Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Negara, Kekuasaan, dan Hak yang Tertindas
4 Mei 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Denting Rabih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pasal 1 angka 1 (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [UU HAM]) mendefinisikan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
ADVERTISEMENT
Maka negara (melalui seluruh perangkatnya seperti pemerintah, lembaga penegak hukum, dan aparat negara lainnya) tidak boleh melanggar HAM dan harus aktif memastikan bahwa setiap warga negara bisa menikmati hak-haknya tanpa diskriminasi atau perlakuan sewenang-wenang.
Dalam sebuah negara demokrasi, kekuasaan negara seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak setiap warga negara, termasuk kelompok yang rentan dan tertindas. Namun, realitas di lapangan sering kali memperlihatkan adanya ketimpangan antara kekuasaan dan pemenuhan hak-hak tersebut. Negara memiliki kewajiban mutlak untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia tanpa diskriminasi, sebagaimana diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia (selengkapnya bisa dibaca di situs resmi OHCHR). Hak-hak yang bersifat non-derogable seperti hak hidup, bebas dari penyiksaan, dan kebebasan berpikir harus dijamin secara absolut oleh negara dalam kondisi apapun.
ADVERTISEMENT
Kekuasaan Negara dalam Menjamin Hak Asasi Manusia
Kekuasaan negara yang tidak dijalankan secara adil dan bertanggung jawab kerap menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak kelompok minoritas atau kaum tertindas. Dalam konteks demokrasi, negara harus berpihak pada kaum lemah dan miskin dengan menetapkan kebijakan yang pro-rakyat serta menjauhkan diri dari kepentingan politik sempit atau korupsi yang merugikan banyak rakyat. Namun, praktik kekuasaan yang disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu justru memperkuat ketidakadilan dan memperparah kondisi kaum tertindas.
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus dugaan eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang melibatkan mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI). Kasus ini menarik perhatian karena adanya tuduhan perbudakan, penyiksaan, pelanggaran hak atas rasa aman, pendidikan, dan identitas terhadap anak-anak dan pekerja sirkus yang sebagian masih di bawah umur. Kementerian HAM RI bahkan menerima laporan dugaan pelanggaran tersebut dan menilai ada kemungkinan pelanggaran HAM serius yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun, Taman Safari Indonesia (TSI) dengan tegas membantah keterlibatan mereka dalam kasus ini.
Pihak TSI menegaskan bahwa OCI dan TSI adalah dua entitas hukum yang berbeda dan tidak memiliki hubungan struktural maupun keuangan. TSI juga menolak segala bentuk kekerasan dan eksploitasi serta menegaskan komitmen mereka terhadap penegakan HAM dan konservasi satwa.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) HAM menyesalkan Kasus dugaan eksploitasi eks pemain OCI (untuk mengetahui lebih lanjut tentang peran Komnas HAM, baca [profil Komnas HAM di situs resminya]) yang diadukan ke Komnas HAM sejak tahun 1997 tak selesai sejak awal mula diadukan. Jadi sudah 28 tahun sejak pertama kali diadukan.
ADVERTISEMENT
Implikasi Kekuasaan Negara terhadap Hak Asasi Manusia
Kasus ini menjadi cermin penting bagaimana kekuasaan dan tanggung jawab negara harus dijalankan. Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan harus menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu. Negara melalui aparat hukum dan lembaga HAM harus memastikan bahwa setiap dugaan pelanggaran hak asasi manusia ditindaklanjuti secara serius dan transparan, tanpa diskriminasi dan tekanan politik. Pembentukan tim pencari fakta lintas kementerian yang didesak oleh pendamping korban adalah langkah yang tepat untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi korban.
ADVERTISEMENT
Selain itu, negara juga harus memastikan perlindungan hukum yang efektif bagi korban pelanggaran hak, sesuai dengan kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan ICCPR, termasuk pemulihan hak dan upaya penyelesaian hukum yang adil. Kasus ini juga mengingatkan pentingnya pemisahan yang jelas antara entitas bisnis dan tanggung jawab sosial agar tidak terjadi tumpang tindih yang merugikan pihak tertentu dan menimbulkan kebingungan publik.