Konten dari Pengguna

Krisis Identitas

Nanda Pratama
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jambi
21 September 2023 19:46 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nanda Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi identitas. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi identitas. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Di tengah gejolak tatanan sosial dan budaya yang semakin rumit, kita sering dihadapkan pada ketidakjelasan yang mengganggu. Dari ketidakpastian mengenai apa yang benar hingga bingungnya tujuan hidup yang ingin kita capai, sepertinya kita tenggelam dalam lautan pertanyaan tanpa jawaban. Seneca dengan bijak mengatakan, "Jika seseorang tidak mengetahui pelabuhan mana yang ingin dituju, maka tak ada angin yang baik baginya," dan dalam era informasi ini, kita seperti burung di dalam sangkar yang tidak tahu apa yang kita cari.
ADVERTISEMENT
Saat kita tanya burung di dalam sangkar apa yang mereka harapkan, mereka akan menjawab dengan tegas: ingin terbang bebas di angkasa. Namun, ketika kita tanya diri kita sendiri tentang tujuan hidup, seringkali jawaban yang kita berikan justru mengundang lebih banyak pertanyaan. Hal ini menyebabkan kita menjalani kehidupan secara asal-asalan, seperti layaknya mencari pelabuhan tanpa kompas.
Dalam proses ini, kita risaukan hilangnya identitas diri. Identitas, yang seharusnya menjadi bagian integral dari siapa kita, tampaknya tidak lagi mendapat perhatian yang layak. Co-founder dan CEO media alternatif Hipwee, Nendra Rengganis mengatakan kita tenggelam dalam lautan konten digital dan banjir informasi. Hanya dalam sehari, terdapat 400 menit konten video yang diunggah di YouTube dan 80 juta konten yang diunggah di Instagram. Kita terlalu sibuk mengonsumsi informasi, namun melupakan refleksi tentang siapa sebenarnya kita.
ADVERTISEMENT
Fenomena selfie juga mencerminkan kecenderungan ini. Lebih dari 70 persen foto yang diambil pada perangkat Android menggunakan kamera depan, dengan banyak yang mengandalkan filter untuk menciptakan citra diri yang "sempurna." Wanita, khususnya, merasa tertarik untuk mempercantik gambar mereka dengan aplikasi pemfilteran. Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan identitas kita?
Di sisi lain, di Jerman, orang tua berperan aktif dalam mengelola akun media sosial anak-anak mereka, menjaga privasi dan gambar anak-anak mereka. Namun, di dunia yang telah menghasilkan lebih dari 24 miliar foto dengan label selfie di Google Foto, pertanyaannya adalah, apa yang terjadi pada privasi dan identitas kita?
Mengambil dan berbagi selfie, sebagaimana disorot oleh Google, telah menjadi bagian besar dalam kehidupan wanita di AS, dengan dampak yang merembes hingga ke perilaku dan ekonomi rumah tangga. Tetapi apakah kita menyadari bahwa identitas sejati kita jauh lebih berharga daripada tampilan yang diubah oleh filter?
ADVERTISEMENT
Di era ini, kita dihadapkan pada tantangan untuk menemukan kembali kepastian dalam diri kita yang telah hilang. Mari kita refleksikan tujuan hidup kita, jauh dari hiruk-pikuk media sosial dan tekanan budaya. Kita harus menghargai kembali identitas kita yang unik dan menghadapinya dengan keyakinan yang kokoh, menjadikan kejernihan sebagai satu-satunya kompas dalam mengarungi lautan ketidakjelasan ini.