasnamakan siapa lagi ?. Kalimat “mengatasnamakan rakyat” perlu direfleksikan dengan baik. Benar mengatasnamakan rakyat atau mengatasnamakan partai.
Angket layak untuk diperjuangkan sebagai satu mekanisme demokrasi prosedural. Tetapi semoga tidak ada kepentingan golongan tertentu dalam perjuangan angket. Tidak hanya hasil pemilu yang diawasi, melainkan mekanisme angket tetap diawasi. Budaya demokrasi untuk saling mengontrol satu dengan yang lain tetap harus jadi sebuah tradisi. Cara ini penting untuk memberikan edukasi kepada publik bahwa, satu institusi demokrasi tidak bisa berdiri sendiri.
Layaknya atraksi Klasi Flava yang tetap membutuhkan penonton untuk menilai atraksi itu buruk atau baik. Elite bisa saja tampil atraktif, tetapi publik akan belajar mana yang cari untung. Di era ini, rakyat bukan lagi boneka yang mudah diombang-ambingkan. Rakyat butuh kepastian agar negara tetap berjalan dan kehidupan sosial tetap berlangsung.
ADVERTISEMENT
Demokrasi sudah seperti tradisi Klasi Flava. Argumen politik tidak lagi didasarkan kepentingan demokrastis. Argumentasi hanya untuk kepentingan pragmatis. Apa pun yang terjadi, intinya pihak yang didukung harus terpenuhi ambisi kekuasaannya. Baik itu yang menang pemilu atau kalah.
Hampir semuanya berkaitan dengan ambisi merebut kursi. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa demokrasi kita sudah terlalu liberal. Bahkan bisa jadi ke depannya ruang diskusi publik hanya jadi arena saling sindir dan membuka aib. Padahal budaya kita tidak seperti itu.
Pencaturan politik kita saat itu sudah masuk di ambang kegelisahan. Setiap pendapat dari elite selalu bermain pada ruang-ruang kekhawatiran. Seakan-akan publik hanya disekoki rasa takut. Takut untuk meneruskan perjuangan hak angket atau takut untuk tidak memakai hak angket.
ADVERTISEMENT
Setiap atraksi Klasi Flava di politik Indonesia memang selalu menarik dan bikin ngeri. Saling senggol antar elite berpengaruh besar terhadap kekerasan di level akar rumput. Saling tuding dan saling pukul menjadi buah pahit dari pohon demokrasi kita. Intimidasi menjadi cerita dongeng meskipun sering terjadi.
Demokrasi Klasi Flava meskipun menarik tetapi tetap saja menakutkan. Karena terkadang penontonnya bisa “main pukul” untuk menang. Caranya sederhana yaitu dengan mengatasnamakan rakyat. Atas nama itulah orang jadi gelap mata dan main tonjok sana-sini. Sepertinya demokrasi perlu dikembalikan ke meja konstitusi. Bukan kepada persepsi elite. Atraksi Klasi Flava jangan hanya dipandang sebagai pameran skill. Layaknya demokrasi, pemilu jangan lagi tergantung kepada kepentingan komunitas tertentu.
Demokrasi perlu menjadi bagian mandiri dalam sikap warga negara. Kita tidak bisa terus-menerus tidur bersama hal pahit dari praktik politik praktis. Perlu ada gerakan untuk mengembalikan kesadaran politik kita yang berbasis kepada budaya orang Indonesia. Politik tetaplah politik dengan berbasis kepada kearifan lokal dan perjuangan kebudayaan.
ADVERTISEMENT