Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Integritas Pejabat Publik: Korupsi di Lingkar Wakil Rakyat
6 Juli 2020 18:18 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Dewi Ambarwati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Layaknya sebuah peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga pula”, kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Isu-isu pemenuhan hak konstitusional warga negara seperti kesehatan dan hak asasi manusia, isu politik, isu ekonomi, distrust terhadap lembaga peradilan dan aparat penegak hukum hingga kasus-kasus korupsi masih mendominasi wacana-wacana publik saat ini. Betapa tidak, cita-cita bangsa yang tertuang dalam sila “Persatuan Indonesia” seakan tidak bertaji, berperang melawan bangsa sendiri dalam lingkar korupsi.
ADVERTISEMENT
Korupsi dan perilaku koruptif yang lama disematkan menjadi ‘budaya’ di kalangan masyarakat semakin merajalela. Selama masih ada permintaan disitulah ada celah penawaran yang berujung pada perilaku koruptif dan menghasilkan korupsi. Berdasarkan data dari Transparency Internasional, bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia naik 2 poin pada tahun 2019. Meskipun demikian, masih marak tidak korupsi yang terjadi di beberapa sektor, yang salah satunya adalah korupsi di tingkat pemerintah daerah dan desa.
Menilik data yang dipaparkan Indonesian Corruption Watch (ICW), lembaga dengan temuan kasus korupsi terbanyak di tahun 2019 adalah dari aras Pemerintah Kabupaten dengan total temuan 95 kasus korupsi, kemudian diikuti dengan lembaga pemerintah desa dengan total temuan 48 kasus. Hal tersebut menimbulkan kerugian negara mencapai 32,7 miliar rupiah dengan potensi peningkatan kasus korupsi yang terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Kondisi demikian diperparah dengan begitu banyaknya kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik yang sering muncul di permukaan. Seperti halnya pengungkapan kasus korupsi terbaru adalah penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutai Timur Encek Unguria oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangkaian operasi tangkap tangan yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur di Pemkab Kutai Timur. Selain kasus tersebut masih banyak kasus-kasus lain yang menjerat para wakil rakyat, pejabat publik hingga kepala desa dan perangkat desa terkait korupsi dana desa dengan berbagai modus operandi.
Trend Perilaku Korupsi
Korupsi berasal dari Bahasa latin, corruptio yang memiliki kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik atau menyogok. Kemudian, dari Bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa di Eropa, seperti Bahasa Inggris yaitu corruption; Prancis yaitu corruption; dan Bahasa Belanda yaitu corruptive, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah maka turun dan disadur ke dalam Bahasa Indonesia, yaitu Korupsi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, korupsi bukanlah sebuah hal yang baru di kalangan masyarakat dan penguasa. Korupsi ada bahkan pada saat zaman kerajaan, yang pada saat itu, lebih dikenal dengan pemberian upeti. Rakyat miskin semakin miskin, dengan memberikan sebagian hartanya kepada oknum pejabat atau penguasa.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengkategorikan korupsi menjadi 7 kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi. Semakin tahun, modus dari pelaku beragam, dan tersebar dibeberapa tingkatan baik di pemerintahan maupun masyarakat. Etika dan integritas seakan ditinggalkan hanya untuk ‘memperlancar’ suatu kepentingan.
ADVERTISEMENT
Modus yang paling sering dijumpai pada penanganan kasus korupsi adalah suap, di mana berdasarkan data dari ICW, bahwa suap masih menempati urutan kasus korupsi tertinggi yaitu sebanyak 51 kasus. Di peringkat kedua adalah mark up, dengan jumlah 41 kasus, dan urutan ketiga adalah modus penyalahgunaan anggaran, yaitu sebanyak 39 kasus. Ketiga modus operandi yang menduduki peringkat tertinggi tersebut paling sering dijumpai pada sektor-sektor pemerintahan yang menyelenggarakan kepengurusan publik. Seperti di lini kepengurusan perizinan, pengadaan barang dan jasa, pelaporan penggunaan anggaran dsb.
Berdasarkan teori Willingness and opportunity to corrupt, korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang dan adanya niat serta keinginan (didorong karena kebutuhan & keserakahan). Adanya keinginan dan kesempatan inilah yang paling sering melatarbelakangi tindakan korupsi. Ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan yang dapat terjadi karena beberapa sebab, seperti minimnya kualitas sumber daya manusia, tidak peka atau kurangnya rasa kepedulian terhadap perilaku yang cenderung mengarah kepada perbuatan koruptif.
ADVERTISEMENT
Reaktualisasi Peran Masyarakat
Indeks Perilaku Anti Korupsi Indonesia di tahun 2020 sebesar 3,84 poin dengan menunjukkan peningkatan dibanding tahun 2019 yaitu sejumlah 3,7 poin. Semakin skor mendekati angka 5, maka artinya masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, begitu sebaliknya, jika semakin mendekati angka 0, maka masyarakat semakin ‘terbuka’ terhadap korupsi.
Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PP 43 Tahun 2018), masyarakat dapat menggunakan haknya untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yang berwujud hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana; hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada Penegak Hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporan yang diberikan kepada Penegak Hukum; dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum.
ADVERTISEMENT
Adanya jaminan bagi masyarakat terkait dengan pemberian perlindungan hukum telah diatur dalam Pasal 12 PP 43 Tahun 2018, jika masyarakat yang bersangkutan melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sebagai Pelapor, saksi, atau ahli.
Solusi
Sebagai upaya pengoptimalan pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya di Indonesia, sinergitas antara pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat seharusnya dapat lebih ditingkatkan dengan memasukkan unsur integritas dan akuntabilitas dengan mengubah program-program pemerintah dan masyarakat berbasis daring dengan menekankan pada unsur check and balances dan keterbukaan informasi kepada publik.
Budaya anti korupsi selain diberikan sejak dini, penerapan nilai-nilai anti korupsi dan integritas dapat menjadi solusi secara moral untuk mencegah individu dari perbuatan koruptif. Peran aktif tenaga pengajar, baik guru dan dosen melalui bahan ajar yang disisipkan budaya anti korupsi, out put pengajaran yang berupa karya ilmiah dan opini untuk melatih kepekaan terkait ancaman korupsi di sekitar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, organisasi masyarakat yang berfokus pada pemberantasan tindak pidana korupsi berperan sebagai sumber informasi, alat kontrol dan pengawasan dua arah, baik dari pemerintah maupun masyarakat terkait kebijakan-kebijakan prosedural yang ditujukan bagi kesejahteraan masyarakat.
Penguatan-penguatan moral, intelektual dan pengetahuan anti korupsi secara massiv dapat terjalin dengan baik apabila baik dari unsur masyarakat, aparat penegak hukum dan pemerintah sadar akan betapa pentingnya untuk turut serta dalam upaya pemberantasan korupsi.
Berantas korupsi, kita bisa!