Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Trauma Bonding Dampak dari Toxic Relationship
5 Desember 2022 0:48 WIB
Tulisan dari DESTYANA LUTHFIYAH ANINDITA PUTRI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Memiliki hubungan ideal dengan orang tersayang merupakan idaman bagi semua orang. Namun, ada sebagian orang yang tidak beruntung memiliki hubungan yang ideal. Mereka mendapatkan perlakuan yang abusive dari sang kekasih secara terus menerus dengan ritme yang sama, tetapi sang korban tidak bisa lepas atau memutuskan hubungan dan memilih untuk bertahan dengan sang kekasih. Hal ini disebabkan karena korban mendapatkan reward berupa hadiah, perkataan, dan perlakuan yang romantis dari sang kekasih setelah korban mengalami abusive dan korban lupa akan perbuatan keji yang dilakukan oleh sang kekasih. Tanpa disadari korban sudah mengalami trauma bonding di dalam hubungan mereka
ADVERTISEMENT
Trauma bonding merupakan sebuah hubungan emosional berlandasan kasih sayang dan simpati serta perlakuan kekerasan yang berpola dengan diselingi pemberian hadiah antara dua orang atau lebih (korban dan pelaku abusive) (Dr Syarif Oktanida, 2022; Zoppi, 2020). Korban tanpa sadar memiliki trauma tersebut karena sang kekasih selalu memenuhi semua kasih sayang yang dibutuhkan korban dan terkadang menjanjikan tidak melakukan perbuatan tersebut setelah melakukan kekerasan pada korban. Hal ini membuat korban merasa 'membutuhkan' sang kekasih yang sudah melakukan kekerasan. Pada akhirnya membuat korban kesulitan untuk meninggalkan hubungan tersebut.
Kesulitan untuk melepaskan diri dari sang kekasih yang dirasakan oleh korban disebabkan adanya respons freeze atau membeku ketika korban mengalami kekerasan atau pelecehan. Hal ini disebabkan adanya tekanan pada korban sehingga otak merespons dan memperingatkan bahaya tersebut ke seluruh tubuh dengan mengeluarkan hormon adrenalin dan hormon kortisol (hormon stress), tetapi korban tidak bisa melawan sang kekasih dan merasa bahwa diam merupakan pilihan yang terbaik. Tidak hanya itu, ketika sang kekasih melakukan kekerasan atau pelecehan tersebut membuat korban sulit untuk menerima karena terlalu menyakitkan, akhirnya korban memilih untuk mengabaikan atau memblokir kejadian tersebut dengan mengingat kenangan – kenangan romantis yang dilakukan oleh sang kekasih dan menyalahkan dirinya sendiri bahwa dirinyalah yang salah. Oleh karena itu, menyebabkan korban mewajarkan tindakan kekerasan tersebut secara terus menerus.
ADVERTISEMENT
Alasan lainya kenapa korban tidak bisa melepaskan sang kekasih ialah peranya hormon dopamine dan oksitosin (hormon bahagia) ketika masa tenang. Pada saat itu sang pelaku atau kekasih akan memberikan reward berupa permintaan maaf, hadiah, perkataan, dan perlakuan romantis yang dapat memicu kedua hormon tersebut lepas. Sehingga dapat memblok atau melupakan tindakan kekerasan yang pernah dilakukan oleh sang kekasih. Siklus tersebut terus menerus terulang dan berpola antara korban dan sang kekasih.
Siklus tersebut jika dibiarkan lebih lanjut akan membahayakan korban. Korban dapat mengalami rasa takut dan cemas yang berlebihan, hilangnya kepercayaan diri, adanya rasa hampa pada diri sendiri, frustasi, keputusasaan, dan yang paling parah ialah memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, anxiety, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan gangguan penggunaan zat.
ADVERTISEMENT
Korban yang terlalu lama dalam toxic relationship akan semakin susah pula untuk keluar dari hubungan tersebut dan menyembuhkan trauma bonding, tetapi korban bisa menghentikan siklus tersebut dengan beberapa hal yang dapat dilakukan. Pertama, berhenti untuk menyalahkan diri sendiri dan sadar bahwa sang kekasih melakukan kekerasan kepada korban dan mulailah mencatat dan menganalisis apakah perilaku sang kekasih termasuk perlakuan yang abusive atau tidak. Kedua, jika belum yakin dan masih tidak percaya, cobalah bertanya ke orang sekitar apakah hubungan yang kalian jalankan adalah hubungan yang sehat atau tidak. Ketiga, putuskan hubungan tersebut agar trauma tidak semakin berkelanjutan. Akan tetapi, jika trauma sudah telanjur parah korban diharapkan bisa segera menghubungi therapist atau profesional.
ADVERTISEMENT
Referensi
Dr Syarif Oktanida, Z. (2022, November 9). dr Zulvia Oktanida Syarif SpKJ on Instagram: “Mau putus, tapi bolak balik malah minta balik sendiri. Yang memutuskan hubungan, tapi juga yang ngejar-ngejar minta balik. Benci tapi….” https://www.instagram.com/p/CkvdkgxhVhw/?igshid=ZDFmNTE4Nzc%3D
Raypole, C. (2020, November 24). Trauma Bonding: What It Is and How to Cope. https://www.healthline.com/health/mental-health/trauma-bonding#signs
Zoppi, L. (2020, November 26). Trauma bonding: Definition, examples, signs, and recovery. https://www.medicalnewstoday.com/articles/trauma-bonding#definition