Novel Death Is Hard Work: Gambaran tentang Perang di Suriah

Deva Yohana
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
11 Juli 2022 17:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deva Yohana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi minibus yang rusak akibat perang. (Sumber foto: Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minibus yang rusak akibat perang. (Sumber foto: Pexels.com)
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Gejolak perang sipil terjadi di beberapa negara Timur Tengah. Salah satu negara di kawasan ini yang mengalaminya adalah Suriah. Penyebab terjadinya perang di Suriah diawali dari adanya aksi protes masyarakat yang menginginkan diselenggarakannya sistem pemerintah demokratik terhadap pemerintahan yang dipimpin oleh Bashir al-Asaad. Namun, seiring berjalannya waktu aksi tersebut malah berkembang menjadi perang saudara atau perang sipil yang menelan banyak korban jiwa.
Perpecahan masyarakat menjadi kubu rezim dan oposisi ditambah masuknya kelompok ekstrimis membuat perang tersebut semakin rumit untuk diselesaikan. Satu pihak dengan pihak lainnya saling menyerang mempertahankan apa yang menurut mereka benar. Akibatnya, banyak anak-anak, wanita, dan orang tua yang menjadi korban. Bangunan hancur menyisakan puing-puing karena terkena ledakan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat pun kesulitan mencari tempat yang aman. Tidak sedikit dari mereka yang pada akhirnya meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke negeri lain menjadi perantauan. Selain itu, adanya perang mengakibatkan terjadinya banyak masalah dan konflik sosial.
Gambaran nyata dari peristiwa perang sipil yang terjadi di Suriah tersebut digambarkan oleh seorang novelis pemenang penghargaan The Naguib Mahfouz Medal for Literature bernama Khaled Khalifa melalui sebuah novel yang berjudul الموت عمل شاق (Mawt ʻamal shāqq) yang diterbitkan pada tahun 2016. Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Death Is Hard Work oleh Leri Price pada tahun 2019.

Sinopsis Novel Death Is Hard Work

Cerita di dalam novel ini diawali dari pesan terakhir seorang ayah bernama Abdel Latif kepada putranya, Bolbol. Ia berwasiat agar jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya di Desa Anabiya. Letak makamnya harus di sebelah adiknya yang bernama Layla.
ADVERTISEMENT
Secara tidak sadar Bolbol telah mengiyakan permintaan terakhir ayahnya tersebut. Ia lupa kalau situasi Suriah, terutama di tempat yang akan ditujunya, yaitu kota S, tidak aman. Kota S merupakan wilayah oposisi, sedangkan wilayah tempat tinggalnya saat ini, yaitu Damaskus, merupakan basis pemerintah.
Bolbol tidak mau menanggung kesulitan ini sendirian. Ia pun memberitahu wasiat sang Ayah kepada dua saudaranya, Hussein dan Fatima. Akhirnya, pesan terakhir Abdel Latif membawa tiga saudara yang tidak akur itu ke dalam sebuah perjalanan menggunakan minibus milik Hussein dari Kota Damaskus menuju Kota S.
Perjalanan itu mereka lewati sambil kembali kepada memori masa lalu. Tentang masa kecil mereka, tentang perasaan damai yang mereka rindukan sebelum terjadinya peperangan, dan tentang kondisi keluarga mereka yang berantakan.
ADVERTISEMENT
Perjalanan itu juga jauh dari bayangan yang diidealkan. Situasi negara sedang tidak aman, sehingga pergi ke kota seberang saja harus melewati banyak pos keamanan. Padahal, jenazah sang Ayah harus segara dimakamkan.
Identitas mereka yang berasal dari Kota S pun membuat masalah yang dihadapi menjadi lebih runyam. Mereka mengalami kesulitan ketika melewati beberapa pos keamanan dan harus merelakan ribuan Lira uang mereka untuk menyuap petugas karena surat kematian ayahnya acapkali tidak membantu. Berhasilkah mereka membawa jenazah sang Ayah ke Desa Anabiya dan memakamkannya di sebelah Layla?

Sisi Lain Novel Death Is Hard Work

Ilustrasi bangunan yang rusak akibat peperangan. (Sumber foto: Pexels.com)
Novel ini disebut-sebut sebagai karya masterpiece karena penulis berani mengangkat masalah sosial yang cukup sensitif. Pertama, secara tidak langsung, novel ini ingin memberi tahu dunia, terutama pemerintah Suriah, bahwa adanya peperangan hanya akan menimbulkan penderitaan.
ADVERTISEMENT
Warga Suriah yang digambarkan di dalam novel ini terbelah menjadi dua kubu, antara pendukung rezim dan penentangnya. Masyarakat yang tidak ingin berada di antara keduanya harus rela menikmati suguhan suara bom dan tembakan yang seperti tidak ada jedanya. Merekalah yang menjadi korbannya jua.
Kedua, penulis mengangkat isu mengenai tradisi menjodohkan anak perempuan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab. Layla, adik Abdel Latif, tidak diperbolehkan untuk menikah dengan lelaki pilihannya. Kelanjutan dari cerita hidup Layla pun di luar dugaan kita semua.
Ia awalnya memang rela dijodohkan, tetapi tepat di hari pernikahannya, ia memutuskan untuk membakar diri di lantai atas rumahnya dan disaksikan langsung oleh Abdel Latif. Keluarga menutupi kematian Layla dengan mengatakan penyebabnya ia sudah gila.
ADVERTISEMENT
Ketiga, terjadinya disorganisasi keluarga pada keluarga Abdel Latif menjadi masalah sosial lain yang disajikan oleh penulis. Kegagalan Abdel Latif dalam menjalankan perannya sebagai kepala keluarga membuat anak-anaknya memiliki kondisi psikologis yang tidak sehat dan keluarganya menjadi tidak harmonis.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca dan dikaji, terutama bagi kamu yang sedang mendalami sastra Arab. Sayangnya, novel ini belum ada terjemahannya dalam bahasa Indonesia.