Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Menjelang Ramadhan, ratusan orang nampak memadati Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta Pusat. Bahkan, saking banyaknya pengunjung, pendingin ruangan atau AC di bangunan berlantai empat tersebut seakan tak berfungsi. Ruangan gerah.
ADVERTISEMENT
Dari kerumunan orang-orang itu, ada yang menarik perhatian. Sejumlah orang berseragam biru berada di sudut-sudut ruangan. Mereka menawarkan jasa mengangkut barang bawaan para pengunjung. Ya, mereka adalah porter.
Berpuluh kilo beban harus dipikul. Beban pikulan seolah menjadi gambaran besarnya tenaga yang harus dikeluarkan demi lembaran rupiah.
Berdasarkan pantauan kumparan (kumparan.com) di pintu masuk Timur Pasar Tanah Abang Blok A, terlihat sejumlah porter mencoba menawarkan jasanya kepada para pengunjung. Namun tak jarang tawaran tersebut justru mendapat penolakan.
Syahrul, 41 tahun, mengaku telah menjalani profesi sebagai porter di Pasar Tanah Abang selama lima tahun. Ia dan ratusan porter lainnya harus berjuang setiap hari demi mendapatkan selembar rupiah.
ADVERTISEMENT
"Setiap angkut pembeli biasanya dikasih Rp 10 ribu, dari lobi sampai parkiran kendaraannya dia. Kalau bawannya agak banyak, bisa dikasih Rp 20 ribu," ujar pria asal Tasikmalaya ini kepada kumparan (kumparan.com) di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Sabtu (6/5).
Ia mengaku, penghasilannya tak menentu dalam sehari. Pada akhir pekan seperti saat ini, ia bisa 10 kali angkut bawaan, baik dari pembeli ataupun pedagang eceran.
"Kalau lagi Sabtu-Minggu gini rame, bisa 10 kali angkut, bisa sampe malem itu dapet Rp 300 ribu lah, tapi jarang kalau hari biasa, karena saingannya banyak," jelasnya.
Menurutnya, jumlah porter di Pasar Tanah Abang saat ini jumlahnya ratusan, tak terhitung dengan angka pasti. Biasanya masing-masing porter memiliki mandor. Satu mandor ada sekitar 200 porter.
ADVERTISEMENT
Sang mandor, lanjut Syahrul, tak akan peduli dengan kondisi porternya. Ada atau tidak ada penghasilan, ia dan ratusan porter lainnya harus menyetor kepada mandor.
"Seharinya mesti setor ke mandor sekitar Rp 5 ribu. Ya kami mau enggak mau, habis bagaimana lagi, kerjaannya di sini," katanya.
Penghasilan yang ia dapat selama sebulan, biasanya ditabung, kemudian ditransfer untuk istrinya di kampung. Meski demikian, pria dua anak ini mengaku bangga dan bersyukur dengan pekerjaan yang ia jalani.
"Yang penting halal, bangga karena bisa memikul beban orang lain, walaupun kadang kami berat juga, tapi demi keluarga apapun dijalani selama halal," ucap dia.
Berebut Sesama Porter
Kisah porter sebenarnya cukup memprihatinkan. Mereka harus berjuang dengan ratusan porter lainnya di tempat yang sama.
ADVERTISEMENT
Para porter biasanya berdiri di depan pintu masuk Blok A atau mencoba mendekati pengunjung yang keluar pintu.
Ahmad, 50 tahun, sudah tiga tahun menjalani profesi sebagai porter. Ia mengaku terpaksa menjalani pekerjaan tersebut karena pendidikannya yang tak tamat SD.
"Enggak ada pilihan lagi, daripada nganggur," ujar Achmad saat berbincang bersama kumparan (kumparan.com).
Pada hari biasa, penghasilannya hanya Rp 50-100 ribu dalam sehari. Kerja dari pukul 04.00 - 00.00 WIB. Bahkan dirinya sering tak mendapatkan penghasilan sama sekali. Kondisi tersebut diperparah dengan setoran wajib kepada sang mandor, Rp 5 ribu per hari.
"Tapi susah juga, kalau enggak ada mandor, enggak bisa kerja di sini, kan yang bisa jadi porter di sini harus resmi, ada kaosnya," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Tak cukup sampai di situ, pria asal Tangerang ini juga menyewa sebuah kamar bersama dua orang temannya untuk hidup di Ibu Kota. Sebulan, ia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 100 ribu hanya untuk sewa kamar, belum lagi patungan biaya lainnya seperti listrik, air, dan keperluan sehari-hari.
"Pengeluaran sebulan bisa Rp 300-500 ribu, tapi seringnya utang, karena penghasilan enggak sampe segitu sebulan," katanya.
Meski demikian, ia mengaku bangga pernah memikul karung berisi bahan (kain) seberat 100 kg, bahkan bisa sampai lima kali angkut, dari pintu Timur Blok A Tanah Abang hingga ke parkiran bawah pasar.
"Itu lumayan, saya pernah lima kali angkut, dibayarnya cuma Rp 50 ribu. Sama aja Rp 10 ribu sekali angkut, padahal jaraknya lumayan jauh mesti turun ke bawah, pokoknya seru," kata pria dua anak ini.
ADVERTISEMENT
Ia merasa, penghasilannya tahun ini berkurang dibandingkan tiga tahun yang lalu, awal ia menjadi porter.
"Sekarang sudah berkurang, kalau 2014 dulu pas awal jadi porter, biasanya banyak angkut barang, sekarang sering banget sehari enggak angkut sama sekali. Karena lagi susah juga kondisinya," jelasnya.
Namun, ia optimistis pekerjaan sebagai porter bisa membawa keberkahan bagi keluarganya yang berada di Tangerang. Sebab menurutnya, berapapun penghasilan yang didapat jika tak bersyukur, maka tak akan membawa keberkahan.
"Sedikit tapi halal, insyaallah berkah," pungkasnya.