news-card-video
30 Ramadhan 1446 HMinggu, 30 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Mudik di Puncak Arus 2025: Tantangan dan Cara Bertahan

Deny Gunawan Susandi
Dosen di Universitas Tama Jagakarsa dan mahasiswa S3 di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
26 Maret 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deny Gunawan Susandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tradisi mudik lebaran di Indonesia (sumber: Kuttab Digital)
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi mudik lebaran di Indonesia (sumber: Kuttab Digital)
ADVERTISEMENT
Tradisi mudik Lebaran kembali menjadi sorotan menjelang akhir Maret 2025, saat jutaan orang bersiap meninggalkan kota demi reuni keluarga di kampung halaman. Berdasarkan prediksi terbaru, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menetapkan puncak arus mudik pada 28-30 Maret 2025, bertepatan dengan H-3 hingga H-1 Lebaran. Berita terkini menunjukkan lonjakan pemesanan tiket kereta, bus, dan pesawat, sementara jalur darat seperti Tol Trans-Jawa dan Pantura mulai bersiap menghadapi gelombang kendaraan. Namun, euforia mudik ini kerap disertai cerita pahit: kemacetan berjam-jam, tiket habis, hingga risiko kecelakaan yang mengintai. Bagi banyak orang, mudik di puncak arus adalah pilihan terpaksa—entah karena keterbatasan cuti atau jadwal keluarga—sehingga pertanyaan besar muncul: bagaimana cara bertahan?
ADVERTISEMENT
Di balik semarak tradisi, mudik pada puncak arus adalah ujian nyata yang membutuhkan strategi. Media sosial sudah ramai dengan keluhan pemudik tahun sebelumnya: antrean panjang di rest area, harga makanan yang melonjak, hingga perjalanan yang molor akibat banjir. Pemerintah memang telah berupaya dengan menambah jadwal transportasi dan memperbaiki infrastruktur, tetapi volume pemudik yang diperkirakan mencapai 190 juta jiwa pada 2025—berdasarkan survei Kemenhub—tetap menjadi tantangan besar. Artikel ini bukan sekadar menyoroti masalah, tetapi juga menawarkan panduan praktis agar Anda yang terlanjur mudik di tengah puncak arus tetap bisa sampai tujuan dengan selamat. Mari kita telisik lebih dalam apa saja ancaman yang mengintai dan bagaimana menghadapinya.
Tujuh Ancaman Nyata di Puncak Arus
ADVERTISEMENT
Mudik pada puncak arus bukan sekadar perjalanan biasa, melainkan maraton penuh rintangan yang menguras tenaga, waktu, dan emosi. Ada tujuh ancaman utama yang konsisten muncul: kemacetan parah, keterbatasan transportasi umum, kelelahan pemudik, kenaikan harga, risiko kecelakaan, fasilitas yang kewalahan, serta cuaca buruk dan bencana alam. Kemacetan, misalnya, adalah momok klasik yang didukung teori transportasi seperti Queuing Theory, yang menyatakan bahwa waktu tunggu meningkat eksponensial saat kapasitas jalan terlampaui—sesuatu yang terlihat jelas di Tol Cipali atau Pantura saat mudik. Data Polri mencatat bahwa pada Lebaran 2023, kemacetan terparah mencapai 20 kilometer, membuat perjalanan yang biasanya 5 jam molor menjadi 12 jam. Sementara itu, keterbatasan transportasi umum memaksa banyak orang beralih ke kendaraan pribadi, memperparah kepadatan.
ADVERTISEMENT
Ancaman lain tak kalah serius. Kelelahan pemudik, misalnya, meningkatkan risiko kecelakaan, yang menurut Korlantas Polri melonjak 20% selama puncak arus 2023, sebagian besar akibat faktor human error seperti mengantuk. Dari sisi ekonomi, hukum supply and demand menjelaskan kenaikan harga tiket pesawat hingga 50% atau makanan di rest area yang tiba-tiba “berubah jadi emas”. Fasilitas seperti SPBU dan toilet pun kewalahan, sementara cuaca akhir Maret—yang sering hujan deras menurut BMKG—bisa memicu banjir atau longsor di jalur rawan seperti Jawa Barat dan Sumatra. Ini bukan sekadar hipotesis, melainkan fakta berulang yang didukung data dan teori mapan, menegaskan bahwa mudik di puncak arus adalah kombinasi risiko logistik, fisik, dan alam yang kompleks.
Solusi: Bertahan di Tengah Badai Mudik
ADVERTISEMENT
Meski terjebak di puncak arus terasa seperti masuk medan tempur, ada cara untuk bertahan—dan bahkan menang—melawan ketujuh ancaman tersebut. Untuk kemacetan, pakar transportasi menyarankan memanfaatkan teknologi: aplikasi seperti Google Maps atau Waze bisa menunjukkan jalur alternatif, sementara akun media sosial resmi seperti @kemenhub151 atau @ntmc_polri memberikan update real-time. Jika transportasi umum penuh, jangan panik—cari bus antarkota di terminal bayangan atau ikut program mudik bareng komunitas, tapi pastikan kendaraannya resmi demi keamanan. Kelelahan bisa dilawan dengan istirahat rutin—minimal 15 menit setiap 3 jam—di posko mudik yang kini banyak disediakan kepolisian dan BUMN, meski Anda mungkin harus sabar mencari tempat duduk. Intinya, jangan paksakan diri, karena stamina adalah aset terbesar Anda.
Kenaikan harga bisa disiasati dengan persiapan sederhana: bawa bekal makanan dan minuman, serta siapkan anggaran ekstra untuk keadaan darurat. Untuk risiko kecelakaan, pastikan kendaraan dicek sebelum berangkat—rem, ban, oli—dan jaga disiplin berkendara, seperti tidak menyalip sembarangan di tengah kepadatan. Fasilitas penuh? Bawa perlengkapan darurat: jeriken kecil berisi bensin, air minum, atau bahkan toilet portabel sederhana. Terakhir, hadapi cuaca buruk dengan memantau prakiraan BMKG via aplikasi resminya—jika hujan deras atau ada tanda banjir, berhentilah di tempat aman dan tunggu. Sabar dan fleksibilitas adalah kunci. Dengan langkah ini, mudik di puncak arus tak lagi jadi mimpi buruk, melainkan tantangan yang bisa Anda taklukkan demi peluk hangat keluarga di kampung halaman. Selamat mudik!
ADVERTISEMENT