Konten dari Pengguna

Tradisi Khitan Perempuan: Suara yang Tak Didengar

Devana Situmorang
Mahasiswa Sosiologi di Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur
7 Desember 2024 15:48 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Devana Situmorang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Anak Perempuan yang Trauma (sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/gadis-muda-yang-tertekan-menutupi-telinganya-6034062/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Anak Perempuan yang Trauma (sumber: https://www.pexels.com/id-id/foto/gadis-muda-yang-tertekan-menutupi-telinganya-6034062/)
ADVERTISEMENT
Suara gemetar masih terngiang di telinga saya. Saat itu, saya baru saja mendengar kisah seorang perempuan. Perempuan yang sudah saya kenal lumayan lama di media sosial. Dia mengalami trauma yang mendalam akibat dari adanya praktik khitan perempuan. Dari ceritanya, saya melihat bahwa praktik ini bukan hanya sebuah ritual, tetapi sebuah pelanggaran nyata terhadap hak asasi perempuan yang sudah mengakar begitu dalam di dalam tradisi masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT

Ritual Makkate dan Mongubingo

Tahukah Anda, bahwa khitan ternyata tidak hanya milik kalangan laki-laki? Bahkan ternyata praktik sunat perempuan masih sangat hidup di berbagai wilayah Indonesia. Di lansir dalam (CNN Indonesia, 2023) mengatakan bahwa di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya ritual yang mereka sebut “Makkate” sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi lokal. Dimana anak perempuan berusia 4 hingga 7 tahun kerap menjalani prosesi ini dengan keyakinan bahwa mereka akan “disucikan” dan terhindar dari perilaku yang tidak bermoral. Biasanya seorang yang disebut sebagai “Sanro” atau ahli dalam keluarga ditunjuk untuk memimpin ritual ini. Seorang ibu pelaku sunat yang bernama Andi Ika Mardita mengatakan bahwa “Makkate" merupakan sebuah adat istiadat yang turun menurun. Andi Ika Mardita sebagai orang tua mengatakan, ''Sebelum melakukan prosesi ritual Makkate, biasanya kami mempercayai seorang ahli dalam keluarga untuk memipin terlaksananya ritual tersebut. Anak di Bone biasanya disunat saat berumur 4 sampai 7 tahun, dan sudah bisa baca syahadat dan baca Al-Quran. Dengan makkate, anak perempuan dianggap sah sebagai muslim dan tidak beresiko menjadi perempuan yang nakal dan binal kelak saat dewasa.” Provinsi Gorontalo juga memiliki Tingkat praktik tertinggi dalam praktik khitan perempuan dengan sebutan “Mongubingo”, yang di klaim bukan sekedar reduksi hasrat seksual, tetapi juga sebagai Upaya menjaga kehormatan perempuan. Bahkan Jakarta yang menjadi sebagai pusat kota pun masih ada yang menerapkan praktik ini, namun tidak banyak dokter atau bidan yang melakukan itu, Medina sebagai bidan mengatakan, “Sekarang masih banyak yang melakukan praktik ini, terutama orang tua. Biasanya ibu dari bayi yang meminta hal itu ke bidan, tapi setelah dikasih tau kalau praktik ini tidak direkomendasikan langsung paham dan ngerti. Kebanyakan orang-orang zaman dulu, karena bagi mereka khitan perempuan sudah turun menurun menjadi adat istiadat".
ADVERTISEMENT

Indonesia Salah Satu Negara Dengan Praktik Sunat Perempuan Terbanyak

Fakta mengejutkan memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara keempat di dunia dengan praktik sunat perempuan terbanyak. Data UNICEF mengatakan bahwa 49% anak perempuan berusia 0 hingga 14 tahun telah mengalami prosesi ini, yang kebanyakan adalah rekomendasi dari orang tua mereka karena tradisi yang sudah terlaksana secara turun temurun. Di balik dalih tradisi dan agama, para ahli memberikan perspektif yang berbeda. Quraish Shihab, seorang pendiri Pusat Studi Al-Qur’an, dengan tegas menyatakan bahwa, ''Tidak ada satupun ayat atau hadits shahih yang mendukung praktik sunat perempuan". Dunia medis pun secara konsisten menolak praktik ini, WHO bahkan menegaskan bahwa praktik khitan perempuan ini hanya akan membahayakan dan sama sekali tidak memiliki manfaat. Risiko medis yang ditimbulkan juga sungguh mengerikan. Mulai dari keloid, infeksi vagina, gangguan menstruasi, hingga komplikasi yang terjadi saat melahirkan.
ADVERTISEMENT

Stigma Perempuan

Yang paling menyakitkan, praktik ini seolah-olah hanyalah upaya sistematis untuk mengendalikan perempuan. Nur Rofiah sebagai pengajar Ilmu Tafsir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan, "Stigma bahwa perempuan tanpa khitan akan “liar” secara ilmiah yang bahkan tidak dapat dibuktikan, tapi stigma ini tetap dipercaya oleh karena itu tradisi khitan perempuan ini tetap dilakukan secara turun temurun. Padahal, dalam kenyataannya pelaku pelecehan seksual yang sampai saat ini terjadi justru mayoritas dilakukan oleh laki-laki. Perempuan kerap kali menjadi korban pelecehan seksual, jadi kalau berbicara mengenai “binal”, siapa yang “binal” dalam hal permasalahan ini?. Perempuan itu sering merasa kesakitan, bahkan jangan kan untuk hubungan seksual yang ada penetrasinya, jika terkena celana dalam saja sudah merasa sakit. Jadi kalau alasannya untuk menahan libido perempuan agar tidak liar saat dewasa menurut saya tidak masuk akal dan stigma tersebut kurang tepat. Perempuan dapat mengontrol dan mengendalikan diri atau tidak tergantung akhlak dan kesadarannya masing-masing''. Praktik ini sulit dihapuskan. MUI menyatakan bahwa sunat perempuan adalah bentuk kemuliaan. Sedangkan dalam Permenkes nomor 6 tahun 2014 mengatakan, “Sunat perempuan hingga saat ini bukan merupakan tindakan kedokteran, karena pelaksanaannya tidak berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan”.
ADVERTISEMENT

Pengalaman Pilu

Kembali lagi dengan cerita seorang teman saya, yang identitas diri dan asalnya tidak mau disebutkan. Saya mengenal dia di aplikasi X, dimana saat tahun 2023 ada thread mengenai hak asasi perempuan. Dari semenjak itu kami mulai berteman dan banyak bercerita. Salah satu ceritanya adalah khitan perempuan. Saat mendengarkan ceritanya, saya baru mengetahui mengenai adanya khitan perempuan yang menjadi tradisi secara turun temurun dikeluarganya. Dia mengatakan, “Keluargaku itu kumpulan orang-orang yang taat sama tradisi, jadi tradisi yang ada di awal bener-bener diwarisin sampai kebawah-bawahnya. Inget banget pas umur sepuluh tahun, keluargaku selalu ngomongin kalo aku harus jalanin tradisi khitan perempuan, aku langsung cari tau lah di youtube khitan perempuan itu gimana, setelah aku tau aku langsung ga setuju sama keinginan orang tuaku. Tapi setelah aku bilang gitu, orang tuaku marah besar ke aku dan tetep maksa aku buat lanjutin tradisi ini. Aku selalu dipaksa setiap harinya, pas saat aku mau di khitan juga mereka ga kasih tau aku sama sekali. Tiba-tiba aku di dandanin terus disuruh pakai baju yang udah mereka beliin. Pas keluar kamar aku lihat rumah udah rame banget, terus ada pamanku sebagai keluarga yang tertua yang mimpin acara ini. Saat itu aku kecewa berat sama orang tuaku, kenapa aku harus ngelakuin sesuatu yang sudah jelas-jelas aku gamau. Aku ngerasa kesel juga sama keluarga besarku, ngerasa gaada yang dipihakku buat ngebela. Tangan dan tubuhku semua mereka pegang dan aku cuman bisa pasrah. Pas sebelum proses khitan semuanya bilang ke aku kalau rasanya kayak di gigit semut, setelah aku dalam proses itu rasanya benar-benar sakit yang sangat perih. Setiap pipis aku selalu nangis, karena luka itu kalo kena air ya perihnya semakin kerasa. Jangankan buat pipis, saat aku mau buang air besar atau jongkok saja perihnya selalu kerasa. Seminggu kemudian, aku ngerasa kok bagian itu ku kayak lecet ya. Yaudah akhirnya aku bilang ke orang tuaku dan langsung ke dokter, terus dokternya bilang aku kena infeksi vagina, Aku mau marah yang semarah-marahnya ke semua orang, pantes aja setiap pipis selalu ngerasa sakit. Aku trauma sama rasa sakitnya, trauma karena pemaksaannya, trauma sama semua orang yang saat itu datang kerumahku. Bahkan saat berpapasan atau ketemu sama laki-laki manapun aku selalu takut, keinget paman yang khitan aku waktu itu’’.
ADVERTISEMENT

Penutup

Saya sangat sedih dan tersentuh dengan semua cerita yang diceritakan oleh teman saya. Khitan perempuan dapat dikatakan sebagai kekerasan terhadap anak yang belum dapat diberikan kesempatan dalam memutuskan Keputusan dan keinginannya sendiri. Sudah saatnya kita membongkar mitos, menolak tradisi yang merugikan, dan melindungi hak-hak perempuan. Khitan perempuan bukan sekedar ritual, tapi sebuah pelanggaran kemanusiaan yang harus segera dihentikan. Sekarang saatnya kita bertindak, sebarkan kesadaran, dan melindungi kaum perempuan.
Devana Situmorang, mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya