Konten dari Pengguna

Begini Argumen Cerdas Biksu Bule Tentang Polemik LGBT

DenyHermawan
Redaktur dan jurnalis di Buddhazine.com. Mantan jurnalis Harian Jogja dan Kedaulatan Rakyat. Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
5 Maret 2018 10:56 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DenyHermawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Begini Argumen Cerdas Biksu Bule Tentang Polemik LGBT
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia sempat hangat dengan isu problematika terkait LGBT. Umumnya agama-agama menganggap hal itu sebagai sesuatu yang salah, keliru, atau menyimpang. Ada kelompok umat agama tertentu yang bahkan sampai berniat 'menghabisi' kaum LGBT.
ADVERTISEMENT
Ternyata (paling tidak) ada satu agama, yakni agama Buddha, yang bersikap relatif netral terhadap permasalahan tersebut. Hal ini ditegaskan oleh Bhikkhu (biksu) Shravasti Dhammika saat pandangannya terkait isu LGBT dan seksualitas secara dalam acara Dhamma Talk akhir tahun 2017 di Vihara Karangdjati Yogyakarta, dengan tema “Dhamma Untuk Perumah Tangga.”
Pria asal Australia itu tidak memberikan argumen langsung mengenai boleh tidaknya LGBT dalam ajaran Buddha. Ia memulai pendapatnya dengan menjelasakan apa kriteria moral dalam Buddhisme untuk menilai bahwa sesuatu itu dianggap benar atau salah.
Bhante Dhammika menjelaskan, di banyak budaya ada banyak ide dan norma yang berbeda-beda satu sama lain. Di suatu budaya tertentu, memakan daging sapi dikategorikan sebagai hal buruk, sementara di budaya religius lain, sangat buruk ketika seseorang memakan daging babi. Lantas ada juga tradisi yang menyebut bahwa memakan semua jenis daging adalah buruk, dan yang baik adalah menjadi vegetarian.
ADVERTISEMENT
“Semua budaya berbeda-beda,” tegasnya.
Lantas bagaimana Buddha membuat parameter untuk memutuskan bahwa sesuatu itu baik atau buruk?
Ia menjelaskan bahwa karma itu adalah cetana atau niat. Dicontohkannya, apabila seseorang mengambil pisau dan menusukkannya pada orang lain, mungkin secara spontan orang yang mendengar mengenai perbuatan itu akan mengatakan itu tindakan yang buruk atau jahat. Tapi bila pelaku penusukan adalah dokter bedah yang memakai pisau untuk menyembuhkan tubuh pasien, tentunya orang akan mengatakan itu adalah tindakan yang baik.
“Jawabannya adalah tergantung. Tergantung apa? Tergantung pada niat,” ungkap bhikkhu kelahiran tahun 1951 itu.
Ia mengajak para pendengarnya berpikir, mungkinkah di dalam pernikahan yang sah dan legal, kekerasan seksual antar pasangan atau hubungan seksual yang tidak konsensual terjadi? Iya, mungkin saja, dan semua hadirin menyetujui.
ADVERTISEMENT
“Kalau dua orang saling mencintai, dan dua orang itu ingin relasi seksual yang baik, dan mereka berdua sudah cukup umur untuk tahu apa yang mereka lakukan, atau dengan kata lain dewasa, menurut saya, dengan siapa mereka berhubungn seksual, jender atau jenis kelamin apapun seseorang yang diajak berhubungan seksual, itu bukan poinnya. Poinnya adalah, apa niatnya,” tegas Bhante Dhammika.
Begini Argumen Cerdas Biksu Bule Tentang Polemik LGBT  (1)
zoom-in-whitePerbesar
Bhikkhu kelahiran negeri kanguru itu menyebut, di negara asalnya belum lama ini diadakan referendum mengenai persetujuan terhadap pernikahan sejenis. Hasilnya, sekitar 60 persen penduduk mengatakan setuju, dan kini sudah dilegalkan oleh pemerintah Australia. Hal ini menurutnya adalah kemajuan yang sangat berarti bagi kemanusiaan, karena di tahun 70-an menjadi gay di Australis dikategorikan sebagai pelanggaran hukum yang berat, bisa dipenjara selama 3 tahun.
ADVERTISEMENT
"Untung sekarang itu sudah dicabut,” kata Dhammika.
Penulis buku Buddhis terkenal Good Question, Good Answer tersebut mengakui, para pemimpin Gereja di negara asalnya sejak dahulu menentang LGBT, dan menganggap kalau perilaku itu terus dilakukan, maka negara dan peradaban akan hancur. Tak hanya itu, dunia juga disebut akan kiamat. Tapi hingga kini semua yang disebut itu tidak ada yang terjadi. Jadi para pemuka agama lama-kelaman berhenti mengatakan takhyul semacam itu.
“Semua bukti-bukti mengatakan, banyak persentase dari orang gay menjadi penulis, sutradara, artis, yang menyumbang produktivitas besar dalam masyarakat dan peradaban, bukannya menghancurkan peradaban,” ungkapnya.
Bhante mencontohkan juga, banyak gay yang bekerja sebagai penata rambut atau pramugara yang perannya di dalam masyarakat sangat dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
“Kemarahan dan kebencian pada kaum gay itu tidak dibenarkan, dan dari sudut pandang etika Buddhis, (LGBT) itu tidak melanggar moralitas,” tandasnya.
#LGBT #buddhism #sexlife #buddha #religionofpeace