Konten dari Pengguna

Ketika Candaan Berubah Jadi Teror: Seberapa Berbahaya Cyberbullying?

Desy Astriani Saragih
SAYA DESY ASTRIANI SARAGIH MAHASISWA FAKULTAS EKNOMI DAN BISNIS PRODI MANAJEMEN UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS MEDAN
16 Maret 2025 17:22 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Desy Astriani Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi Cyberbullying sumber pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi Cyberbullying sumber pixabay.com
ADVERTISEMENT
Cyberbullying adalah bentuk perundungan atau intimidasi yang terjadi di dunia maya melalui berbagai platform digital seperti media sosial, pesan instan, forum online, atau email. Tindakan ini bisa berupa penghinaan, penyebaran rumor, pelecehan, ancaman, hingga doxing (menyebarkan data pribadi seseorang tanpa izin). Berbeda dengan perundungan fisik, cyberbullying bisa terjadi kapan saja dan sulit dikendalikan karena jejak digitalnya dapat tersebar luas dan bertahan lama.
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, interaksi sosial semakin banyak terjadi melalui platform online. Namun, kemudahan berkomunikasi ini juga membuka peluang bagi munculnya perilaku negatif, salah satunya adalah cyberbullying. Cyberbullying merujuk pada tindakan intimidasi, pelecehan, atau penghinaan yang dilakukan melalui teknologi digital, seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau platform online lainnya.
Data menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah isu sepele. Menurut survei UNICEF, 45% dari 2.777 anak dan remaja di Indonesia mengaku pernah mengalami cyberbullying. https://www.unicef.org/
Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat bahwa mayoritas korban cyberbullying berasal dari kelompok usia 18–25 tahun (57%), diikuti oleh anak-anak di bawah usia 18 tahun (26%).DATA.GOODSTATS.ID
Dari data tersebut mengatakan cyberbullying sangat serius dan tidak bisa dianggap remeh. Korban sering mengalami gangguan mental seperti stres, kecemasan, hingga depresi. Penurunan kepercayaan diri akibat serangan verbal dan penghinaan terus-menerus juga sering terjadi. Selain itu, gangguan akademik atau pekerjaan dapat muncul karena korban sulit berkonsentrasi akibat tekanan psikologis. Dalam beberapa kasus ekstrem, korban bahkan memiliki keinginan untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Dampak cyberbullying
Cyberbullying bukan hanya gangguan kecil di dunia maya dampaknya bisa sangat serius dan luas. Korban sering mengalami tekanan psikologis yang mendalam, mempengaruhi kehidupan sosial, akademik, hingga kesehatan mental mereka. Stres, kecemasan, dan depresi adalah dampak paling umum yang dialami. Menurut survei UNICEF, 45% anak dan remaja di Indonesia pernah mengalami cyberbullying, dan sebagian besar dari mereka melaporkan perasaan tertekan serta kehilangan kepercayaan diri (UNICEF Indonesia). Dalam beberapa kasus ekstrem, korban bahkan mengalami trauma berkepanjangan hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya, seperti yang terjadi pada Amanda Todd, seorang remaja asal Kanada yang akhirnya bunuh diri setelah menjadi korban pelecehan dan perundungan di internet.
Selain dampak psikologis, cyberbullying juga bisa mempengaruhi kesehatan fisik. Korban sering mengalami gangguan tidur, kehilangan nafsu makan, dan sulit berkonsentrasi. Stres berkepanjangan akibat perundungan online dapat memicu sakit kepala, gangguan pencernaan, hingga menurunkan daya tahan tubuh. Akibat tekanan mental yang mereka alami, banyak korban yang kehilangan motivasi untuk bersekolah atau bekerja, sehingga prestasi akademik dan produktivitas mereka menurun drastis. Beberapa bahkan memilih untuk menghindari lingkungan sosialnya, menjauh dari teman dan keluarga, merasa sendirian, dan semakin terisolasi.
ADVERTISEMENT
Dampak yang lebih mengkhawatirkan adalah meningkatnya risiko perilaku berbahaya. Beberapa korban cyberbullying mencari pelarian melalui cara-cara yang merugikan diri sendiri, seperti penyalahgunaan obat-obatan, alkohol, atau bahkan melukai diri sendiri. Ini terjadi karena mereka merasa tidak memiliki cara lain untuk mengatasi tekanan yang mereka alami.
Cyberbullying menjadi semakin berbahaya karena dunia digital tidak memiliki batas yang jelas. Tidak seperti perundungan fisik yang bisa dihindari dengan menjauhi pelaku, cyberbullying bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Konten negatif yang diunggah ke internet bisa bertahan lama, menyebar dengan cepat, dan sulit dihapus, membuat korban terus-menerus dihantui oleh kejadian tersebut. Dalam situasi ini, dukungan sosial sangat penting. Korban perlu merasa bahwa mereka tidak sendirian dan memiliki tempat untuk mencari bantuan, baik dari keluarga, teman, maupun profesional kesehatan mental.C Cegah cyberbullying
ADVERTISEMENT
Solusi untuk cyberbullying sebenarnya bukan sekadar soal siapa yang harus bertindak, tapi bagaimana semua pihak bisa bekerja sama untuk menghentikannya. Orang tua punya peran besar dalam memberikan edukasi digital kepada anak-anak mereka, bukan hanya sekadar mengawasi, tetapi juga membangun komunikasi terbuka. Anak-anak perlu tahu bahwa mereka bisa bercerita tanpa takut disalahkan. Karena, jujur saja, banyak kasus di mana korban malah dimarahi atau disalahkan karena "terlalu sensitif" atau "tidak bisa membela diri."
Di sisi lain, sekolah juga harus lebih aktif dalam membahas isu ini, bukan cuma formalitas lewat seminar sekali setahun. Harus ada kurikulum atau minimal diskusi rutin yang mengajarkan bagaimana bersikap bijak di dunia maya. Masalahnya, banyak yang masih menganggap dunia digital sebagai sesuatu yang "tidak nyata," padahal dampaknya jelas terasa di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Media sosial dan platform digital juga harus lebih tegas dalam menangani kasus cyberbullying. Algoritma mereka bisa dengan mudah menyaring konten negatif, tapi sering kali kasus perundungan baru ditindak setelah viral atau ada tekanan publik. Ini yang perlu diubah. Laporan dari korban harus ditangani lebih cepat dan serius, bukan hanya sebatas "kami akan meninjau laporan Anda."
Hukum juga perlu lebih tegas. Di Indonesia, memang sudah ada UU ITE yang bisa menjerat pelaku cyberbullying, tapi penegakannya masih belum maksimal. Yang sering terjadi, kasus baru diproses kalau sudah ada dampak ekstrem, seperti korban mengalami gangguan mental berat atau lebih parahnya, bunuh diri. Padahal, pencegahan jauh lebih penting daripada sekadar menghukum setelah kejadian.
Cyberbullying bukan sekadar masalah individu, tapi juga cerminan dari bagaimana masyarakat kita memperlakukan ruang digital. Jika dibiarkan tanpa solusi konkret, maka perundungan online akan terus tumbuh, menciptakan lingkungan yang toxic dan penuh tekanan, terutama bagi anak muda yang masih mencari jati diri. Kita tidak bisa hanya berharap pada korban untuk "lebih kuat" atau "tidak terlalu baper," karena akar masalahnya ada pada budaya komunikasi yang semakin permisif terhadap kekerasan verbal.
ADVERTISEMENT
Solusi yang telah dibahas edukasi digital sejak dini, keterlibatan aktif orang tua dan sekolah, serta ketegasan platform media sosial dalam menangani kasus perundungan bukan sekadar teori. Ini adalah kebutuhan mendesak yang harus segera diterapkan. Fakta bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus cyberbullying tertinggi seharusnya cukup menjadi alarm bagi kita semua. Tanpa langkah nyata, kita hanya akan melahirkan generasi yang terbiasa membully dan terbiasa dibully.
Pada akhirnya, membangun lingkungan digital yang sehat bukan hanya tugas pemerintah atau perusahaan teknologi. Setiap individu punya peran. Setiap komentar yang kita ketik, setiap reaksi yang kita berikan, setiap sikap diam saat melihat seseorang dirundung semuanya berkontribusi pada bentuk dunia maya yang kita ciptakan. Jadi, pilihan ada di tangan kita: tetap menjadi bagian dari masalah, atau mulai menjadi bagian dari solusi.
ADVERTISEMENT
Desy Astriani Saragih Mahasiswa Universitas Katolik Santo Thomas Medan fakultas ekonomi prodi manajemen