Konten dari Pengguna

Musik Sebagai Alat Komunikasi Politik

DEWANGGA ARIQ FAHREZI
Seorang mahasiswa UniversitasI Islam Indonesia yang mengharapkan nilai maksimal
6 Januari 2021 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DEWANGGA ARIQ FAHREZI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Musik, salah satu bagian terpenting dari budaya manusia. Musik sendiri sudah mengisi kehidupan sehari-hari manusia dari masa ke masa dalam situasi apapun, dalam perkembangannya musikpun dipergunakan manusia untuk menjelaskan atau mengungkapkan sesuatu, atau bisa disebut untuk berkomunikasi. Karena musik dipercaya mampu melampaui bahasa konvensional dalam hal penyampaian kandungannya. Di Indonesia sendiri musik sering dijadikan alat komunikasi, karena dinilai efektif dalam menyampaikan kandungannya, seperti yang kita ketahui bahwa musik sering digunakan untuk menyampaikan sesuatu hal yang bersifat romantis, mengungkapkan kegalauan, kebahagiaan, dsb.. Tapi musik tidak melulu tentang percintaan, nyatanya banyak musisi yang memilih menyampaikan potret kondisi sosial, serta keluh kesahnya terhadap sistem pemerintahan dan politik di Indonesia. Namun begitu tidak sedikit pula musisi yang bertujuan mendukung pemerintah atau berkampanye untuk tujuan tertentu. Hal hal tersebut dilakukan oleh musisi karena kenyataannya musik adalah salah satu cara berkomunikasi yang efektif.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia beberapa musisi memilih jalur menyampaikan potret kondisi riil baik sosial maupun politik, biasanya kelemahan-kelemahan sistem pemerintahan yang memberikan dampak buruk pada kondisi sosial masyarakat akan menjadi makanan empuk bagi imaginasi para musisi “pengkritik” tersebut. Sebut saja Iwan Fals, Ahmad Dani, Rhoma Irama, Navicula, dll. Yang disebut pertama tadi memiliki penggemar yang sangat banyak dari berbagai kalangan dan dari berbagai tingkatan usia, hal ini merupakan potensi pasar yang sangat menjanjikan untuk digarap oleh para politisi yang berada dilingkaran oposisi, dan beberapa politisi oposan sepertinya dengan jeli telah melihat dan memanfaatkan peluang ini, yakni dengan bekerja sama atau bahkan merekrut mereka kedalam lingkarannya, sehingga sang politisi tersebut dapat menyampaikan gagasan-gagasan kritisnya kepada sang musisi, apabila sudah terjadi “koneksi” atau bahkan chemistry antara musisi dengan politisi tersebut, maka selanjutnya mengalirlah ide-ide cemerlang sang musisi untuk menuangkannya kedalam lagu-lagunya yang berisi kritik-kritik terhadap kondisi yang ada. Nah, dititik ini beberapa musisi menuangkan aspirasinya dengan cara yang berbeda-beda, ada yang secara frontal menceburkan dirinya kedalam lingkaran politik dan memilih lingkungan yang “sehati” dengannya sehingga dapat memanfaatkan ketenarannya sebagai musisi untuk tujuan mempengaruhi opini para penggemarnya, kita ambil contoh musisi Achmad Dani yang begitu mumpuni dengan Dewa 19 nya, namun tidak menyertakan grup musiknya tersebut untuk berpolitik, hanya memanfaatkan ketenarannya pribadinya semata, atau ada yang menuangkannya kedalam lirik lagu-lagunya sehingga terkesan lebih smooth dalam menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah, hal ini terjadi pada musisi Iwan Fals melalui lagu-lagunya sebut saja Bento, Bongkar, Ujung Aspal Pondok Gede, Guru Oemar Bakrie, dan masih banyak lagi. Tentu saja ini sepenuhnya adalah jalan pilihan dari musisi itu sendiri dalam menentukan sikapnya pada upayanya mempengaruhi opini para penggemarnya. Dan ini ternyata cukup efektif untuk musisi yang memiliki basis penggemar yang sangat banyak. Pada point inilah para politisi yang berseberangan dengan pemerintah dapat memetik manfaat atas kerja samanya dengan musisi-musisi tersebut, semacam simbiosis mutualisme.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Andrew N Weintraub dari University of pittsburg menyampaikan bahwa pada zaman Orde Baru lagu-lagu milik Rhoma Irama sempat dilarang beredar dimasyarakat karena lagu-lagu Rhoma Irama dianggap menganggu stabilitas nasional.
Pada saat itu musik dangdut diasebut sebut menjadi simbol yang menentang rezim orde baru. Hal tersebut disampaikan Prof. Andrew N Weintraub dalam seminar Musik : Kritik Sosial & Pembangunan pada tahun 2017.
Jika melihat ke sejarah yang lebih luas lagi, musik yang dijadikan media kritik sosial itu berasal dari era musik populer di negara Amerika. Di era tahu 60-an, penyanyi balada Bob Dylan musisi asal Amerika menciptakan sebuah lagu yang berjudul “Blowing in The Wind”. Lagu tersebut menyuarakan protes Bob terhadap pemerintah Amerika yang dalam kurun waktu yang sangat lama terlibat dalam perang Vietnam di tahun 60-an. Musik dirasa memiliki kekuatan yang cukup efektif untuk menyatukan orang banyak pada masa itu, hal itu dimanfaatkan oleh banyak musisi, dan aktivis lainnya untuk menyuarakan protes mereka. Selain itu musik pun bisa menjadikan sebuah kritik menjadi lebih asyik didengar, dengan petikan gitar, dan dentuman suara drum tentunya membuat kritik yang disampaikan menjadi menarik untuk didengar, dengan begitu masyarakat yang ter influence bukan saja dari sisi otaknya, tetapi juga terpengaruh secara bawah sadarnya, sehingga dampaknya tidak memunculkan radikalisme yang anarkis. Sedangkan untuk obyek yang dikritik akan merasakan kondisi yang lebih nyaman dalam menerima kritik tersebut, karena disampaikan secara ritmis, melodius dan tidak menohok, apalagi kalau disampaikan dengan sedikit bumbu humor, meskipun terkadang sedikit nylekit.
ADVERTISEMENT