Konten dari Pengguna

Novel Gadis Pantai: Menilik Diskriminasi Sosial dan Gender dalam Karya Sastra

Devira Khumaira
Mahasiswa S-1 Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
20 Juni 2023 14:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Devira Khumaira tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi diskriminasi gender. Foto: iStockphoto
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diskriminasi gender. Foto: iStockphoto
ADVERTISEMENT
Karya sastra adalah media penyampaian gagasan seorang pengarang kepada khalayak umum. Karya sastra tercipta sebagai hasil dari dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa karya sastra sejatinya merupakan sebuah miniatur kehidupan dengan segala persoalan di dalamnya. Ide, gagasan, dan tema diangkat berdasarkan realitas sosial yang telah terjadi, kemudian dituangkan secara lisan atau dalam bentuk teks oleh pengarangnya. Misalnya saja karya sastra pascakolonial, tercipta dari relitas serta pengalaman-pengalaman pada masa kolonial. Karya sastra pascakolonial mengisahkan berbagai gesekan dan konflik yang terjadi ketika kekuasaan dominatif, dalam konteks ini kekuatan imperial mulai muncul.
ADVERTISEMENT
Salah satu sastrawan ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer telah berhasil menciptakan berbagai karya sastra yang mengangkat realitas sosial di masyarakat, baik dari pengalamannya sendiri ataupun dari pengalaman orang-orang di sekitarnya. Sebuah karya ciptaan Pram dalam bentuk novel yang berjudul Gadis Pantai misalnya, mengisahkan kehidupan seorang perempuan yang dulunya hidup di kampung nelayan pesisir Laut Jawa, Karesidenan Jepara, Jawa Tengah. Kisahnya berlatar belakang masa pemerintahan kolonial di Indonesia pada akhir abad ke-19 menjelang abad ke-20 dengan mengangkat tema feodalisme yang melahirkan diskriminasi dan pergundikan terhadap kaum perempuan berstatus sosial rendah.
Novel Gadis Pantai mengisahkan tentang kehidupan Gadis Pantai, gadis berusia 14 tahun yang merupakan kembang desa di kampungnya. Gadis Pantai menikah dengan Bendoro, priyayi Karesidenan Jepara yang bekerja menjadi pegawai di instansi milik Belanda. Dari kisah setelah pernikahan tersebut, dapat ditelisik secara lebih mendalam mengenai bagaimana hubungan Novel Gadis Pantai dengan konteks sosial politik saat itu. Budaya kolonial memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap karakteristik masyarakat Jawa. Terdapat segelintir golongan yang mengadopsi gaya hidup orang Eropa, mulai dari gaya berpakaian, gaya berbicara, hingga aktivitas yang selayaknya tidak pantas untuk dilakukan seperti pergundikan. Segelintir golongan tersebut umumnya berasal darigolongan bangsawan dan priyayi.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Feodalisme
Mengutip pernyataan Merle Calvin Ricklefs dalam bukunya yang berjudul A History of Modern Indonesia, pada era pemerintahan kolonial akhir abad ke-19, Indonesia menerapkan sistem feodalisme, sistem yang ditandai oleh pemusatan kekuasaan di tangan tuan tanah dan pemilik modal. Sistem feodalisme mengalami perkembangan yang cukup pesat, utamanya di Jawa. Masyarakat Jawa digambarkan sebagai komunitas dengan corak feodalistik yang kental. Kehidupan bercorak feodal tersebut merupakan akumulasi dari percampuran budaya Hindu-Islam dengan Belanda. Sistem feodalisme ini melahirkan pengaruh buruk bagi masyarakat Jawa, khususnya bagi para bangsawan dan priyayi. Mereka merasa kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan rakyat biasa dan memiliki kuasa yang dominan atas segalanya.
Dalam Novel Gadis Pantai, terlihat jelas adanya penerapan sistem feodalisme dalam pemerintahan. Sistem tersebut dilukiskan dalam bentuk sistem yang di dalamnya termuat ideologi otokratis serta anti kesetaraan kelas dan gender. Secara lugas, Pram mendefiniskan feodalisme sebagai paham yang berkuasa dalam suatu sistem pemerintahan. Melalui tokoh Bendoro yang kaya, pandai, alim, dan berkuasa, Pram menunjukkan bahwa dalam sistem feodalisme priyayi ditampilkan sebagai sosok yang berkuasa atas rakyatnya. Sosok tersebut menempati kelas sosial yang paling tinggi sebagaimana posisi juragan dengan buruhnya atau raja dengan hambanya.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi Sosial
Sistem feodalisme memunculkan dua bentuk relasi yang berbeda. Bentuk relasi yang pertama adalah relasi sosial. Sejak abad ke-16, telah tercipta pengelompokan kelas-kelas sosial yang mengadopsi sistem kasta agama Hindu, terdiri atas brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Pada tahun 1960-an, Clifford Geertz melalui bukunya yang berjudul The Religion of Java membagi masyarakat Jawa secara lebih jelas ke dalam tiga kelas sosial, yakni priyayi, santri, dan abangan. Pembagian tersebut didasarkan pada pendekatan sosiologis dan antropologis dengan mengambil latar belakang kehidupan masyarakat di Pare, Kediri, Jawa Timur yang selanjutnya disamarkan namanya menjadi Mojokuto.
Mengacu pada pengelompokan kelas sosial Geertz, Novel Gadis Pantai banyak mengisahkan tentang kehidupan antara kaum priyayi santri dengan kaum abangan. Tokoh Gadis Pantai merepresentasikan kaum abangan. Mereka tidak menjalankan ibadah wajib seperti salat, puasa, dan zakat, tetapi percaya kepada ajaran agama Islam. Kaum abangan merupakan segolongan masyarakat kecil yang mana sebagian besar waktu mereka digunakan untuk bekerja. Di samping itu, tokoh Bendoro merepresentasikan kaum priyayi santri. Berbanding terbalik dengan kaum abangan, kaum priyayi santri sangat taat beribadah, bahkan Bendoro dikisahkan telah dua kali naik haji dan beberapa kali mengkhatamkan Al-Qur’an.
ADVERTISEMENT
Pembagian kelas sosial menimbulkan perbedaan relasi kuasa yang menonjol. Golongan priyayi selalu memerintah dan golongan rakyat biasa selalu diperintah, begitu seterusnya. Kala itu, rakyat biasa seolah ditakdirkan hidup hanya untuk mengabdikan dirinya kepada priyayi. Mereka tidak mempunyai kewenangan untuk menolak perintahnya. Golongan priyayi merasa dirinya memiliki kuasa atas semua sektor, mulai dari sektor politik, pendidikan, hingga ekonomi. Kondisi ini beroposisi dengan golongan rakyat biasa di mana mereka tidak memiliki kuasa atas apapun sehingga menjadi golongan yang kurang terpelajar dan cenderung miskin.
Diskriminasi Gender
Bentuk relasi yang kedua adalah relasi gender. Pada abad ke-19 menjelang abad ke-20, golongan priyayi dianggap sebagai golongan yang tinggi, terpandang, dan terhormat. Untuk urusan pernikahan, golongan priyayi tidak bisa menikah dengan sembarang perempuan. Mereka hanya diperkenankan menikah dengan perempuan berstatus sosial sama dengannya. Apabila seorang laki-laki menikah dengan perempuan yang berstatus sosial lebih rendah darinya, maka pernikahan yang terjadi bukanlah pernikahan yang sesungguhnya, melainkan pernikahan percobaan saja. Dalam pernikahan percobaan, perempuan dari golongan rakyat biasa yang dinikahi laki-laki dari golongan priyayi tidak dijadikan istri, tetapi akan dijadikan selir. Selir tidak lebih dari hamba sahaya yang bertugas menemani Bendoro tidur untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.
ADVERTISEMENT
Pernikahan percobaan berdampak pada semakin rendahnya kedudukan dan peranan perempuan di mata laki-laki. Laki-laki menempati posisi superior atas perempuan. Perempuan tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, memunculkan ungkapan swarga nunut nraka katut yang artinya kebahagiaan atau penderitaan perempuan tergantung sepenuhnya pada laki-laki. Secara tidak langsung, hal tersebut menyebabkan menguatnya kultur patriarki. Kultur patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, dan hak sosial.
Pada dasarnya, Novel Gadis Pantai bermaksud menonjolkan kondisi sosial dan politik saat itu di mana terdapat ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam kultur Jawa sebagai dampak dari diterapkannya sistem feodalisme. Ketidaksetaraan tersebut mengakibatkan timbulnya bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan berstatus sosial rendah. Bendoro mewakili golongan priyayi dengan latar belakang kehidupan yang sarat akan kekuasaan kemudian melakukan penindasan terhadap perempuan berstatus sosial rendah dengan latar belakang kehidupan kampung nelayan yang diwakili oleh Gadis Pantai. Gadis Pantai digambarkan sebagai kaum yang tidak berdaya akibat munculnya dominasi kelas serta adanya stratifikasi sosial.
ADVERTISEMENT
Novel Gadis Pantai sebagai roman sejarah yang mengangkat masalah feodalisme dan pergundikan di Indonesia khususnya di Karesidenan Jepara, Jawa Tengah merupakan salah satu bentuk konfrontasi Pramoedya Ananta Toer terhadap sikap kesewenang-wenangan dan penindasan. Pram mengajak pembacanya untuk memegang prinsip kerakyatan dan perlawanan terhadap ketidakadilan, baik ketidakadilan sosial maupun gender.