Konten dari Pengguna

Perjuangan Panjang Jina Dharma Sradha, Vihara Induk di Gunungkidul

DenyHermawan
Redaktur dan jurnalis di Buddhazine.com. Mantan jurnalis Harian Jogja dan Kedaulatan Rakyat. Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
8 Maret 2018 9:09 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DenyHermawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perjuangan Panjang Jina Dharma Sradha, Vihara Induk di Gunungkidul
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Vihara Jina Dharma Sradha adalah sebuah tempat ibadah umat agama Buddha yang berada di Dusun Siraman, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Vihara tersebut telah berdiri sejak tahun 1981 atas prakarsa dari Sangha Agung Indonesia (SAGIN). Kala itu, Bhikkhu Jinaphalo bersama salah satu tokoh masyarakat desa setempat mendirikannya tidak hanya sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga tempat untuk pembinaan umat Buddha yang dilakukan oleh Sangha, terutama dalam bidang rohani, sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Vihara Jina Dharma Sradha juga dianggap sebagai vihara induk, karena membawahi delapan vihara lain yang ada di Kabupaten Gunungkidull, seperti Vihara Jina Dharma Tirta, Vihara Jina Vano Phalo, Vihara Dharma Surya, Vihara Giri Surya, Vihara Bakti Virya Dhamma, Vihara Dharma Ratna, dan Vihara Giri Ratana.
Awal mula pembangunan Vihara Jina Dharma Sradha dilatarbelakangi oleh semakin bertambahnya jumlah umat Buddha di Desa Siraman, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan bangunan vihara yang mumpuni. Umat Buddha di Siraman akhirnya banyak melakukan ibadah di Cetya Siraman, terutama selama rentang waktu tahun 1976 hingga 1979.
Oleh beberapa tokoh agama Buddha setempat keluhan itu ditanggapi dengan pengajuan dana kepada pemerintah Desa Siraman untuk membangun tempat ibadah yang lebih besar. Tokoh-tokoh tersebut adalah Bapak Romo Hadi Dharma Wijaya, Bapak Sadak Hartono, dan Bhikkhu Jinaphalo. Sejak tahun 1979, mereka sudah sering mengadakan pertemuan guna membahas rencana tersebut. Sejak tahun itu pula lah, pemerintah desa setempat tidak memberikan respon yang memuaskan terkait rencana tersebut.
ADVERTISEMENT
Hingga di tahun 1981, proposal pembangunan vihara baru tersebut disetujui oleh pemerintah Desa Siraman berdasarkan Surat Keterangan dengan nomor 22/1/1/1981. Pemerintah Desa Siraman memberikan sebidang tanah kas milik kelurahan seluas 3.712 m2. Hak pakai tanah tersebut kemudian dialihkan kepada Bapak Upasaka Hadi Wardoyo sebagai penanggung jawab umat Buddha di Desa Siraman. Pemerintah desa setempat memberikan tanah tersebut untuk dibangun sebuah vihara sekaligus sekolah keagamaan umat Buddha berikut fasilitas atau sarana lain yang dapat menunjang kegiatan keagamaan mereka.
Setelah memperoleh izin sekaligus sebidang tanah dari pemerintah desa setempat, para tokoh agama Buddha disana kemudian membentuk sebuah yayasan yang kelak akan menjadi penaung dan penanggung jawab pembangunan vihara tersebut. Yayasan yang baru terbentuk itu kemudian diberinama Yayasan Gunadharma yang diketuai oleh Sadak Hartono. Dana atau modal utama yang mereka pergunakan berasal dari beberapa donator di Jakarta serta iuran sukarela dari umat Buddha di Desa Siraman. Mula-mula, mereka hanya membangun bangunan yang amat sederhana dengan melibatkan penduduk desa sekitar. Penduduk Desa Siraman lain yang non Buddhis juga ikut bahu membahu dalam membangun vihara tersebut. Mereka menunjukan sikap gotong-royong dan saling menghormati antar-pemeluk agama. Untuk pengerjaan bangunan dasar vihara, mereka mengandalkan tenaga penduduk setempat.
Perjuangan Panjang Jina Dharma Sradha, Vihara Induk di Gunungkidul (1)
zoom-in-whitePerbesar
Bentuk bangunan vihara menggunakan konsep rumah joglo. Pemilihan konsep tersebut didasarkan pada lambang dari budaya asli warga Desa Siraman. Meskipun menganut agama Buddha, mereka ingin tetap menghidupkan budaya lokalnya dalam bentuk rumah joglo dalam bangunan vihara yang ada. Bangunan vihara yang ada kemudian dijadikan sebagai tempat melaksanakan praktik ibadah (Pujha Bakti) sekaligus mendengarkan khotbah dari Bhikkhu.
ADVERTISEMENT
Nama "Jina Dharma Sradha" sendiri mereka pilih bukan tanpa maksud. Jina dalam ajaran Buddha diartikan sebagai orang yang telah mencapai kemenangan. Nama “Jina” juga diambil dari nama tokoh yang berpartisipasi dalam pembangunan pertama vihara ini, yaitu Jhinaphalo. "Dharma" diartikan sebagai kebenaran; sedangkan "Sradha" dimaksudkan sebagai keyakninan. Secara harfiah, Jina Dharma Sradha dianggap sebagai sebuah keyakinan penuh dalam menjalankan Dharma untuk mencapai kemenangan.
Di Vihara ini terdapat rupang Buddha atau patung Buddha yang digunakan sebagai objek untuk memusatkan pikiran dan konsentrasi. Patung Buddha tersebut hanya dianggap sebagai simbol, tidak untuk disembah. Umat memberikan penghormatan kepada sang Buddha karena telah menunjukan jalan kebenaran kepada seluruh umat Buddha. Model Buddha di vihara ini menyerupai model Buddha di Candi Mendut Jawa Tengah, yang diapit dua Bodhisattwa, yakni Avalokiteshvara dan Vajrapani.
ADVERTISEMENT
Vihara tersebut dipergunakan oleh masyarakat Buddha di seluruh Kabupaten Gunungkidul sebagai sarana ibadah sekaligus aktivitas keagamaan lainnya. Mereka datang dari beberapa wailayah di Gunungkidul, seperti dari Wonosari, Panggang dan Samin. Biasanya, mereka datang dalam bentuk rombongan dengan menggunakan truck, mini bus, atau motor. Setiap minggu, mereka rutin menggelar kegiatan kebaktian dengan dipimpin oleh Bikkhu Jinaphalo.
Selain warga Gunungkidul, vihara tersebut juga menjadi tempat ibadah para pendatang dan masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Gunungkidul. Mereka kebanyakan tinggal di sekitar Kota Wonosari yang kebanyakan dari mereka adalah pedagang. Warga keturunan Tionghoa tersebut kebanyakan tinggal wilayah di sepanjang Jalan Brigjen Katamso, Jalan Sumarwi, dan Jalan K.H. Agus Salim.
Di periode awal berdirinya vihara, terdapat beberapa sentimen negatif dari warga sekitar vihara. Sekalipun pemerintah Desa Siraman dan pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah memberikan izin pembangunan vihara, tumbuh kecemburuan sosial yang melibatkan warga non-Buddha. Benar saja, jumlah umat yang beragama Buddha di Desa Siraman lebih sedikit dibandingkan yang Islam. Mereka kemudian memprotes pemerintah desa bahwa tanah kas desa yang diberikan kepada umat Buddha untuk dibangun vihara terlalu besar. Meskipun begitu, diskusi dan mediasi yang dilakukan oleh warga beragama Buddha dengan yang non Buddhis serta dengan pihak pemerintah desa mampu menyelesaikan konflik tersebut.
Perjuangan Panjang Jina Dharma Sradha, Vihara Induk di Gunungkidul (2)
zoom-in-whitePerbesar
Vihara Jina Dharma Sradha pada tahun 1900-an sempat mengalami masa vakum. Jumlah umat yang datang untuk beribadah semakin berkurang dan tidak ada program-program kegiatan yang berarti di masa itu. Selain itu, jumlah penduduk beragama Buddha di Desa Siraman juga semakin berkurang. Ini disebabkan oleh urbanisasi yang terjadi di semua wilayah Gunungkidul pada tahun 1900-an. Saat itu, sebagian besar masyarakat pergi kota untuk merantau dalam rangka memperoleh kehidupan yang lebih baik daripada harus menjadi petani tradisional di desa. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya atas iming-iming kemakmuran. Tidak cukup sampai di situ, mereka pergi ke kota juga untuk meningkatkan standar hidupnya, sekalipun harus menjadi buruh pabrik atau pembantu rumah tangga di kota.
ADVERTISEMENT
Selain urbanisasi, perkawinan dengan selain agama Buddha juga turut menjadi penyebab berkurangnya jumlah pemeluk agama Buddha di sana. Di dalam agama Buddha tidak diajarkan untuk wajib menikah dan tetap menganut ajaran Buddha seumur hidup. Kebebasan bertindak dengan segala konsekuensi adalah salah satu inti ajaran Buddha. Ketika menemukan pasangan hidup, warga Desa Siraman yang beragama Buddha lebih memilih untuk mengikuti agama pasangannya yang yang kebanyakan beragama Islam dan Kristen. Selain itu, kurangnya pengajaran agama Buddha di beberapa sekolah juga dinilai turut menjadi faktor penyebab berkurangnya penganut agama Buddha di Desa Siraman.
Pendidikan agama Buddha hampir tidak pernah diajarkan di institusi pendidikan formal, mulai dari Sekolah dasar hingga Sekolah menengah atas. Akibatnya, anak-anak yang menganut agama Buddha tidak memiliki pengetahuan yang lebih sebagaimana teman-temannya yang bergama Islam dan Kristen. Mereka juga tidak memiliki nilai mata pelajaran agama, akibat ketidaksediaan guru agama Buddha di sekolahnya. Hal itu sedikit banyak menyebabkan anak-anak merasa minder. Akhirnya, mau tidak mau mereka harus duduk di kelas teman-temannya yang menganut agama Islam atau Kristen. Setamat dari SMA, anak-anak tersebut memiliki pikiran yang lebih terbuka dan mandiri. Beberapa dari mereka kemudian memutuskan untuk tidak lagi menganut agama Buddha karena dirasa institusi pendidikan yang ada tidak lagi mendukung mereka.
ADVERTISEMENT
Tidak tinggal diam, beberapa tokoh agama Buddha di desa setempat telah melayangkan surat permohonan kepada pemerintah agar disediakan guru agama Buddha, minimal untuk tingkat SD hingga SMP. Namun demikian, keluhan yang mereka ajukan kurang mendapat respon positif dari pemerintah.
Selain ketidaksediaan guru agama Buddha, faktor kematian juga turut memengaruhi jumlah penganut agama Buddha di Desa Siraman. Sejak tahun 1900-an, tidak ada regenerasi yang tersisa di desa setempat. Kebanyakan pemeluk agama yang ada di sana telah berusia lanjut dan beberapa lainnya telah meninggal dunia. Sejak awal berdirinya vihara, jumlah pemeluk agama Buddha yang tersisa adalah 125 jiwa. Di tahun 2000, data menunjukan bahwa jumlah pemeluk agama Buddha di Desa Siraman tinggal 17 jiwa.
Perjuangan Panjang Jina Dharma Sradha, Vihara Induk di Gunungkidul (3)
zoom-in-whitePerbesar
Dalam perkembangannya, para tokoh agama Buddha yang tersisa terus berusaha untuk membangkitkan kembali masa-masa keemasan Vihara Jina Dharma Sradha. Sejak tahun 2001 hingga 2004, mereka banyak melakukan pembangunan, mulai dari mendirikan Pesantrian Buddha hingga renovasi bangunan vihara. Seperti misalnya di tahun 2003, mereka membentuk sebuah Pesantrian Buddha bernama Pesantrian Buddhish Kusalamitra yang juga dikelola oleh Yayasan Kusalamita. Tujuan didirikan pesantrian itu adalah untuk memfasilitasi anak-anak yang ingin mendalami ajaran Buddha yang kebanyakan tidak didapatkan di sekolah–sekolah formal. Anak-anak yang belajar di dalam pesantrian tersebut adalah anak asuh berusia Sekolah dasar hingga Sekolah menengah pertama yang melakukan aktivitas setiap hari, kecuali di pagi hari atau ketika jam pelajaran sekolah sedang berlangsung. Mula-mula, jumlah mereka ada sekitar 15 anak yang semuanya berasal dari luar Kabupaten Gunungkidul, seperti dari Boyolali, Temanggung, dan Semarang.
ADVERTISEMENT
Berbagai terobosan yang dilakukan oleh para pemuka agama Buddha di Desa Siraman adalah upaya mereka untuk menghidupkan kembali Vihara Jina Dharma Sradha. Mereka juga menyadari bahwa jumlah penganut agama Buddha menjadi sangat penting untuk mempertegas eksistensi agama mereka, sekaligus mempersiapkan penerus agama Buddha di masa depan.