Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Haruskah Kita Punya Rumah?
27 Februari 2024 13:22 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Deo Peter Surbakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dahulu rumah merupakan sebuah komoditas bersifat primer yang berarti, tanpa rumah manusia akan sulit menjalani kehidupannya. Seiring berjalannya waktu, rasanya rumah kehilangan nilainya di mata manusia. Rumah tidak lagi menjadi kebutuhan yang dirasa mendesak untuk diusahakan. Bahkan, tanpa memiliki rumah manusia tetap dapat hidup dengan hanya menyewa atau mengontrak rumah milik orang lain. Belum lagi gaya hidup dinamis seperti bekerja sambil berpindah-pindah atau tinggal di tempat bekerja membuat kita bertanya, masih pentingkah memiliki rumah?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan ini bukanlah sebuah fenomena baru, tetapi sudah lama muncul secara alami khususnya di dalam kehidupan para generasi Z yang hidupnya sangat dynamin dan berpikiran terbuka. Perilaku hidup yang eksploratif dan suka travelling justru memperlihatkan bahwa generasi ini tidak suka menetap dan suka menjelajah berkeliling dunia. Selain itu, hal yang juga harus diperhatikan adalah betapa sulitnya bagi generasi ini untuk memiliki sebuah rumah yang layak.
Kesulitan Memiliki Rumah
Selain budaya hidup yang memang sudah berbeda, kondisi ekonomi menjadi salah satu penghalang terbesar bagi seseorang untuk memiliki rumah saat ini. Jumlah pendapatan yang dimiliki dengan harga rumah saat ini memiliki jarak yang melintasi tahunan hingga puluhan tahun untuk memiliki rumah. Salah satu contohnya adalah kondisi pekerja dan harga rumah di Jakarta. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kaggle, sebuah Perusahaan data science, sebuah rumah di Jakarta dengan ukuran 40 meter persegi memiliki harga sekitar 430 juta rupiah. Sedangkan rumah yang berukuran 60 meter persegi memiliki harga sekitar 600 juta rupiah. Hal ini berarti setiap 1 meter persegi rumah di Jakarta rata-rata bernilai 10 juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan pendapatan para pekerja di Jakarta? Berdasarkan aturan Upah Minimum Regional Jakarta, upah minimum pekerja di Jakarta adalah sekitar 4,9 juta rupiah. Kemudian menggunakan data yang diperoleh oleh Badan Pusat Statistik, rata-rata pengeluaran per orang setiap bulan adalah 2,5 juta rupiah per bulan. Sehingga dapat disimpulkan, jika setiap bulan seseorang mungkin menabung sekitar 2,5 – 3 juta rupiah per bulan, maka setiap tahun ia hanya akan mampu membeli 2 – 3 meter persegi rumahnya. Setidaknya ia akan membutuhkan sekitar 10 tahun untuk memperoleh rumah berukuran 40 meter persegi dan 20 tahun untuk memperoleh rumah berukuran 60 meter persegi. Menyedihkan tentu rasanya membayangkan dibutuhkan lebih lama waktu untuk mengusahakan daripada menikmati rumah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Selain perhitungan langsung di atas, jangan lupakan faktor koreksi inflasi dan kenaikan gaji. Berdasarkan data yang diperoleh Trading Economic, rata-rata setiap tahunnya harga rumah mengalami kenaikan sebesar 1-2 persen, sedangkan gaji sebesar 3 persen. Meski secara persentase kenaikan gaji terlihat lebih besar, nyatanya nilai keduanya sangat jauh berbeda. Untuk harga rumah kenaikannya dapat mencapai 4-8 juta, sedangkan kenaikan gaji hanya sebesar 2-3 juta per tahun. Sekarang tentu terbayang rasanya betapa sulitnya memiliki rumah bagi generasi mendatang.
Hidup Tanpa Rumah
Hidup tanpa rumah mungkin adalah sebuah kondisi yang sangat sulit tentunya untuk kita bayangkan saat ini, tetapi sangat mungkin terjadi di masa mendatang. Setidaknya, saat ini sendiri sudah banyak ditemukan pekerja yang terus berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain tanpa memiliki status tempat tinggal tetap. Di masa mendatang, bukan tidak mungkin bila manusia tidak pernah hidup menetap lagi dan hidup terlepas dari status kependudukan atau alamat tetap.
ADVERTISEMENT
Berbagai opsi dapat menjadi kemungkinan di masa mendatang seperti memiliki kendaraan bergerak sekaligus rumah, memilih menginap di tempat menginap sementara seperti hotel atau penginapan hingga hidup mengembara menggunakan peralatan sederhana. Rasanya sama seperti di saat dahulu belum mengenal telepon genggam, sulit rasanya membayangkan peran telepon pintar yang hampir bersentuhan dengan seluruh aspek hidup manusia seperti saat ini.
Dampak dari hal ini tentu juga sangat beragam. Dengan kehidupan yang lebih dinamis, tentu manusia akan semakin produktif karena tidak adanya lagi waktu yang digunakan untuk berangkat dari tempat bekerja ke rumah atau sebaliknya. Pekerja dapat tinggal di rumah sewa dekat tempat bekerja atau bahkan tinggal di tempat bekerja. Dari sisi lingkungan, ketiadaan rumah juga akan mengurangi peralihan guna lahan. Perusakan alam akibat pengalihan guna lahan untuk pemukiman masyarakat akan berkurang sangat pesat.
ADVERTISEMENT
Jika manusia terus berpindah-pindah, pada aspek hukum status kependudukan dan status kewarganegaraan juga menjadi sangat abu-abu. Akibatnya batas hukum dan pemerintahan yang sah menjadi semu, sehingga mungkin nantinya perlu dilakukan reformasi wilayah hukum, termasuk juga di dalamnya penggunaan hukum secara global. Dalam dimensi sosial budaya, hal ini akan menghilangkan isu konflik dan mungkin mengikis nilai budaya akibat keberadaan masyarakat yang semakin majemuk serta hilangnya wilayah berdasarkan kelompok kesukuan. Proses peralihan ini tentunya akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan tentu tidak terlepas dari beragam konflik
Akhir kata, kepemilikan rumah rasanya telah berganti dari komoditas primer menjadi tersier. Rumah adalah barang mewah yang saat ini tidak dapat dimiliki dengan mudah. Rumah telah mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang lebih mendasar. Rumah yang dahulu katanya adalah tempat yang memberi rasa nyaman dan aman nyatanya tidak melulu berwujud bangunan fisik yang dimiliki. Rumah itu ternyata bisa jadi adalah tempat bekerja, tempat tinggal sementara atau bahkan jalanan semata.
ADVERTISEMENT