Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.99.1
28 Ramadhan 1446 HJumat, 28 Februari 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
1 Kakak 7 Ponakan: Film Keluarga Sehangat Martabak Red Velvet yang Baru Matang
1 Maret 2025 16:02 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Dewi Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Akhir Januari kemarin saya berhasil memaksa dua kawan untuk menonton film “1 Kakak 7 Ponakan” bersama saya di bioskop. Mungkin berlebihan menyebutnya ‘memaksa’ karena tampaknya mereka juga menikmati film yang sudah diulas oleh segudang reviewer ini. Alhasil, kami mangkat menonton Kak Moko sekeluarga dengan buru-buru di DP Mall Semarang setelah berhasil menembus angin dingin pertanda hujan akan datang. Kami agak terlambat masuk ke teater, tetapi tidak mengurangi derasnya air mata yang bercucuran—khususnya air mata kedua kawan saya itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai penafian, saya tidak pernah menonton sinetron “1 Kakak 7 Ponakan” yang tayang pada 1996 dan belum ingin mencari tahu di mana dan bisakah saya menonton itu. Ini karena saya masih ingin menikmati euforia sehabis menonton versi film yang dibintangi Chicco Kurniawan dan co-stars yang lain.
Sinopsis (dengan ‘banyak’ spoiler)
Film “1 Kakak 7 Ponakan” menceritakan Moko (Chicco Kurniawan), seorang mahasiswa arsitektur yang tiba-tiba menjadi kepala keluarga dalam satu malam. Kebersamaan bersama kakaknya, Agnes (Maudy Koesnaedi), dan kakak iparnya Atmo (Kiki Narendra), di meja makan sebelum ia berangkat untuk sidang tugas akhir ternyata adalah kebersamaan terakhir mereka. Mas Atmo berpulang karena serangan jantung dan Mbak Agnes menyusul selepas melahirkan Ima.
ADVERTISEMENT
Mimpi-mimpi yang ia bangun bersama Maurin (Amanda Rawles) dalam sekejap harus ia pendam dalam-dalam. Ketika Maurin pergi melanjutkan studi di luar negeri, Moko harus memilih di rumah untuk mengurus empat keponakannya, Woko (Fatih Unru), Nina (Freya JKT 48), Ano (Nadif H.S), dan Ima. Rasa tanggung jawab memeluk Moko untuk tetap tinggal dan kondisinya memaksanya untuk melepaskan Maurin. Seperti masih kurang saja beban Moko, ia kemudian harus merawat Ais (Kawai Labiba) anak dari guru piano Moko semasa kecil. Pak Nanang (Ence Bagus) yang menitipkan Ais kepada Moko tidak kunjung menjemputnya. Merawat lima anak, nyatanya tidak membuat Moko menyerah. Saat Ima menginjak usia dua tahun, Moko pun mulai kembali melamar kerja sebagai karyawan full time dan tanpa sengaja bertemu kembali dengan Maurin. Dengan bantuan Maurin, akhirnya Moko diterima bekerja sebagai junior architect di biro yang sama dengan Maurin.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama kakak kedua Moko, Osa (Niken Anjani) dan suaminya, Eka (Ringgo Agus Rahman) pulang ke Indonesia. Dengan perasaan serba salah dan harap-harap cemas Moko meninggalkan keponakan-keponakannya untuk bekerja di Anyer. Ia menitipkan keponakan-keponakannya pada kakak dan kakak iparnya. Namun, harapan Moko agar keponakan-keponakannya bisa hidup nyaman dan bahagia nyatanya tidak teramini. Uang yang dikirim Moko tiap bulan bahkan tambahan-tambahannya justru disalahgunakan oleh Eka. Moko yang mengetahui ada yang tidak beres memutuskan pulang ke rumah dan menemukan fakta bahwa Eka menggunakan uang kiriman Moko untuk investasi bodong. Sementara itu, keponakan-keponakannya justru diminta bekerja oleh Eka. Moko yang tidak terima akhirnya menjemput keponakan-keponakannya dan mendiskusikan permasalahan itu bersama. Dari situ Moko menyadari bahwa tanggung jawab yang selama ini ia emban tidak perlu ia pikul sendiri. Di sampingnya ada Maurin dan keponakan-keponakannya yang selalu ada serta siap menjadi sandaran Moko.
ADVERTISEMENT
Mengharu Biru, tetapi Bukan Tearjerker
Layaknya film-film keluarga garapan Yandy Laurens dan cerita-cerita keluarga yang ditulis Arswendo Atmowiloto, “1 Kakak 7 Ponakan” ini tipikal film keluarga yang menghangatkan. Ceritanya mengharu biru, tetapi bukan tearjerker. Setiap scene memiliki sisi emosionalnya tanpa memaksa penonton menangis—setidaknya untuk saya. Penonton dibawa menelusuri emosinya dengan perlahan hingga air mata itu keluar dengan sendirinya. Ada banyak unsur dalam film ini yang metaforis dan itulah yang menjadikannya menarik.
Scene Moko memutuskan Maurin melalui panggilan Zoom mungkin masih membekas di benak orang-orang yang telah menonton film ini. Dalam layar Zoom Meeting terlihat kontras kondisi Moko dan Maurin. Moko tampill di layar dengan baju berantakan, kausnya bolong, dengan latar rumah yang berantakan dan pencahayaan yang gelap mendukung kesan kelam yang terpancar dari mata Moko. Sementara itu, Maurin berbaju rapi dengan latar belakang dinding putih bersih. Dua latar belakang itu seperti menggambarkan kondisi mereka berdua saat itu yang sungguh berbeda. Moko yang harus memilih di rumah dengan merelakan mimpinya, tanpa mengeluh, sedangkan Maurin di luar negeri sedang belajar dan membayangkan kehidupan selanjutnya di masa depan bersama Moko.
ADVERTISEMENT
Scene berakhirnya hubungan Moko dan Maurin ini jadi semakin menyakitkan ketika Maurin menyaksikan apa yang terjadi setelahnya. Moko yang tidak sadar bahwa Zoom masih berjalan, pergi ke belakang untuk menyiapkan air panas untuk memandikan Ima. Tanpa sengaja, ia justru ketumpahan air panas itu dan di saat yang sama Ima menangis kencang dari kamar. Moko yang masih kesakitan berusaha bangkit menuju kamar. Scene ini seperti menjelaskan kalimat yang Moko sampaikan sebelumnya kepada Maurin. Ketika Maurin bersikeras agar Moko bercerita soal kondisinya, Moko hanya bilang, “Aku cerita aja gak bisa, Rin. Gak ada waktunya.” Dan itu tampak dari Moko yang bahkan tidak punya waktu yang cukup untuk mengeluh saat terkena air panas karena ia harus langsung berlari ke Ima yang menangis.
ADVERTISEMENT
Moko memang tidak pernah mengeluhkan rasa lelah maupun mengutarakan kesedihannya, tetapi itu terpancar melalui matanya yang sendu dan adegan Moko yang duduk sendiri. Adegan Moko duduk di kloset sendirian di kamar mandi dengan latar suara Ima yang menangis masih begitu membekas di benak saya. Dengan bajunya yang compang-camping ia hanya termenung tanpa mengatakan sepatah katapun. Di luar, tangis Ima menggelegar seperti berteriak minta tolong untuk segera digendong. Moko yang mendengarnya hanya diam saja, seperti sedang meminta tolong juga untuk diberi waktu bernapas sejenak. Moko seperti berteriak minta tolong tanpa kata-kata.
Adegan Moko duduk sendirian kembali terulang ketika ia baru tiba di Anyer. Dengan kondisi kamar yang masih berantakan dengan barang-barang bawaan, ia duduk memandangi meja yang terdapat tumpukan barang-barang termasuk foto keluarganya. Jika adegan Moko duduk sendirian di awal menggambarkan rasa kesepian dan kelelahan emosional, adegan duduk sendirian kali ini lebih dekat dengan perasaan kesepian karena kerinduan. Kerinduan Moko terhadap keponakan-keponakannya, Kak Agnes, dan Mas Atmo.
ADVERTISEMENT
Dialognya Ringan, Masalahnya yang Berat
Dialog-dialog dalam film ini sebenarnya ringan dan jika dilantangkan begitu saja terkesan lucu. Namun, penempatannya dalam kondisi ‘yang tidak tepat’ membuat saya bingung harus menangis atau tertawa. Tentu ini pujian. Bukankah ini mengingatkan kita pada kehidupan yang kita jalani sendiri? Ini seperti mengingatkan ketika hidup berjalan tidak sesuai rencana, ya sudah dibawa santai dan tertawakan saja. Kadang berpikir bahwa hidup kita begitu menyedihkan, tetapi ya lucu juga kalau dipikir-pikir kehidupan ini. Toh, hidup harus terus berjalan kan?
Dialog-dialog itu sesungguhnya begitu realistis. Misalnya, scene di restoran marah-marah. Nina harus melayani pelanggan dengan baik sesuai prosedur restoran agar tidak dipecat dan ternyata pelanggan itu adalah Moko, Woko, dan Ano yang menjemputnya untuk pulang. Moko dengan lemah lembut mengajak Nina untuk pulang, tetapi Nina membalasnya dengan galak mengatakan untuk cepat-cepat memilih menu. Nina kemudian marah dan mengatakan Moko terlalu baik, keponakan-keponakannya telah menjadi beban baginya. Scene ini sebetulnya mengocok perut jika kita tidak berusaha melihat konteksnya dan menarik ke belakang, apalagi dengan Ano yang terkaget-kaget dengan situasi itu. Bagi saya, Nina tidak sedang berusaha in character sebagai Karen agar tidak dipecat, tetapi itu adalah tumpahan emosi yang selama ini ia pendam. Ia merasa bersalah kepada Moko yang telah menjadi tulang punggung keluarga dan mengorbankan kehidupannya, tetapi ia belum pernah bisa mengatakannya.
ADVERTISEMENT
Woko, anak pertama yang terlihat paling santai dan aras-arasan di sekolah justru menjadi salah satu orang yang rela mengorbankan mimpinya selain Moko. Ialah yang paling mengerti kondisi rumah dan kondisi Kak Moko, tentunya. Ingat saat Woko berbincang dengan Moko di dapur sambil memasak setelah Ais ‘resmi’ tinggal bersama mereka? Woko bilang bahwa yang penting untuk dipikirkan adalah adik-adiknya, bukan dia. Ia rela tidak berkuliah dan memutuskan bekerja untuk membantu Moko. Celetukan-celetukannya yang spontan juga begitu realistis dan membuat bibir terangkat sehabis mengusap air mata.
Selain Woko, Ano juga berperan besar menjadi tulang punggung tawa di film ini. Tanpa Ano, film ini hanyalah film dengan segudang kecemasan. Ano dengan keluguannya selalu menghadirkan tawa di tengah-tengah isak penonton. Meme martabak red velvet pakai nasi itu agaknya akan terngiang sampai berbulan-bulan ke depan. Mango sticky rice, kata Ano. Begitu mengenyangkan seperti celetukan-celetukannya yang renyah dan polos. Ada banyak sebetulnya adegan-adegan ikonik Ano. Namun, akan terlalu panjang dan terlalu banyak spoiler—meski review ini isinya sudah spoiler semua.
ADVERTISEMENT
Adegan yang cukup membekas lain adalah ketika ia berbincang dengan Moko di proyek tempat Ano bekerja sebagai kuli. Lagi, Yandy membuat adegan sedih yang tidak sedih yang membuat saya bingung harus menangis atau tertawa. Dibatasi oleh dinding yang sedang dibangun, percakapan Moko dan Ano itu lucu sekaligus menyakitkan. Moko terus berusaha meyakinkan Ano bahwa ia bukan beban dan mengajaknya pulang. Setiap kali Moko menyelesaikan satu kalimat sambil mengaplikaskan adonan semen, Ano akan memberikan tanda titik dengan menutup pandangan Moko kepadanya dengan meletakkan sebuah bata ringan. Sungguh. Saya tidak bisa berkata-kata lagi dengan eksekusi Yandy yang apik ini.
Romansa yang Pas, Seperti Sepatu Hadiah Maurin
Hal yang tidak mungkin untuk tidak bicarakan lainnya tentu saja hubungan antara Moko dan Maurin. Hubungan yang begitu dewasa, hubungan yang kita bisa merasakan kehangatan pelukannya meski hanya lewat tatapan mata di antara keduanya. Pertemuan kembali Moko dan Maurin saat ia wawancara kerja adalah suatu kebetulan yang manis. Tidak memaksa, tidak berlebihan. Bagaimana Maurin begitu sumringah melihat Moko kembali, senyumnya yang mengembang lebar, tatapannya yang teduh mendengarkan Moko bercerita soal keponakan-keponakannya sungguh menghangatkan hati. Moko yang tidak henti bercerita soal hari-harinya yang lalu tanpa ada Maurin di sisinya dengan mata yang berbinar dan senyum tersungging, sungguh pemandangan baru setelah sekian lama ia memendam semuanya sendirian.
ADVERTISEMENT
Scene cuci mobil masih begitu berkesan untuk saya. Di dalam mobil Moko mencurahkan isi hatinya yang terasa berat karena merasa bersalah kepada keponakannya, merasa bersalah karena akhirnya punya kehidupan sendiri. Pada latar yang begitu intim, dengan tatapan penuh cinta dari keduanya, sabun cuci berwarna pink yang sedang membersihkan kaca mobil di luar memberikan suasana romantis yang begitu magis dan cantik.
Maurin adalah karakter yang tidak mungkin terlupakan setelah menonton Sakatupo. Sosok partner yang benar-benar membersamai, begitu tulus. Jika cinta apa adanya bisa divisualisasikan, mungkin Maurinlah visualisasinya. Ia tidak pernah sekalipun menjauh dari Moko, bahkan justru selalu berusaha dekat, sedekat mungkin. Selalu ada untuk Moko yang butuh bantuan, tetapi enggan menerima bantuan karena merasa menyusahkan. Seperti saat ia meminjamkan Macbook agar Moko segera beres mengerjakan tasking, atau saat ia menghadiahkan sepatu untuk Moko yang alas sepatunya sudah hampir lepas itu. Scene ketika Maurin tertidur bersama anak-anak sambil memegang termometer Ano yang ditampilkan lewat sudut pandang Moko seperti memberi jawaban bahwa tidak ada perempuan yang lebih tepat untuk Moko selain Maurin.
ADVERTISEMENT
Chicco Sukses Memerankan Peran Kakak, tetapi Belum Begitu Lihai Sebagai Seorang Arsitek
Saya tidak mengerti banyak soal arsitektur, jadi tidak dapat banyak berkomentar soal itu. Namun, setidaknya ada satu scene yang masih teringat jelas di benak saya. Adegan Moko membantu Ano memasang bata ringan sungguh mengganggu. Dalam hati saya selama menonton saya berbicara, “Itu rumahnya gak ada sehari udah ambruk kalau gitu, Mas.” Sebagai anak tukang bangunan dan adik dari dua kakak yang juga tukang bangunan, saya tidak asing melihat proses pembangunan rumah. Apalagi rumah kakak saya dibangun sendiri. Sepanjang ingatan saya, adonan semen itu harus padat, rata, untuk memastikan bata ringan itu terpasang dengan baik. Tidak asal tempel seperti dalam film.
ADVERTISEMENT
Semiotika yang Cantik, tapi Masih Perlu Perbaikan
Akhirnya, film yang kata salah satu kawan jelek akronim judulnya ini berhasil mendapatkan nilai 8/10 dari saya—dengan tidak mengingat product placement yang cukup mengganggu. Dan juga dengan tidak mengajak-ngajak Mas Eka yang menyebalkannya menembus layar bioskop, yang juga tidak diajak ketika Moko, Maurin, Woko, Nina, Ano, Ais, Kak Osa, serta Ima main-main di cottage. Film ini agaknya bisa mendapatkan nilai 8,5 sampai 9 dari saya jika pendalaman karakter Moko bukan hanya sebagai seorang Kakak, tetapi juga memperhatikan detail-detail profesi Moko sebagai arsitek.
Agaknya film ini cocok untuk ditonton kamu yang sedang butuh kehangatan, tetapi tidak ada yang memeluk! Kehangatannya mengalahkan martabak red velvet yang baru dibawa Moko pulang.
ADVERTISEMENT