Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.3
19 Ramadhan 1446 HRabu, 19 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Banjir Bekasi: Akibat Sampah, Kurangnya Etika Peduli lingkungan
14 Maret 2025 10:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Desy Astriani Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap musim hujan, Banjir Bekasi kembali menghantam kota ini. Peristiwa ini bukan hanya sekadar bencana alam, tetapi juga dampak dari kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan. Sampah yang menumpuk di sungai dan saluran air menjadi penghambat utama aliran air, memperburuk situasi yang seharusnya bisa dicegah. Kesadaran akan pentingnya etika lingkungan masih rendah, dan hal ini berkontribusi besar terhadap masalah yang terus berulang. Sebagai mahasiswa yang memahami urgensi kelestarian lingkungan, kita perlu menyadari bahwa banjir adalah konsekuensi nyata dari kelalaian manusia dalam mengelola sampah.
ADVERTISEMENT
Permasalahan Banjir dan Etika Lingkungan
Menurut laporan dari Dinas Lingkungan Hidup Bekasi, “setiap hari kota ini menghasilkan lebih dari 1.800 ton sampah, namun hanya sekitar 70% yang berhasil dikelola dengan baik, sementara sisanya masih tercecer dan mencemari lingkungan, termasuk sungai dan drainase.” Data ini menggambarkan bagaimana sampah di sungai masih menjadi kebiasaan sebagian masyarakat. Drainase buruk, plastik, styrofoam, dan limbah rumah tangga lainnya menyumbat aliran air di selokan dan sungai, menyebabkan pencemaran lingkungan serta genangan yang tak terhindarkan ketika hujan deras mengguyur. Tidak hanya itu, buruknya sistem drainase semakin memperburuk kondisi, membuat air meluap ke permukiman warga. Jika tidak ada perubahan sikap yang signifikan, banjir akan terus menjadi ancaman tahunan tanpa solusi yang nyata.
ADVERTISEMENT
Permasalahan ini semakin kompleks dengan minimnya kesadaran masyarakat terhadap dampak lingkungan dari perilaku membuang sampah sembarangan. Beberapa warga mungkin merasa bahwa membuang sampah ke sungai atau selokan adalah tindakan yang sepele dan tidak berdampak besar. Padahal, kebiasaan ini menyebabkan sedimentasi pada saluran air, mempersempit jalur air, dan meningkatkan risiko luapan banjir. Lebih buruk lagi, sampah yang menumpuk di perairan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan mengancam ekosistem sungai. Ikan dan makhluk hidup lainnya terancam akibat tingginya tingkat polutan dari limbah domestik.
Selain itu, masalah ini juga diperparah oleh kurangnya infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Tidak semua kawasan memiliki sistem pengelolaan sampah yang efektif, sehingga banyak warga yang akhirnya memilih membuang sampah ke tempat yang tidak semestinya. Beberapa TPS (Tempat Pembuangan Sementara) sering kali tidak cukup menampung jumlah sampah yang terus bertambah setiap hari, sehingga sampah meluap ke jalanan atau lingkungan sekitar. Hal ini memperjelas bahwa solusi terhadap banjir tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, edukasi tentang pola pikir masyarakat terhadap etika lingkungan masih kurang diperhatikan. Banyak masyarakat yang belum memahami konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) secara mendalam. Mereka lebih memilih cara instan dalam membuang sampah, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi lingkungan jangka panjang. Jika kebiasaan ini terus berlanjut, maka Bekasi akan terus berhadapan dengan masalah banjir dan pencemaran lingkungan yang semakin parah setiap tahunnya. Oleh karena itu, perubahan perilaku menjadi kunci utama dalam mengatasi persoalan ini.
Solusi dan Aksi Nyata
Salah satu gagasan inovatif yang bisa diterapkan adalah program “Trash Trade Day” atau “Hari Tukar Sampah”. Konsepnya sederhana namun efektif: masyarakat yang mengumpulkan sampah plastik dalam jumlah tertentu dapat menukarkannya dengan kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, atau pulsa. Program ini tidak hanya mengurangi jumlah sampah yang berserakan, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa sampah memiliki nilai jika dikelola dengan baik. Selain itu, mahasiswa dapat turut serta dengan mengadakan edukasi lingkungan di sekolah-sekolah, karena menanamkan kepedulian sejak dini akan menciptakan generasi yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan. Jika anak-anak sudah memahami dampak negatif dari sampah dan terbiasa dengan kebiasaan baik, mereka akan tumbuh menjadi individu yang lebih sadar lingkungan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, gerakan "Sungai Bersih, Kota Sehat" bisa menjadi alternatif solusi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dalam program ini, mahasiswa, komunitas, dan pemerintah bekerja sama melakukan pembersihan sungai serta edukasi lingkungan secara berkala. Tidak hanya sekadar membersihkan, tetapi juga memberikan pemahaman kepada warga sekitar tentang pentingnya menjaga sungai tetap bersih. Melalui kegiatan ini, diharapkan akan muncul partisipasi masyarakat dan rasa memiliki terhadap lingkungan, sehingga perilaku membuang sampah sembarangan dapat diminimalisir.
Kampanye sosial melalui media digital juga bisa menjadi alat edukasi yang lebih luas dan efektif. Kampanye seperti “30 Hari Tanpa Sampah”, di mana masyarakat diajak untuk mengurangi produksi sampah mereka dan membagikan pengalaman mereka di media sosial, dapat menjadi tren positif yang menginspirasi lebih banyak orang untuk turut serta dalam menjaga kebersihan lingkungan. Dengan pendekatan yang lebih interaktif dan kekinian, masyarakat akan lebih mudah terlibat tanpa merasa terbebani.
ADVERTISEMENT
Banjir Bekasi bukan sekadar fenomena alam, melainkan hasil dari kurangnya kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Sampah yang berserakan menjadi pemicu utama yang seharusnya bisa dicegah jika setiap individu lebih bertanggung jawab. Sebagai mahasiswa, kita memiliki peran penting dalam mengubah pola pikir masyarakat melalui aksi nyata seperti “Trash Trade Day”, edukasi lingkungan, kampanye sosial di media digital, serta gerakan "Sungai Bersih, Kota Sehat". Dengan langkah-langkah ini, kita bisa menanamkan budaya peduli lingkungan yang lebih kuat dan berkelanjutan. Mari kita jadikan banjir sebagai peringatan untuk bertindak nyata, bukan sekadar kejadian berulang yang dibiarkan tanpa solusi efektif.
Desy Astriani Saragih Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Medan fakultas ekonomi prodi manajemen