Konten dari Pengguna

Sastra Pascakolonial dalam Novel Season of Migration to the North

Deva Yohana
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26 Desember 2021 20:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Deva Yohana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pinterest.com
zoom-in-whitePerbesar
pinterest.com
ADVERTISEMENT
Info tentang novel:
Judul: Season of Migration to the North
ADVERTISEMENT
Penulis : Tayeb Salih
Penerjemah : Denys Johnson-Davies
Penerbit : New York Review Books Classics
Jumlah Halaman : 139
ISBN : 1590173023 / 9781590173022
Salah satu cabang dalam kesenian adalah sastra, yang dalam peradaban manusia diperkirakan sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah masyarakat acapkali berfungsi sebagai penggambaran realitas budaya maupun realitas sosial. Salah satu jenis sastra yang menggambarkan realitas yang dimaksud adalah sastra pascakolonial. Sastra pascakolonial sendiri mengandung makna sebagai sastra yang tercipta dari realitas dan pengalaman masa kolonial. Karya sastra dengan tema pascakolonial digunakan sebagai media oleh penulis atau sastrawan untuk menggambarkan dan menceritakan berbagai konflik atau gesekan yang terjadi akibat adanya kolonialisme, terutama di negara dunia ketiga, yang dilakukan oleh kekuatan imperial dan mempertegas perbedaan pendapat-pendapat yang dibentuk oleh pusat imperial.
ADVERTISEMENT
Tentunya ada banyak karya sastra Arab modern yang merekam jejak kolonialisme. Salah satunya adalah novel Season of Migration to the North yang merupakan terjemahan dari novel berbahasa Arab yang berjudul Mausim al-Hijrah Ila al-Syimal karya penulis asal Sudan yang bernama Tayeb Salih. Sudan sendiri pada masa lalu pernah menjadi negeri jajahan Inggris. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh penulis di dalam novel tersebut.
Sisi menarik lainnya adalah novel tersebut merupakan kontranarasi dari sebuah novel yang berjudul Heart of Darkness karya Joseph Conrad. Pada novel Heart of Darkness, Conrad menggambarkan perjalanan yang dilakukan oleh lima orang sahabat dengan tokoh utama Charles Marlow dari negeri Inggris menuju ke benua Afrika, persisnya di negara Kongo. Sedangkan novel karya Tayeb Salih ini bercerita mengenai tokoh Mustafa Said yang melakukan perjalanan dari negera Sudan ke negara Inggris.
ADVERTISEMENT
Yang membuat novel ini unik adalah sudut pandang yang digunakan oleh penulis, yaitu sudut pandang orang pertama sebagai pelaku sampingan, karena yang menjadi pusat cerita (tokoh utama) dalam novel ini adalah Mustafa Said. Narator, tokoh aku, menceritakan sebagian besar kisahnya merujuk kepada pengalaman-pengalaman Mustafa Said. Adapun latar waktu yang digunakan berkisar pada tahun 1960-an. Novel ini menjadikan penulisnya, Tayeb Salih, masuk ke dalam kategori penulis Arab terbaik abad ke-20. Selain itu, novel ini menjadi bacaan wajib di beberapa universitas luar negeri dalam mempelajari karya sastra pascakolonial. Sayangnya, novel ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga pembaca Tanah Air harus membacanya menggunakan bahasa Arab atau bahasa Inggris.
Berikut ini adalah sinopsis dari novel Season of Migration to the North:
ADVERTISEMENT
Setelah tujuh tahun lamanya mencari ilmu di Negara Inggris, tokoh Aku (Narator) pulang ke kampung halamannya di Desa Wan Hamid yang terletak di tepi sungai Nil di Sudan. Di sana, ia disambut dengan meriah oleh warga desa yang telah menantinya. Sehingga dia merasa superior. Dari sekian banyak warga yang menyambutnya, ada seseorang yang baru dilihatnya hanya berdiam saja tanpa antusias. Ini yang menyebabkannya larut dalam rasa penasaran. ia mencari tahu lewat ayah, kakek, dan keluarganya yang lain mengenai siapa gerangan laki-laki itu?
Namanya adalah Mustafa Sa’id. Dia merupakan “warga baru” yang datang lima tahun lalu yang berasal dari kota Khartoum. Di desa tersebut ia membeli sebuah rumah, tanah, dan ladang serta menikahi seorang perempuan bernama Husna bint Mahmoud. Ia bekerja sebagai petani dan menjalankan sebuah bisnis. Ia menjadi anggota Komite Proyek bersama beberapa warga di situ, termasuk Mahjoub, teman masa kecil Narator.
ADVERTISEMENT
Rasa penasaranan Narator semakin memuncak ketika pada suatu hari Mahjoub mengadakan makan malam bersama warga desa di tempatnya. Ketika dalam keadaan dipengaruhi oleh minuman, Mustafa Said tanpa sadar melantunkan puisi berbahasa Inggris dengan pengucapan yang sempurna. Seolah-olah Narator tidak percaya ada diantara warga desanya yang bisa berbahasa Inggris sebagus itu dan bertekad untuk membuka identitas Mustafa Said yang sesungguhnya.
Narator bertanya langsung kepada Mustafa tentang masa lalunya dan Mustafa bersedia menceritakan sebagian besar kisah hidupnya. Narator, tanpa dipungkiri, menjadi terpesona oleh Mustafa dan mengetahui bahwasanya Mustafa juga sama seperti dirinya merupakan didikan Barat. Akan tetapi, Mustafa memiliki hubungan dan kehidupan yang kompleks dengan identitas dan kehidupannya di Barat. Kisah masa lalu Mustafa yang bermasalah di Eropa dan khususnya hubungan cintanya dengan wanita Inggris menjadi pusat cerita dalam novel ini. Ada empat wanita Inggris yang menjalani hubungan dengannya yang semuanya berakhir dengan tragedi. Tiga dari wanita tersebut bunuh diri dan yang keempat, istri Mustafa, dibunuh olehnya. Dia diadili atas pembunuhan itu dan menjalani hukuman di penjara Inggris selama tujuh tahun.
ADVERTISEMENT
Setelah bebas dari penjara, Mustafa mengembara mencari tempat untuk melanjutkan hidup. Dia merasa nyaman setelah tinggal di desa Wan Hamid. Selang beberapa waktu setelah menceritakan dirinya pada Narator, Mustafa ditemukan tewas karena tenggelam di sungai Nil, tidak jelas apakah dia benar-benar tenggelam atau menenggelamkan diri (bunuh diri). Husna, istrinya, dipaksa menikah dengan seseorang yang bernama Wad Reyyes. Dia menolak. Akan tetapi, dia tidak punya kuasa setelah ayah dan kakak laki-lakinya setuju dengan pernikahan tersebut. Sebenarnya Husna telah jatuh cinta dengan Narator yang menjadi wali atas dirinya dan kedua anak laki-lakinya atas wasiat Mustafa dan ingin menikah dengannya. Pernikahan yang dijalankan secara terpaksa tersebut berakhir tragis setelah Husna menikam Wad Reyyes hingga meninggal kemudian memutuskan untuk bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Dalam bab terakhir, Narator berjalan ke tengah Sungai Nil. Ia berada di antara posisi sadar dan tidak sadar mengenai apa yang sedang ia lakukan. Ia berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Kemudian ia memutuskan untuk tetap hidup. Ia menggerakkan kaki dan lengannya dengan kuat dan dengan penuh kesulitan hingga setengah tubuhnya berada di atas air. Ia berteriak, “Tolong! Tolong!”.