Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Review Film Ngeri-Ngeri Sedap: Kisah Keluarga Batak yang Kehilangan "Rumah"
16 Oktober 2022 23:56 WIB
Tulisan dari Dewi Atika Mayasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Judul Film: Ngeri-Ngeri Sedap
Skenario: Bene Dion Rajagukguk
Pemain: Arswendy Beningswara Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir Manullang, Gita Bhebhita Butar Butar, Lolox, Indra Jegel
ADVERTISEMENT
Produksi: Imajinari dan Visionari Film Fund
Tanggal Rilis: 2 Juni 2022
Bene Dion Rajagukguk memberi angin segar perfilman Indonesia dengan mengangkat budaya dan adat istiadat suku Batak yang dituang dalam film drama-komedi keluarga.
Film mengenai kisah keluarga dari suku Batak dibuat oleh Bene Dion melalui drama-komedi yang dikemas secara natural. Keluarga Batak yang kita saksikan dalam film Ngeri-Ngeri Sedap adalah keluarga yang harmonis dan sukses membesarkan anak-anaknya. Keluarga tersebut juga menjunjung tinggi adat Batak. Pak Domu sebagai kepala keluarga (diperankan oleh Arswendy Nasution) digambarkan oleh Bene Dion sebagai orang yang ingin dituruti semua kehendaknya. Terjadilah konflik akan ketidakbebasan dan kehilangan definisi “rumah”.
Mukadimah film Ngeri-Ngeri Sedap memperlihatkan indahnya Danau Toba selama semenit. Nyanyian berbahasa Batak terdengar dan menampilkan Pak Domu yang asyik menikmati alunan gitar di lapo (warung). Lirik nyanyian yang dalam bahasa Indonesia berartikan “Aku bekerja keras siang dan malam agar anak-anakku bisa bersekolah. Kuusahakan sekeras mungkin. Aku bisa melakukan segalanya. Secara harfiah untuk selamat dari hidup ini. Agar anak-anakku bisa meraih mimpi mereka. Anakku adalah hartaku.” menjadi pesan tersirat akan sudut pandang Pak Domu dan Mak Domu (diperankan oleh Tika Panggabean) yang nantinya berkembang menjadi konflik dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Salah satu warga yang telat hadir di lapo beralasan jika Ia baru saja selesai menangani kasus sengketa tanah dibantu pengacara yang merupakan anaknya sendiri. Adegan selanjutnya menampilkan program televisi yang memperlihatkan Gabe (diperankan oleh Lolox), anak ketiga Pak Domu, yang menjadi pelawak di sebuah acara televisi. Pak Domu merasa malu karena sebenarnya menginginkan Gabe menjadi hakim atau jaksa sesuai dengan jurusan yang diambil sewaktu kuliah. Pembuka adegan yang apik karena memperlihatkan dua nasib yang berbeda. Antara keinginan dan kenyataan.
Suku Batak identik dengan orang-orangnya yang ahli dalam profesi yang berurusan dengan hukum. Bahkan, lumrah rasanya jika mendengar Fakultas Hukum diisi oleh orang-orang Batak. Juga tidak asing rasanya mendengar nama-nama pengacara hebat yang bermarga suku Batak. Tidak kaget pula ketika Pak Domu menginginkan Gabe untuk menjadi hakim atau jaksa dibandingkan pelawak mengingat Gabe bergelar sarjana hukum. Suku Batak diinterpretasikan Bene Dion sesuai dengan bagaimana masyarakat Indonesia memandang suku Batak.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya profesi yang dipermasalahkan oleh Pak Domu. Anak pertamanya, Domu (diperankan oleh Boris Bokir), ikut ditentang. Disebabkan karena Domu ingin menikah dengan orang Sunda. Pak Domu terlalu memikirkan omongan warga yang khawatir orang Sunda tidak mengerti adat Batak. Representasi adat Batak semakin terlihat mengenai anak pertama laki-laki, yang melanjutkan marga dan adat, seharusnya menikah dengan orang Batak. Pak Domu bahkan mengancam tidak mau berjumpa dengan Domu jika masih melawan saja.
Anak terakhir Pak Domu yang bernama Sahat (diperankan oleh Indra Jegel) juga menjadi korban kekhawatiran Pak Domu. Menurut adat Batak, anak terakhir tidak merantau, mengurusi orangtuanya. Akan tetapi, Sahat beralasan tidak bisa pulang karena punya usaha di desa tempat Ia melakukan KKN dan mengurus Pak Pomo yang tinggal sendirian.
ADVERTISEMENT
Sarma (diperankan oleh Gita Bhebhita) menjadi harapan satu-satunya Pak Domu. Menurutnya, Sarma-lah yang mengurusinya dan Mak Domu karena Sarma bekerja sebagai PNS di kecamatan sehingga tidak perlu merantau. Namun, warga yang bertanya-tanya kenapa Sarma belum menikah juga. Tokoh Sarma ini menjadi simbol akan adanya stigma bahwa perempuan seharusnya cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua.
Anak-anak sejak lahir dibesarkan oleh orangtuanya. Ketika dewasa, mereka memiliki hak untuk menentukan tujuan hidup mereka. Pak Domu menjadi perlambangan akan orangtua yang terlalu memaksakan kehendaknya disebabkan keinginan agar keluarganya berjalan sesuai adat istiadat yang ada. Keegoisan Pak Domu semakin terlihat tatkala Ia diberi pesan untuk membawa semua anak-anaknya ke pesta adat Sulang-Sulang Pahompu. Pak Domu akhirnya menyusun strategi-strategi ngeri nan sedap agar anak-anaknya mau pulang ke rumah, yakni berpura-pura ingin bercerai dengan Mak Domu.
ADVERTISEMENT
Selama hampir dua jam menonton film Ngeri-Ngeri Sedap, berkali-kali saya lontarkan pujian untuk film ini. Bagaimana tidak? Aktor-aktor yang berperan merupakan keturunan suku Batak asli sehingga logat mereka terasa alami. Pengambilan one take shot sebelum pesta adat dimulai membawa penonton kepada suasana hangat situasi desa tersebut. Detail seperti anak-anak kecil yang ditegur ketika bermain sebelum pesta adat dimulai juga diperhatikan. Adegan sederhana yang semakin memberi suasana realistis dan natural.
One take shot menjadi ciri khas Ngeri-Ngeri Sedap. Pengambilan dengan teknik tersebut semakin membawa kesan dramatis ketika konflik memuncak. Saya bisa merasakan bagaimana emosinya keempat anak Pak Domu ketika mereka terus-terusan dipaksa untuk mengikuti keinginan bapaknya. Juga ketika kebohongan Pak Domu dan Mak Domu yang terbongkar hingga anak-anaknya merasa tidak mengenali keluarga mereka sendiri. Mereka kehilangan definisi “rumah”.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pembawaan emosi sempat dirasa kurang. Saat adegan Sarma yang ternyata telah mengetahui semua kebohongan yang dilakukan Pak Domu dan Mak Domu sedari awal, karakter Domu, Gabe, dan Sahat yang merasa terkhianati terlihat kurang emosional dan terkesan memaksa. Intonasi suara saat sedih juga terasa seperti adegan sinetron. Namun, diselamatkan oleh akting Gita Bhebhita yang menyayat hati.
Mungkin Bene Dion ingin membuat kekentalan akan suku Batak semakin terasa dengan menyisipkan beberapa istilah berbahasa Batak, misalnya lapo, pahompu, nantulang, dan lain-lain. Memang bagi penulis, pemain film, maupun masyarakat suku Batak memahami istilah-istilah tersebut, tetapi masyarakat Indonesia yang lain belum tentu memahami apa yang dimaksudkan. Menjadi bumerang bagi film ini karena tidak semua orang Indonesia mengetahui istilah-istilah berbahasa Batak apalagi tanpa terjemahan.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali pelajaran yang dapat diambil dari film Ngeri-Ngeri Sedap. Kita semua tahu bahwa orangtua berkewajiban membesarkan anak-anaknya. Namun, anak-anak juga memiliki hak untuk hidup dan menentukan jalannya sendiri ketika mereka sudah dewasa. Seperti apa yang dikatakan Opung Domu dalam film, “Kalau anakmu jadi pintar, jago berpikir, jangan kau marah. Kalau anak berkembang, orangtua pun harus berkembang. Jadi orangtua itu tak ada tamatnya. Harus belajar terus.”.