Disney Princess Syndrome yang Telah Membudaya dalam Konsep Pernikahan

Detara Nabila Prastyphylia
An avid writer with a passion for visually appealing aesthetic pleasures.
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2017 12:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Detara Nabila Prastyphylia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bila berbicara mengenai konsep pernikahan yang dalam beberapa kasus dianggap sebagai sebuah jalan keluar bagi pihak perempuan (McLaughlin dan Lichter, 1997: 582), tentunya Disney Princess Syndrome tidak dapat lepas dari pembicaraan.
ADVERTISEMENT
Sindrom tersebut banyak dibahas oleh peneliti film anak-anak yang dibuat oleh studio animasi paling terkemuka di dunia, Disney, terutama yang berkaitan dengan Disney Princess, yakni film-film film Disney era Renaissance (versi lama, seperti Cinderella, Snow White, Sleeping Beauty, dsb) yang pemeran utamanya melibatkan sosok perempuan sebagai tuan putri atau princess.
M. Keith Booker sendiri sempat menjelaskan sindrom tersebut dalam bukunya yang berjudul 'Disney, Pixar, and the Hidden Messages of Children’s Films'.
Menurut Booker (2010: 24-25), dalam beberapa film Disney Princess seperti Cinderella dan Sleeping Beauty (putri tidur), sang pangeran memainkan peran aktif yang pada akhirnya membuahkan hasil berupa ia menyelamatkan sang putri. Sementara itu, sang putri hanya menunggu untuk diselamatkan oleh sang pangeran.
ADVERTISEMENT
Padahal sesungguhnya sang putri lah yang berusaha keras membangkitkan semangat (dalam kata lain, memburu-buru) sang pangeran untuk menyelamatkan sang putri, dan meyakinkannya untuk bertindak layaknya seorang pahlawan yang baru saja melakukan tindakan mulia karena telah menolong sang putri dari kemeranaan — lalu, tentu saja, dilanjutkan dengan pernikahan sang raja dengan sang putri, kemudian mereka hidup bahagia selama-lamanya.
Sebuah akhir bahagia atau happy ending yang lumrah ditampilkan di akhir film Disney Princess, tak lupa dengan narator yang mengucapkan, “and then they live happily, ever after.”
Tuan putri yang duduk diam termenung dan tidak melakukan tindakan apa-apa, menanti sang pangeran untuk datang dan merubah nasibnya — inilah yang kemudian dimaksud oleh peneliti sebagai Disney Princess Syndrome, sebuah sindrom yang dinilai menggerogoti sebagian mental perempuan di seluruh dunia sejak usia dini dan bahkan terbawa hingga dewasa (Harstein, 2011), tak terkecuali perempuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berbagai psikolog seperti Harstein pun mengakui bahwa sindrom ini merupakan sindrom yang berpotensi menimbulkan masalah bagi mental si anak ketika ia beranjak dewasa, salah satunya adalah mindset bergantung pada orang lain dan menunggu "diselamatkan" alih-alih berusaha sendiri.
Disney Princess Syndrome juga menyebabkan sang empunya memiliki anggapan bahwasanya akhir dari suatu cerita yang bahagia pasti ditandai dengan pernikahan; bahwasanya pertemuan dengan cinta sejati dan menikah akan menjamin bila hidup kita pasti akan menjadi lebih baik ke depannya.
Tak hanya berhenti sampai di situ saja, adegan-adegan pernikahan dalam film Disney Princess juga menampilkan seremonial pernikahan yang nampak mewah, seakan-akan menunjukkan bahwasanya tidak ada yang dapat mengalahkan kebahagiaan dari suatu seremonial pernikahan yang mewah, glamor, dan megah.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut menyebabkan banyak perempuan yang menjunjung tinggi atau glorifying sisi materialisme dari ikatan sakral pernikahan dan mereduksinya menjadi suatu seremonial belaka.
Referensi: