Saling Teriak Etika, Saling Sembunyi Ambisi

Dens Saputra
Dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat St. Ursula. Fokus Kajian pada bidang Politik dan Pemerintahan
Konten dari Pengguna
23 Januari 2024 10:09 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dens Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Debat. Foto: Tero Vesalainen/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Debat. Foto: Tero Vesalainen/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Aksi Gibran ketika mencari jawaban di depan Mahfud, cukup menuai kontroversi. Pasalnya tindakan itu dinilai tidak etis. Tindakan ofensif Gibran sampai disoraki oleh pendukung dan penonton dalam acara debat. Bahkan pasca debat selesai, aksi Gibran masih digunjingkan dalam konferensi pers bersama wartawan. Apa pun penilaian masyarakat, debat semalam cukup memberi ketegangan sendiri. Drama saling sindir terus mewarnai prosesi debat. Tidak bisa dipungkiri bahwa kontestasi elektoral hari ini, lebih sibuk membahas etika dari pada mempraktikkan etika yang baik. Gosip etika bahkan sudah dimulai sebelum debat berlangsung. Akhirnya berujung pada saling teriak etika siapa yang paling baik.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya etika penting atau tidak bagi para politisi pencari suaka kekuasaan?. Politik selalu baik jika didefinisikan di atas kertas. Tetapi pengalaman jalanan membuktikan bahwa politik dikerjakan dengan jahat dengan berbagai kepentingan. Saling senggol dan saling sindir adalah rumus untuk mewarnai kompetisi elektoral di negara ini. Ketika Pilpres sebelumnya ada cebong dan kampret. Hari ini kita sibuk mendengar politisi saling teriak soal etika. Dalam kultur Indonesia, etika selalu diutamakan selaras dengan budaya timur. Meskipun begitu, bagi politisi etika hanya komoditas politik untuk menjatuhkan lawan politik. Hampir setiap politisi terlilit utang etika. Sulit menemukan politisi praktis yang lepas dari jeratan isu-isu etis.

Relativisme Etika

Relativisme etika terdapat dalam dua bentuk, yaitu relativisme individual dan relativisme sosial (Shomali 2001:34). Relativisme individual merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa setiap individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Artinya ada standar subjektif yang dibuat oleh atas etika. Politisi memiliki peluang untuk menentukan sikap-sikap etis yang cocok dan relevan dalam usahanya mencari kekuasaan. Ironisnya, standar etika itu dirumuskan berdasarkan kepentingan pragmatis. Dengan kata lain, etika dalam politik tidak memiliki acuan yang jelas. Standar etika bagi politisi hanya didapat jika ada kekuasaan. Kejahatan perumusan standar etika secara subjektif ini berdampak juga kepada fragmentasi publik dalam dinamika elektoral. Publik hanya dicekoki oleh rasionalitas semu para politisi. Fenomena ini sering terjadi sebagai dampak dari demokrasi liberal yang kita nikmati sekarang.
ADVERTISEMENT
Penyataan yang diajukan politisi selalu syarat akan kepentingan pragmatis.
Ilustrasi Politik. Foto: Stanly Kumparan
Misalnya, jika seorang politisi memberi data bohong tetapi diucapkan dengan benar, data tersebut berubah menjadi data benar. Atau jika seorang politisi memiliki data yang jujur tetapi tidak disampaikan dengan salah, maka data itu menjadi salah. Ini adalah kejahatan dalam politik elektoral kita. Di mana terdapat penggiringan opini yang hanya dimainkan oleh segelintir penguasa. Opini itu penting untuk membuat masyarakat tunduk dan patuh. Hegemoni informasi adalah batu loncatan untuk memainkan perasaan publik.
Debat hanyalah bagian kecil dari drama politisi elite. Pada akhirnya kinerja pemerintah atau politisi diukur oleh masyarakat. Tetapi apakah masyarakat hari ini objektif menilai pemerintahnya di tengah fragmentasi yang dilakukan oleh politikus? Sepertinya sulit menemukan individu-individu objektif di arus demokrasi yang minim pertanggungjawaban. Semua punya hak untuk bersuara, tetapi lupa bagaimana bertanggung jawab. Iklim politik kita hari ini sulit dipegang. Pegangan kita hanyalah kepada kepentingan. Sebab demokrasi elektoral hari ini menguji suara terbanyak bukan suara paling substansi.
ADVERTISEMENT
Dalam politik selalu terdapat relativisme, Bahkan relativisme sangat menguntungkan politisi untuk lebih mendekatkan diri kepada kekuasaan. Hari ini menjadi oposisi, besok bisa saja koalisi. Hari ini musuh dalam debat, besok bisa bersama-sama tergabung dalam koalisi. Apa pun itu, politik praktis selalu dinamis dan bersandar kepada kepentingan. Bahkan dalam debat kemarin kita melihat ketika debat dilakukan habis-habisan saling sindir, pada akhirnya saling berjabat tangan. Inilah sisi relativisme dalam dunia politik praktis.

Etika di Lingkaran Kelas Sosial

Bagi Karl Marx masyarakat itu terbagi dalam kelas-kelas sosial. Ada kelas pemilik modal yang jumlahnya kecil. Ada juga kelas bukan pemilik modal yang jumlahnya banyak. Dalam analisis kelas, terdapat dominasi oleh pemilik modal atau borjuis kepada kelompok bukan pemilik modal atau proletar. Begitu halnya dengan politik menjelang 14 februari nanti. Terdapat dominasi elite terhadap jutaan pemilih yang notabenenya tidak memiliki modal selain satu suara. Kelompok politik proletar ini hanya bisa mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah lewat komentar-komentar sporadis di berbagai platform media. Kalaupun viral bisa mempengaruhi kebijakan. Tetapi kalau tidak, komentar publik hanyalah cerita dongeng tanpa ujung.
ADVERTISEMENT
Bahkan hari ini, etika terbagi menjadi etika proletar dan etika borjuis yang saling bertolak belakang. Misalkan menurut kelompok politik borjuis menebang hutan tidak melanggar etika. Tetapi bagi kaum politik proletar itu melanggar lingkungan karena berdampak langsung dengan rakyat. Bagi proletar di level akal rumput, pertimbangannya adalah dampak langsung yang mereka rasakan. Sedangkan kelompok politik borjuis mempertimbangkan kepentingan pragmatis baik itu uang atau kekuasaan.
Analisis ini bisa juga kita pakai untuk melihat bagaimana para politikus borjuis bermain dalam kampanye politik. Di dalam kontestasi elektoral, para borjuis bisa bersaing satu dengan yang lain. Konflik mereka didukung oleh kekuatan akses, jaringan ataupun lingkungan kekuasaan. Para politisi borjuis terkesan selalu memainkan isu-isu yang menguntungkan kepentingan masing-masing. Bahkan definisi operasional etika dikebiri sesuai dengan kepentingan kampanye untuk meraih ambisi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Apa yang dipelajari dari debat semalam adalah etika tidak selalu bersandar kepada objektivitas. Melainkan subjektivitas kepentingan baik itu antara elite atau antara partai. Sebab mereka inilah yang memegang kendali dan mendominasi isu-isu terkini serta memiliki akses untuk membengkokkan isu agar bernilai positif bagi kepentingan mereka. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang lebih beretika dalam debat semalam atau siapa yang paling berambisi dalam debat semalam?