Konten dari Pengguna

Sampai Lupa Kalau Kita Punya Trotoar

Devira Putri Ferdiana
Mahasiswi S1 Ilmu Administrasi Negara Universitas Negeri Surabaya.
29 Oktober 2024 13:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Devira Putri Ferdiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi trotoar rusak. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi trotoar rusak. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Kondisi trotoar di Indonesia sangat jauh dari kata ideal apalagi kondisi trotoar di pinggiran kota dan kota-kota kecil. Namun, pemeliharaan trotoar sendiri masih ala kadarnya dan cenderung diabaikan oleh pemerintah. Padahal, trotoar merupakan elemen penting perkotaan, lho. Tata ruang kota akan tampak indah dengan trotoar yang terpelihara dengan baik. Di negara-negara maju, peradaban sebuah kota dilihat dari kondisi trotoarnya. Bukti bahwa mereka peduli dalam mengupayakan peradaban yang ramah bagi siapa saja. Layaknya headline ‘10 Negara Teramah di Dunia, Indonesia Nomor Berapa?’ Umumnya Indonesia akan ada entah nomor berapa karena keramahtamahan masyarakatnya. Nah, bagaimana kalau mengenai permasalahan ini? Perumus headline pun mendadak lupa akan eksistensi Indonesia. Trotoar merupakan jalur bagi pejalan kaki sehingga trotoar seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki, bukan? Dan bukankah tujuan dari trotoar sendiri, yaitu untuk meningkatkan aksesibilitas? Kenyataan yang ada tidak seperti itu. Kenyataan yang ada hanyalah trotoar yang putus-putus, trotoar yang rusak, trotoar yang dilanggar fungsinya, dan trotoar-trotoar yang tidak layak lainnya. Trotoar bukanlah ruang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Dan berbanding terbalik dari tujuannya, trotoar justru menimbulkan tantangan aksesibilitas lainnya. Menelusuri kata kunci ‘Orang Indonesia malas jalan kaki’ di sosial media X pun ironis rasanya. Kutipan tersebut dilengkapi dengan foto dan cuplikan video terkait kondisi trotoar kita. Sementara itu, stigma negatif tersebut terlanjur melekat. Padahal, siapa yang tidak malas jalan kaki jika jalurnya saja tidak memadai? Pejalan kaki dengan terpaksa berjalan di tepi jalan dengan mempertaruhkan keselamatan mereka, pejalan kaki mengalami cedera akibat terjatuh di trotoar yang berlubang, pejalan kaki berebut ruang dengan Pedagang Kaki Lima (PKL), pengendara motor yang suka menerobos, dan parkir liar sehingga pejalan kaki terkadang mendapat makian karena ‘mengambil ruang’. Sebenarnya siapa yang mengambil ruang di sini? Bukankah mereka masyarakat yang memilih untuk menjadi bagian dari masalah, yang dengan tidak tahu diri mengambil ruang? Apakah pejalan kaki harus bersusah payah sedemikian rupa hanya untuk sekedar menikmati haknya sebagai pejalan kaki? Apakah menjadi pejalan kaki adalah hukuman di negara ini? Merujuk pada Pasal 131 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, “Pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyebrangan, dan fasilitas lain.” Oleh sebab itu, pemeliharaan trotoar penting sebagai upaya pemenuhan hak pejalan kaki. Lalu, di mana urgensi pemerintah terkait permasalahan ini? Apakah baliho-baliho lusuh yang menutup akses trotoar itu bentuk urgensinya? Melalui baliho-baliho lusuh yang menutup akses trotoar, pemerintah menghimbau pejalan kaki untuk tidak berjalan di trotoar yang tidak layak. Penulis rasa kebijakan-kebijakan yang telah ada sebelumnya tidak bisa mengatasi permasalahan ini. Atau bahkan kebijakan-kebijakan tersebut sebenarnya sudah tepat, namun penegakan hukumnya yang kurang konsisten. Padahal, penegakan hukum yang konsisten merupakan kunci keberhasilan suatu kebijakan, lho. Penegakan hukum yang konsisten pula dapat dilihat sebagai upaya dalam pemeliharaan trotoar karena melalui penegakan hukum yang konsisten, pemerintah dapat memastikan bahwa masyarakat telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah. Namun, apakah pemerintah sendiri telah memilih untuk menjadi bagian dari solusi? Setelah didesak berkali-kali pun, tetap tidak ada urgensi dari pemerintah. Trotoar masih putus-putus, trotoar masih rusak, trotoar masih dilanggar fungsinya, dan trotoar-trotoar masih tidak layak lainnya. Perwujudan peradaban yang ramah bagi siapa saja bahkan terasa seperti mimpi di siang bolong. Mengaitkan Kontribusi Pemeliharaan Trotoar Terhadap SDGs Pemeliharaan trotoar dapat dikaitkan dengan kontribusinya terhadap Sustainable Development Goals (SDGs). Jadi, abai pemeliharaan trotoar, abai SDGs. Adapun kontribusi pemeliharaan trotoar ditujukan pada SDG 3, SDG 8, dan SDG 11. SDG 3: Good Health and Well-being. Trotoar yang terpelihara dengan baik akan mampu mewujudkan ruang bagi pejalan kaki yang aman dan nyaman, serta mendorong aktivitas fisik yang akan memberikan dampak positif bagi kesehatan. SDG 8: Decent Work and Economic Growth. Trotoar merupakan salah satu infrastruktur yang memiliki peran penting bagi negara. Pengembangan infrastruktur sendiri dapat mendukung usaha lokal karena dengan pengembangan infrastruktur, peningkatan aksesibilitas dapat diupayakan. SDG 11: Sustainable Cities and Communities. Pemeliharaan trotoar ditekankan sebagai upaya pembangunan perkotaan yang dapat meningkatkan keamanan, ketahanan, dan keberlanjutan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengenai peradaban yang ramah bagi siapa saja, juga merupakan upaya dari SDG 11. Solusi yang dapat penulis berikan, yaitu pemeliharaan trotoar harus ditekankan sebagai kontribusi terhadap SDGs sebagai dorongan kepada pemerintah terkait urgensinya. Urgensi pemerintah penting karena sebagai respon terkait kondisi trotoar di Indonesia yang sangat jauh dari kata ideal apalagi kondisi trotoar di pinggiran kota dan kota-kota kecil. Meskipun juga sebuah tanda tanya besar bahwa pemerintah harus didorong terlebih dahulu. Selain itu, hukum yang konsisten juga perlu ditegakkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang telah ada sebelumnya dan kebijakan-kebijakan di masa mendatang. Dengan demikian, permasalahan ini dapat dicermati dan ditangani dengan serius. Pemeliharaan trotoar yang lebih baik pun dapat diupayakan, serta peradaban yang ramah bagi siapa saja tidak lagi menjadi mimpi di siang bolong. Dengan memahami bahwa pemeliharaan trotoar memberikan kontribusi bagi SDGs merupakan langkah awal dalam bertindak untuk menuju perubahan.
ADVERTISEMENT