Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Lebih dari Itu, Emansipasi Wanita Bukan Sekadar Perjuangan
22 April 2025 13:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Deo Peter Surbakti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Korban pelecehan dan kekerasan seksual terus menjadi ancaman sehari-hari bagi perempuan di Indonesia. Pelakunya beragam, mulai dari kerabat sendiri hingga para pelayan publik tidak mau ketinggalan. Berita terakhir, seorang calon dokter muda begitu tega mengambil kesempatan melecehkan wanita yang merupakan keluarga pasiennya sendiri. Dalam kesulitan sedang kalut menanti kesembuhan sanak saudaranya, kini ia justru memperoleh kesakitan sendiri. Kejam dan tanpa perasaan.
ADVERTISEMENT
Hari-hari, emansipasi wanita terus digaungkan di mana-mana, tetapi sudut pandang bahwa wanita hanyalah objek belumlah berubah dari pemikiran khalayak ramai. Sejak lahir, diskriminasi dari berbagai aspek telah ditakdirkan untuknya. Mulai dari sisi budaya, ekonomi, hingga sosial seolah telah menuliskan takdir apa peran wanita dalam kehidupan sehari-hari. Sentimen sumur, dapur dan kasur masih menjadi peran yang tabu untuk dikerjakan pria dalam rumah tangga. Sepertinya, emansipasi wanita memang harusnya bukanlah sebuah gerakan perjuangan tetapi sebuah gerakan pemberontakan.
Korban, Korban, dan Korban
Lahir dalam naluri yang lemah lembut, penuh kasih dan perasaan tapi sering disalahartikan sebagai makhluk tak berdaya. Persepsi memandang diri lebih berkuasa, membuat banyak pelaku kekerasan menjadikan wanita sebagai korbannya. Tercatat data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada tahun 2024 terdapat 31.974 kasus kekerasan dalam rumah tangga dengan jumlah korban perempuan sebanyak 27.658 jiwa. Tidak perlu jauh-jauh mencari pelakunya, mulai dari orang tua, pasangan menikah hingga pacar atau teman. Orang-orang yang dekat dengan kita, nyatanya adalah orang yang punya peluang paling besar menyakiti kita.
ADVERTISEMENT
Menelisik lebih jauh dari keseluruhan kasus, terdapat sebanyak 12.168 kasus dengan korban adalah usia 13-17 tahun yang mana merupakan usia anak sekolah. Terlebih lagi, sebanyak 14.459 kasus merupakan kekerasan seksual. Mengerikan membayangkan generasi muda lahir dan tumbuh dalam trauma akan kekerasan seksual. Oleh karenanya, tidak sulit untuk mengerti mengapa begitu banyak saat ini wanita yang memilih untuk tidak menikah. Bukan tidak ingin, mereka hanya takut dan ingin melindungi diri dari luka masa silam.
Bagaimana pun pelaku kekerasan seksual dan KDRT diadili, korban terbesar tetaplah adalah sang perempuan. Bukan hanya luka fisik, tetapi luka mental yang diterima menghantui setiap hari. Belum lagi pandangan sosial yang sering menyalahkan korban atau menganggap korban kehilangan kesuciannya. Tidak ada keadilan bagi korban kekerasan seksual, yang ada hanya derita dan luka yang tersisa sepanjang hidup. Oleh karenanya, ketika diminta mengungkap kasus tersebut, banyak korban lebih memilih untuk menyembunyikan lukanya.
ADVERTISEMENT
Kesempatan yang Tidak Pernah Sama
Menjadi perempuan di Indonesia bagaikan uji ketahanan hidup pada level tinggi. Selain harus pandai menghindar dari berbagai kekerasan seksual, para perempuan harus berjuang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Pada sisi pendidikan, menurut data Badan Pusat Statistik, baik di kota atau di desa, persentase penduduk yang tidak memiliki ijazah masih didominasi kaum perempuan. Beralih ke partisipasi angkatan kerja, penduduk laki-laki masih lebih banyak yang bekerja dibanding perempuan, dari 100 laki-laki diperkirakan sekitar 84 orang termasuk angkatan kerja. Sedangkan, perempuan hanya setengah atau tepatnya 55 dari 100 penduduk perempuan yang termasuk angkatan kerja. Tidak berhenti di sana, rata-rata tingkat upah gaji perempuan juga tergolong lebih rendah dibanding laki-laki yaitu 2,57 juta dibanding 3,30 juta.
ADVERTISEMENT
Pilihan yang tersedia bagi perempuan tidak pernah lepas dari mengurus rumah tangga atau bekerja. Ketika memilih bekerja, tidak sedikit wanita yang harus tetap mengurus rumah tangga dan akhirnya memberikan beban berlebihan bagi mereka. Akhirnya, tidak sedikit wanita yang menyerah dengan karirnya. Belum lagi pilihan pekerjaan bagi perempuan belum sebanyak laki-laki. Berdasar itu, tidak sedikit masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan tinggi memang belum menjadi prioritas bagi perempuan, di tengah biaya pendidikan yang terus melonjak mahal.
Laki-laki masih mengemban tanggung jawab utama sebagai pencari nafkah, sedang tugas mengurus rumah tangga masih bagian utama perempuan. Ada yang berperilaku sebaliknya, tetapi belum lazim di mata masyarakat. Oleh karenanya, wajar, bila Indeks Kebahagiaan wanita masih lebih rendah dibanding laki-laki. Pilihan yang mereka miliki belum seluas pilihan laki-laki. Hidup sebagai wanita seharusnya bisa jauh lebih baik dari semua gambaran yang di pikirkan masyarakat. Mereka bisa menjadi apa saja yang mereka mau.
ADVERTISEMENT
Pudarnya Semangat Emansipasi
Semangat emansipasi perlahan mulai hilang ditelan hiruk pikuk masalah lain di Indonesia. Tidak ada lagi tokoh publik atau nasional yang menjadikan emansipasi wanita sebagai agenda utamanya. Para wanita sibuk memperjuangkan nasibnya masing-masing dan seolah lupa masih banyak wanita yang perlu diperjuangkan di tempat lain. Masih banyak wanita, yang belum merasakan keadilan dan justru menjadi korban dari berbagai kejahatan. Emansipasi wanita berujung pada keseimbangan fana, seolah pria dan wanita telah hidup setara, tetapi nyatanya belum jua.
Gebrakan besar diperlukan untuk mendobrak ruang-ruang kesetaraan yang masih terikat dengan stigma budaya lama. Suara-suara wanita perlu mencuat untuk didengar, bukan satu atau dua suara, tetapi suara kompak menginginkan perubahan. Wanita tidak butuh hukuman bagi pelaku kekerasan, yang mereka butuhkan adalah pencegahan di mana mereka dianggap bukan sebagai objek belaka. Sebaliknya, wanita dipandang sebagai subjek suci yang telah melahirkan setiap insan di dunia dan diberi penghormatan sepatutnya.
ADVERTISEMENT