Konten dari Pengguna

Di Balik Panggung Politik: Ketika Kebijakan Tak Lagi Membela Rakyat Kecil

Dede Riris Novitabilah
Deris merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila yang menjabat sebagai BPH di Serendipity Entertainment, sebuah organisasi luar kampus yang menjadi wadah pengembangan kreativitas mahasiswa dalam bidang perfilman.
3 Mei 2025 17:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dede Riris Novitabilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Di tengah hiruk-pikuk jalan kota, di sudut pasar tradisional yang mulai kehilangan nyawanya, serta di antara gang-gang sempit pemukiman padat rakyat kecil, kita bisa menemukan wajah-wajah tangguh yang tak pernah menyerah. Mereka adalah para pedagang kecil, penjaja kaki lima, tukang gorengan, penjual sayur keliling, pemilik warung kopi sederhana.
ADVERTISEMENT
Mereka bukan sekadar pengisi lanskap urban yang penuh sesak. Mereka adalah denyut nadi ekonomi rakyat yang nyata, yang selama ini menopang kehidupan banyak keluarga di Indonesia. Namun, dalam narasi besar pembangunan yang terus dilantangkan pemerintah, suara mereka perlahan menghilang. Seolah hanya gema samar di tengah gegap gempita ambisi kekuasaan yang tak pernah benar-benar menyapa mereka.
Pemerintah kerap menggaungkan proyek-proyek infrastruktur sebagai simbol keberhasilan, seolah-olah beton dan aspal adalah tolok ukur utama kemajuan. Jalan-jalan diperlebar, trotoar dipercantik, gedung-gedung tinggi menjulang. Tetapi, di sisi lain yang luput dari sorotan, banyak pedagang kecil yang dipaksa angkat kaki dari tempat mereka menggantungkan hidup.
Lapak-lapak yang mereka bangun dengan susah payah digusur atas nama penataan kota, tanpa disertai solusi jangka panjang atau skema relokasi yang manusiawi. Tak sedikit pula dari mereka yang kehilangan mata pencaharian dalam semalam, karena tiada ruang negosiasi, apalagi empati dalam pelaksanaan kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Retorika politik para elite sering terdengar indah menjelang pemilu. Janji-janji soal keberpihakan terhadap ekonomi kerakyatan terus digulirkan dalam pidato-pidato megah. Namun, setelah kekuasaan diraih, yang terjadi justru sebaliknya. Fokus kebijakan bergeser pada kepentingan investor besar, korporasi, dan proyek-proyek mercusuar yang lebih mementingkan citra daripada kebutuhan riil masyarakat.
Pedagang kecil, nelayan, petani, buruh harian, mereka yang selama ini berada di garis depan ketahanan ekonomi justru semakin terpinggirkan. Mereka bukan lagi subjek utama pembangunan, melainkan sekadar latar belakang dari cerita besar yang diperankan oleh mereka yang berkantong tebal dan punya koneksi kekuasaan.
Lebih parahnya, ketika ekonomi sedang sulit dan daya beli masyarakat melemah, yang disalahkan justru rakyat kecil yang dianggap tidak produktif atau tidak inovatif. Padahal, akses terhadap modal, pendidikan, perlindungan hukum, dan jaringan distribusi yang adil tidak pernah benar-benar diberikan kepada mereka. Ketika peraturan berubah, tidak ada ruang diskusi. Ketika aparat datang, tidak ada proses musyawarah. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah keterlibatan rakyat justru berubah menjadi ajang dominasi segelintir pihak yang mampu membeli pengaruh dan suara.
Sumber foto: Dokumentasi Pribadi
Ketimpangan ini diperparah oleh kebijakan yang bias kepentingan. Zonasi pasar modern misalnya, sering dibiarkan tumbuh di sembarang tempat, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap ekonomi lokal. Minimarket menjamur di dekat perkampungan, membunuh usaha mikro yang tak mampu bersaing. Pemerintah tampak tutup mata terhadap persoalan ini. Keadilan ekonomi tidak lagi menjadi prioritas, karena pertumbuhan menjadi satu-satunya narasi yang dipuja. Padahal, pertumbuhan yang tidak inklusif justru memperlebar jurang ketidaksetaraan.
ADVERTISEMENT
Rakyat kecil mulai lelah menjadi korban dari sistem yang tidak adil. Kepercayaan terhadap institusi negara menurun, ruang publik semakin sunyi dari perdebatan substansial, dan partisipasi politik melemah karena mereka tahu, apapun yang dilakukan, suara mereka tetap tidak didengar. Ketika hukum, kebijakan, dan birokrasi tak lagi berpihak, rakyat mulai menarik diri dari proses demokrasi. Dan ketika demokrasi tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat banyak, ia berubah menjadi topeng belaka. Topeng yang menutupi wajah kekuasaan yang kian menjauh dari prinsip keadilan sosial.
Masyarakat tidak menuntut perlakuan istimewa. Mereka hanya ingin keadilan yang setara. Ketika mereka bersuara, jangan bungkam dengan dalih ketertiban. Ketika mereka bertahan, jangan usir dengan alasan estetika kota. Ketika mereka meminta ruang, jangan tawarkan retorika. Apa yang mereka butuhkan adalah kepastian, perlindungan, dan keberpihakan yang nyata.
ADVERTISEMENT
Jika pembangunan terus berjalan tanpa menyentuh kebutuhan rakyat kecil, maka negara ini sedang bergerak menuju demokrasi semu. Sebab demokrasi sejatinya bukan hanya soal pemilu, melainkan tentang sejauh mana rakyat, termasuk yang paling kecil sekalipun, dapat merasakan kehadiran negara dalam hidup mereka.