Simulasi Sidang Dewan Keamanan PBB tentang Situasi di Rwanda

Konten dari Pengguna
26 November 2018 20:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dethi Gani Peserta Sesdilu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun ini, Indonesia terpilih kembali menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk periode tahun 2019-2020. Sebagian diplomat Indonesia yang terpilih menjadi anggota Satuan Tugas (Satgas) Keanggotaan Indonesia pada DK PBB telah diberangkatkan ke New York.
ADVERTISEMENT
Sebelum memulai masa jabatannya, mereka akan mendapatkan pelatihan intensif mengenai tata cara penyelenggaraan sidang DK PBB sesuai aturan prosedural yang telah ditetapkan sejak 1982.
Para diplomat Indonesia juga akan berkesempatan untuk mempelajari isu-isu yang dibahas di DK PBB dan mempersiapkan usulan posisi Indonesia terkait isu yang menjadi prioritas Indonesia untuk diperjuangkan melalui DK PBB. Bukan hanya di New York, kantor pusat Kementerian Luar Negeri juga mulai mempersiapkan berbagai program kegiatan guna mengisi keanggotaan Indonesia pada DK PBB.
Dokumen panduan simulasi dan berkas Resolusi DK PBB (Sumber: Dok. Pribadi/Istimewa)
Jum’at lalu, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Luar Negeri juga menggelar simulasi sidang DK PBB yang dilakoni oleh 20 orang peserta diklat Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) angkatan ke-62.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah 20 orang diplomat madya yang telah bertugas di Kemlu selama lebih dari 10 tahun dan sedikitnya telah ditempatkan satu kali di Perwakilan RI di luar negeri. Diklat Sesdilu adalah salah satu syarat kenaikan pangkat/golongan dan gelar diplomatik bagi seorang diplomat madya.
Ruang Simulasi Sidang DK PBB yang mengikuti bentuk asli ruang sidang di New York (Sumber: Dok.Sesdilu 62/Istimewa)
Simulasi sidang ini diselenggarakan guna memberikan pemahaman kepada para diplomat madya Kemlu mengenai proses penyelenggaraan negosiasi hingga persidangan di DK PBB, khususnya mengingat bahwa tidak semuanya pernah ditempatkan di Perwakilan Multilateral seperti di New York dan Geneva.
Kapusdiklat Kemlu, Bapak Yayan GH Mulyana, memberikan pengarahan mengenai tata cara proses drafting Resolusi DK PBB No.955 (Sumber : Dok. Sesdilu 62/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Simulasi sidang DK PBB ini dipandu oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kemlu, Bapak Yayan GH Mulyana, yang pernah bertugas sebagai Koordinator Politik pada Satgas Keanggotaan Indonesia pada DK PBB periode 2007-2008.
Tema yang dipilih untuk simulasi sidang ini terkait dengan pembunuhan massal yang terjadi selama 100 hari di Rwanda pada tahun 1994, khususnya sidang ke-3453 saat pembentukan Pengadilan Internasional untuk menghakimi pelaku pelanggaran hukum kemanusiaan internasional di wilayah Rwanda dan warga negara Rwanda yang melakukan tindakan pelanggaran tersebut di negara tetangga.
Membacakan posisi China setelah proses voting (Sumber: Dok. Sesdilu 62/Istimewa)
Masing-masing peserta diklat Sesdilu 62 dibagikan peran antara lain sebagai Sekjen DK PBB, perwakilan 5 anggota tetap DK PBB (Amerika Serikat, Inggris, Perancis, China, Russia), 10 anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 1993-1994 (Argetina, Brazil, Republik Czech, Djibouti, New Zealand, Spanyol, Rwanda, Pakistan, Oman, Nigeria), 3 negara yang terkait dengan pembahasan sidang atas undangan anggota DK PBB (Belgia, Bangladesh, Kanada) dan 1 Perwakilan Organisasi Regional (Organization of African Unity).
Konferensi Pers setelah sidang (Sumber: Dok. Sesdilu62/Istimewa)
ADVERTISEMENT
Selama kurang lebih 2 minggu sebelum simulasi sidang ke-3453, peserta Sesdilu 62 diharapkan dapat mengumpulkan informasi mengenai posisi masing-masing negara yang diwakilinya.
Hal ini dimaksudkan untuk dapat menyusun kertas posisi masing-masing negara dengan mempertimbangkan BATNA (Best Alternative to a Negotiated Agreement), alternatif terbaik pada sebuah negosiasi perjanjian, yang terdiri dari High Call sasaran utama, Fall Back Position hal yang masih dapat dipertimbangkan, dan Red line batasan negosisasi.
Dengan mengetahui posisi masing-masing negara yang diwakili, para peserta kemudian dituntut untuk dapat berdiplomasi dan melakukan negosiasi antar-negara di sela-sela aktivitas diklat Sesdilu, guna mencapai kesepakatan terhadap solusi atau intervensi internasional atas perkembangan masalah di lapangan.
Krisis di Rwanda memuncak setelah pembunuhan Presiden Rwanda Juvénal Habyarimana dan Presiden Burundi Cyprien Ntaryamira pada 6 April 1994, dengan tertembak jatuhnya pesawat kepresidenan yang mengangkut kedua Kepala Negara tersebut dekat Bandara Internasional Kigali di ibu kota Rwanda.
ADVERTISEMENT
Kematian pimpinan negara di Rwanda memperkeruh Perang Saudara di Rwanda antara mayoritas keturunan petani Hutu dan minoritas keturunan bangsawan Tutsi yang mulai pecah pada 1990. Selama 100 hari kekosongan Pemerintahan, militan Hutu melakukan pembataian dan pembunuhan terhadap hampir 1 juta populasi Tutsi dan Hutu moderat.
(Sumber: pixabay.com)
Pasukan Perdamaian PBB bertugas di bawah bendera United Nations Assistance Mission for Rwanda (UNAMIR) yang dibentuk melalui Resolusi DK PBB No. 872 pada 5 Oktober 1993, tidak berhasil menghentikan pembunuhan massal yang terjadi di Rwanda, karena keterbatasan mandat dan wewenang serta sumber daya.
Kekosongan pemerintahan di Rwanda dan pembunuhan terhadap 10 orang anggota Pasukan Perdamaian menyebabkan DK PBB mengurangi pasukannya dari 2500 menjadi 270 personel.
Tarian Tradisional di Rwanda (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Kegagalan DK PBB dalam mencegah pembunuhan massal di Rwanda terus menjadi sorotan publik internasional. Para peserta Sesdilu 62 diajak menggali latar belakang masalah di balik keputusan non-intervensi mayoritas negara anggota DK PBB terhadap kondisi Rwanda pada saat itu.
Belajar dari kegagalan negara lain agar nantinya kita tidak jatuh pada lubang yang sama dan melakukan kesalahan yang sama dalam mempertahankan perdamaian dunia.