Konten dari Pengguna

Mitos Beras dan Masalah Pangan Nasional

Dewi Lusiana
Doktor Administrasi Bisnis, The University of Newcastle, Dosen Pascasarjana FIA-UI
10 Juni 2024 7:53 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dewi Lusiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Karyawan memeriksa stok beras di Gudang Bulog Subdrive Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/3). Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
zoom-in-whitePerbesar
Karyawan memeriksa stok beras di Gudang Bulog Subdrive Indramayu, Jawa Barat, Rabu (11/3). Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) beras beberapa hari terakhir ini telah menimbulkan keresahan masyarakat. Hal ini wajar. Sebab, beras adalah makanan pokok yang, dengan begitu, sekaligus pula berarti kebutuhan hidup paling dasar bagi masyarakat. HET beras premium naik dari Rp 13.900 menjadi Rp 14.900, sedangkan HET beras medium naik dari Rp 10.900 menjadi Rp 12.500 per kilogram.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi kenaikan di atas jelas, yaitu masyarakat (terutama lapisan menengah ke bawah) harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk kebutuhan paling mendasar mereka. Beban ini jelas amat terasa karena makan merupakan kebutuhan urgent yang tidak dapat ditunda. Situasi ini bertambah ironis karena kenaikan harga bahan pokok ini tidak diikuti oleh kenaikan pendapatan. Kenaikan harga beras, jelas berarti pula sebagai turunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Di luar urusan perut secara langsung, kenaikan harga beras juga membebani sektor usaha kecil yang mengandalkan beras sebagai bahan utama produk mereka. Ini bermakna pula bahwa kenaikan harga beras mengancam usaha serta sumber pendapatan mereka dan tentu pula akan bertali-temali dengan turunnya tingkat kesejahteraan yang disebutkan tadi.
ADVERTISEMENT
Karena hal-hal di atas, jelas bahwa kenaikan harga beras merupakan masalah amat krusial yang harus segera diselesaikan sebelum hal ini berimbas lebih luas lagi, baik ekonomi, sosial dan bahkan politik. Antara lain, kerusuhan yang dipicu oleh rasa lapar serta sikap apatis masyarakat terhadap pemerintah. Hilangnya kewibawaan dan kepercayaan terhadap pemerintah seperti ini tentu membahayakan, terutama bagi rezim yang sedang berkuasa.
Ilustrasi Beras Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Sekadar menggambarkan lebih lanjut tentang dampak serius kenaikan harga beras di atas, Jepang yang 90% penduduknya mengkonsumsi beras, pernah mengalami kerusuhan massal tahun 1918 yang dikenal sebagai "Kerusuhan Beras 1918" (Kome Sōdō). Kerusuhan ini terjadi akibat kenaikan harga beras hingga dua kali lipat yang menyebabkan kesulitan ekonomi sangat ekstrem, terutama di pedesaan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, kelangkaan beras dan kelaparan bahkan telah memicu revolusi di Vietnam tahun 1944~1945. Untuk yang lebih baru, protes dan kerusuhan berkepanjangan yang dipicu oleh krisis beras di berbagai daerah di Filipina tahun 2008, tentu dapat disebutkan sebagai contoh pula.
Dari contoh-contoh di atas, jelas bahwa stabilitas harga bahan pangan pokok, terutama beras, amat penting dalam menjaga ketenangan, kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus pula stabilitas politik di sebuah negara.
Kalau berbicara jujur, bahwa produksi beras nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan nasional, hal ini telah diketahui dan sudah berlangsung sejak lama. Dan, idealnya, langkah-langkah antisifatif telah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Karena itu, menyalahkan perubahan cuaca ekstrem dan menjadikannya alasan atas masalah yang kini terjadi, adalah sikap yang sudah tidak pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
Ketimbang sibuk mencari kambing hitam, menyelidiki lebih dalam masalah-masalah dalam sistem pertanian kita dan mengidentifikasi sebab-sebab struktural yang berkontribusi terhadap ketidakstabilan pasokan dan harga beras dalam rangka mencari jawaban atas masalah itu, tentu akan lebih bijaksana.
Ilustrasi lahan pertanian. Foto: Dok. Kementan
Benarlah, memang, bahwa selama ini, sektor pertanian menjadi perhatian utama dari rezim ke rezim yang memerintah di negeri kita. Namun, jika dilihat dari hasilnya, kita tampak seperti jalan di tempat atau berputar-putar dalam “lingkaran setan”. Solusi yang tepat atas atas tantangan-tantangan yang ada masih belum muncul atau tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Berbagai program dan kebijakan sering kali hanya berhenti pada tahap retorika, tanpa implementasi yang nyata di lapangan.
Para petani, misalnya, masih tetap menghadapi berbagai tantangan mendasar yang itu-itu juga. Misalnya, keterbatasan infrastruktur dan akses modal (bahkan kesulitan pupuk), sampai ke persoalan teknologi yang kurang memadai untuk mengantisipasi dan mengatasi perubahan iklim yang semakin ganas dan nyata.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa bahan pangan pokok seharusnya terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Apalagi mengingat akses terhadap pangan yang cukup dan berkualitas adalah hak asasi setiap individu yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Jika Pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah ketersediaan dan harga beras, maka sudah saatnya untuk mempertimbangkan diversifikasi pangan dan mendorong konsumsi sumber pangan alternatif untuk membantu mengurangi tekanan terhadap pasokan dan harga beras, serta memberikan opsi yang lebih beragam bagi masyarakat.
Diversifikasi pangan sebenarnya bukanlah ide baru. Gagasan ini sebenarnya sudah sejak lama diimplementasikan di Indonesia untuk meminimalisir ketergantungan terhadap beras, namun hasilnya masih belum maksimal. Di tengah kondisi saat ini, di mana harga beras melonjak tinggi, diversifikasi pangan perlu didorong lagi secara aktif, dan bukan sekadar dianjurkan.
Ilustrasi makanan sehat. Foto: ME Image/Shutterstock
Dalam konteks diversifikasi pangan, minimnya kesadaran akan pentingnya diversifikasi pangan dan kebiasaan konsumsi masyarakat yang masih cenderung terpaku pada beras sebagai makanan pokok, masih menjadi hambatan dalam mewujudkan diversifikasi pangan secara optimal. Padahal Indonesia memiliki potensi besar dalam tanaman pangan lokal seperti singkong, sagu, dan ubi jalar dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dengan pertimbangan bahwa tanaman alternatif di atas umumnya memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap variasi lingkungan, memerlukan lebih sedikit input pertanian seperti air, pupuk, dan pestisida, serta memiliki siklus tanam yang lebih singkat, maka peluang Indonesia dalam mendiversifikasi pangannya dan mengurangi ketergantungan pada beras, sesungguhnya terbuka lebar.
Apalagi, di masa lalu, singkong misalnya memang merupakan makanan pokok yang penting di banyak daerah di Indonesia karena ketersediaannya yang melimpah dan kemampuannya untuk tumbuh di berbagai kondisi tanah. Namun, dengan modernisasi dan globalisasi, beras kemudian menjadi makanan pokok yang diutamakan masyarakat karena dianggap lebih bergengsi dan mudah diolah. Dan sebaliknya, singkong dipersepsikan sebagai makanan "inferior" atau kurang bergengsi sehingga jumlah masyarakat yang mengkonsumsi pangan ini menurun.
ADVERTISEMENT
Kritik bahwa kita telah menjadi bangsa melarat karena makan singkong, mungkin akan muncul. Tapi justru di sinilah perlunya kita mengedukasi masyarakat dan mengubah persepsi mereka yang salah. Selain dapat menjadi sumber pangan alternatif, perlu pula ditanamkan pengertian bahwa singkong, talas, dan lainnya, sejatinya memang lebih baik dari beras, terutama karena rendahnya karbohidrat.
Ilustrasi sumber protein Foto: Shutterstock
Sejalan dengan ini, agar menjadi bangsa yang lebih cerdas, kita pun memang harus mendorong masyarakat mengurangi karbohidrat dan meningkatkan asupan protein. Caranya adalah dengan meningkatkan pemanfaatan hasil laut yang merupakan 60% dari teritorial kita.
Masalahnya sekarang kembali kepada pemerintah. Sebagai misal, maukah pemerintah serius menggalakkan kembali diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras?
Langkah di atas memerlukan komitmen yang kuat dan kebijakan yang konsisten dari pemerintah serta kolaborasi kuat antara stakeholders terkait. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan mendorong kembali konsumsi berbagai sumber pangan alternatif seperti jagung, singkong, ubi, dan sagu (dan bahkan pisang), yang dulunya pernah menjadi makanan pokok di wilayah-wilayah tertentu di negeri ini. Pemerintah perlu memberikan dukungan yang konkret kepada petani melalui penyuluhan, bantuan teknis, dan akses pasar yang lebih luas agar mereka terdorong menanam kembali tanaman-tanaman tersebut secara lebih baik.
ADVERTISEMENT
Yang tak kalah pentingnya adalah, memberikan pendidikan dan kampanye kepada masyarakat mengenai pentingnya diversifikasi pangan agar masyarakat terbiasa mengkonsumsi berbagai jenis makanan pokok dan lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan dalam pasokan atau kenaikan harga beras.
Beberapa negara yang telah berhasil melakukan upaya diversifikasi pangan, seperti Korea Selatan, mungkin dapat menjadi inspirasi atau contoh yang berharga bagi Indonesia. Upaya Pemerintah Korea Selatan dalam mendorong perubahan pola makan masyarakatnya secara konsisten dan berkelanjutan merupakan poin penting dari strategi untuk mengurangi risiko ketergantungan pada satu jenis bahan pangan saja dalam menghadapi potensi krisis pangan.
Dengan terus meningkatnya konsumsi yang tanpa diiringi pertumbuhan produksi yang sebanding, krisis beras akan menjadi kenyataan yang semakin sulit dihindari. Situasi ini akan semakin memburuk jika dampak negatif dari pemanasan global terus meningkat di masa depan. Tanpa upaya serius, terarah dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah tersebut, Indonesia akan kesulitan mengamankan kebutuhan pangannya.
ADVERTISEMENT
Mengakhiri “mitos beras” bahwa kalau belum makan nasi berarti belum makan, seperti yang tertanam dalam benak masyarakat selama ini merupakan langkah amat penting yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah pangan (beras) sekarang ini. Tentu saja, di samping pula pembenahan-pembenahan lainnya di sektor pertanian kita.***