Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rafflesia Indonesia yang berada di Ambang Kepunahan dan Tantangan Mitigasinya
12 Desember 2023 12:12 WIB
Diperbarui 1 Februari 2024 9:07 WIB
Tulisan dari Dewi Lestari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bunga bangkai yang unik dan terbesar di Indonesia
ADVERTISEMENT
Rafflesia merupakan salah satu bunga unik terbesar di dunia, dengan diameter bunga berukuran 10-150 cm. Ukurannya bervariasi, tergantung jenis. Selain ukurannya yang raksasa, Rafflesia juga dicirikan dengan bau busuk yang muncul saat mekar, sehingga sering disebut pula sebagai bunga bangkai.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, terdapat dua tumbuhan yang disebut sebagai bunga bangkai, yaitu Rafflesia dan Amorphophalus. Keduanya sering disalahartikan sebagai tumbuhan yang sama karena sebutan tersebut, namun demikian, keduanya merupakan jenis yang berbeda. Bunga Rafflesia adalah bunga tunggal dari famili Rafflesiae, sedangkan bunga Amorphophallus adalah bunga majemuk dari famili Araceae atau famili yang umum dikenal sebagai talas-talasan.
Uniknya, meskipun berukuran besar, Rafflesia bersifat parasit mutlak (holoparasit), mengandalkan seluruh kebutuhan hidupnya pada inang, yaitu tumbuhan Tetrastigma. Keunikan berikutnya, wujudnya hanya berupa bunga, tidak memiliki daun, batang dan akar. Kehadirannya baru disadari jika muncul kenop pada batang maupun akar Tetrastigma. Kenop inilah yang berbulan-bulan kemudian tumbuh menjadi bunga mekar.
Terdapat tiga tahap perkembangan kenop dalam batang/akar tetrastigma sebelum akhirnya mekar, yaitu kopula, braktea dan perigone. Kopula adalah kenop kecil Rafflesia yang masih diselimuti kulit batang/akar Tetrastigma. Braktea adalah individu Rafflesia yang berupa kenop berukuran lebih besar, berbentuk seperti kubis, diselimuti oleh beberapa lapis kelopak hitam. Perigone adalah individu rafflesia di tahap pra mekar, berupa kenop besar berwarna kemerahan, berdiameter lebih dari 10 cm, yang bagian atasnya tidak lagi diselimuti oleh kelopak warna hitam.
Tidak sama dengan spermatofit lain, bagian bunga pada Rafflesia disebut dengan istilah-istilah: perigone, diafragma prosesus, diskus, ramenta dan anulus. Ukuran bunga dan bagian-bagian bunga inilah yang menjadi dasar pembeda jenis Rafflesia. Perigone adalah mahkota bunga yang biasanya berwarna merah atau oranye. Bagian ini dihiasi oleh totol-totol yang bervariasi motifnya, tergantung jenis. Diafragma adalah bagian yang mengelilingi bukaan menuju tabung perigone. Ramenta adalah bulu-bulu yang tumbuh di dalam dinding tabung perigon, memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda di tiap jenisnya, Diskus adalah piringan yang terdapat di tengah tabung perigone, di mana dalam piringan tersebut terdapat organ lancip kerucut bernama prosesus. Di bawah diskus, yaitu di dasar tabung, terdapat anulus, yaitu lengkungan lingkaran yang mengelilingi dasar tabung perigone jumlah variatif, 1-2, tergantung pada jenis. Pada bunga jantan, terdapat anther yang tersimpan dalam bulatan di balik piringan diskus, sementara di bunga betina, terdapat stigma yang berada di balik diskus, yang terhubung pada bakal buah pada bagian dasar tabung perigone.
ADVERTISEMENT
Rafflesia di ambang kepunahan dan mitigasinya
Rafflesia hingga saat ini dilaporkan hanya tumbuh di Kawasan Asia Tenggara, di 5 negara, yaitu Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam dan Filipina. Di Indonesia, Rafflesia dilaporkan tumbuh di 3 pulau besar (Sumatra, Jawa dan Kalimantan) dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, seperti Nusa Kambangan dan Mursala.
Di Indonesia, berbagai jenis Rafflesia dinyatakan sebagai tumbuhan yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.71/ /MENLHK/SETJEN/2015 mengenai Strategi Rencana Aksi Konservasi Rafflesiaceae tahun 2015-2025. Namun demikian populasi Rafflesia di Indonesia diyakini terus menurun dan terancam punah (Thorogood et al. 2023).
Terdapat beberapa faktor yang memicu kepunahan Rafflesia di Indonesia, yaitu faktor biologis, faktor ekologis, katastropik dan faktor antropogenik. Secara biologis, keberhasilan kenop untuk mencapai tahapan bunga mekar sangat rendah, tingkat kematiannya sangat tinggi dan sebab pastinya belum diketahui hingga kini. Selain itu, proporsi bunga jantan juga lebih besar daripada bunga betina dan waktu mekar bunga jantan dan betina yang bersamaan juga kecil (Nais 2001). Hal inilah yang semakin memperkecil kemungkinan terjadinya reproduksi alami.
ADVERTISEMENT
Secara ekologis, sifat holoparasit Rafflesia terhadap Tetrastigma dan pertumbuhan Tetrastigma yang dipengaruhi keberadaan inang struktural membawa kerentanan pada kehidupan Rafflesia. Rafflesia rentan mati jika Tetrastigma dan inang strukturalnya terganggu. Dengan laju deforestasi yang sangat tinggi di Indonesia, maka kepunahan Rafflesia menjadi salah satu hasilnya. Tak hanya itu, Rafflesia juga dilaporkan disukai oleh hewan-hewan tertentu dan predasi ini memicu kematian dan berhentinya proses reproduksi (Kusuma et al. 2018).
Faktor bencana alam juga memicu kepunahan Rafflesia. Tsunami yang terjadi di Banyuwangi selatan pada tahun 1994 memicu lenyapnya sebagian populasi R. zollingeriana di Taman Nasional Meru Betiri (Hikmat 2003). Sebab terakhir kepunahan adalah aktivitas manusia, yaitu pengumpulan bunga Rafflesia secara ilegal untuk keperluan obat secara berlebihan dan tanpa batas (Lestari &Rianto 2018).
ADVERTISEMENT
Dalam IUCN Redlist of threatened species 2023, baru satu jenis Rafflesia yang telah diketahui status konservasinya, yaitu critically endangered, yaitu Rafflesia magnifica, spesies yang tumbuh di Filipina. Jenis lain, terutama yang tumbuh di Indonesia hingga kini belum dinilai dan diperbaharui datanya.
Laju penelitian Rafflesia di Indonesia, jika dibandingkan dengan penelitian Rafflesia di negara lain berjalan cukup lambat. Untuk bidang taksonomi, pendeskripsian jenis baru di Indonesia pada 20 tahun terakhir baru menghasilkan 4 jenis baru. Capaian ini berada jauh di bawah Malaysia dan Filipina, yang berhasil mendeskripsikan jenis baru sebanyak 7 spesies baru dan 11 species baru. Penelitian Rafflesia di Indonesia sejauh ini didominasi penelitian ekologi, sementara aspek biologi masih minim dipelajari. Padahal informasi ini sangat diperlukan untuk memahami dan merumuskan upaya konservasinya, baik secara in-situ maupun ex-situ.
ADVERTISEMENT
Informasi mengenai habitat baru Rafflesia di Indonesia sebenarnya cukup banyak beredar, terutama di dunia maya dan media sosial (citizen scientist), namun, hal ini tidak serta merta meningkatkan pengungkapan spesies baru karena sebagian besar habitat Rafflesia yang dilaporkan tersebut berada pada lokasi yang cukup terpencil, tidak mudah diakses atau memerlukan biaya yang cukup besar untuk mencapainya. Secara teknis, keberadaannya di lokasi yang susah diakses ini menimbulkan kesulitan dilakukannya observasi rutin yang diperlukan untuk menjawab berbagai pertanyaan biologis Rafflesia yang masih menyimpan banyak pertanyaan besar saat ini.
Kelambanan penelitian Rafflesia di Indonesia ini tentu saja mengkhawatirkan, mengingat laju deforestasi hutan Indonesia cukup tinggi. Populasi Rafflesia sangat dikhawatirkan menghilang, sebelum sempat diteliti lebih jauh. Untuk itu, diperlukan kolaborasi berbagai stakeholder untuk memitigasi hal ini. Pertama, Rafflesia harus segera dikonservasi baik secara ex situ maupun in situ. Keberadaan Rafflesia di habitat ex-situ yang mudah diakses sangat diperlukan, terutama untuk keperluan studi lanjut maupun keperluan edukasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, propagasi Rafflesia di kawasan ex situ telah berhasil dilakukan, yaitu melalui metode sambung akar dan inokulasi biji. Dua metode ini berhasil menumbuhkan Rafflesia patma dan Rafflesia arnoldi di Kebun Raya Bogor. Keberhasilan perbanyakan Rafflesia di kawasan ex situ ini, sebaiknya disosialisasikan ke stakeholder terkait, terutama pada pengelola kawasan in-situ maupun masyarakat setempat, supaya dapat dilakukan di habitat alami, terutama untuk jenis-jenis yang belum dapat dikonservasi secara ex-situ. Propagasi di habitat in situ ini sebaiknya dilakukan di kawasan in situ yang representatif, namun lebih mudah dijangkau, supaya lebih mudah diakses untuk keperluan penelitian lebih lanjut ataupun ekowisata. Penelitian di habitat in situ tersebut sebaiknya bekerja sama dengan komunitas pecinta flora maupun institusi penelitian terdekat, yaitu universitas-universitas lokal. Partisipasi komunitas dan universitas lokal ini diharapkan mampu mengisi gap informasi ilmiah Rafflesia ini secara perlahan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, potensi pemanfaatan Rafflesia yang dinilai mendukung keberlanjutan populasi Rafflesia adalah ekowisata. Hal ini mulai berjalan di beberapa kawasan di Indonesia, terutama di Pulau Sumatra. Namun demikian, ekowisata yang direkomendasikan di sini adalah ekowisata terpandu, dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai operatornya. Ekowisata Rafflesia perlu dilakukan secara terpandu, supaya kehadiran pengunjung terkontrol dan tidak merusak populasi yang ada, mengingat kehadiran kenop Rafflesia tidak mudah disadari oleh mereka yang tidak terbiasa berinteraksi dengannya. Pelibatan masyarakat lokal dalam kegiatan ekowisata ini juga diperlukan supaya motivasi mereka dalam konservasi Rafflesia maupun habitat alami secara keseluruhan. Zuhud (2008) menyatakan bahwa stimulus ekonomi lebih efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam konservasi.
Semoga dengan upaya ini, populasi Rafflesia di Indonesia bisa berlanjut untuk kepentingan penelitian dasar maupun lanjutan, maupun penelitian yang mengeksplorasi potensi-potensinya, sehingga eksistensi Rafflesia dapat dimanfaatkan lebih luas oleh generasi mendatang.
ADVERTISEMENT