Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pemerintah Vs Freeport, Kapankah Berakhir?
21 Februari 2017 11:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Carut marut permasalahan Freeport dengan Pemerintah tampaknya belum kunjung usai. Pemerintah berkukuh dengan peraturan-peraturan yang ada, jauh hari sebelum pemerintahan yang ada saat ini, meskipun di era Presiden Joko Widodo telah ada pembaruan atas peraturan penambangan. Sementara itu, Freeport tidak kalah berkukuh untuk tidak mengubah haluan seperti yang diminta oleh pemerintah dengan landasan hukum peraturan yang pernah dibuat di era Presiden SBY.
ADVERTISEMENT
Carut marut ini kian berlanjut manakala Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan mulai menanggapi ancaman PT Freeport Indonesia yang berencana menyeret pemerintah Indonesia ke Badan Arbitrase Internasional terkait persoalan perubahan status dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Bahkan lewat sindirannya, Jonan pun bertanya, Freeport mau berbisnis atau berperkara.
"Dari pengamatan kami, Pemerintah, kali ini telah memberikan kelonggaran di mana tidak terlalu ketat. Terlihat dari sikap Pemerintah yang masih mau untuk membuka pintu perundingan atau negosiasi guna mencari titik temu permasalahan perubahan status KK menjadi IUPK. Pemerintah mengajukan dua opsi di mana melakukan perubahan atau konversi dengan melepas status KK dan menggantinya menjadi IUPK maupun harus tunduk pada kewajiban perpajakan prevailing (berubah-ubah) dan divestasi 51 persen secara bertahap. Akan tetapi, Freeport tidak menginginkan keduanya," demikian disampaikan Senior Analyst Binaartha Sekuritas dalam risetnya seperti dikutip kumparan, Selasa (21/2).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan aturan pertambangan Indonesia yang baru dirilis pada Januari, Freeport Indonesia harus beralih kontraknya atau mengubah kontrak dari KK menjadi IUPK.
Freeport Indonesia belum mau menerima perubahan Kontrak Karya menjadi IUPK. Dengan menggunakan rekomendasi dari pengacara internasional, disampaikan kontrak tidak bisa diubah secara sepihak.
Menurut Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan, Richard C. Adkerson menyampaikan, Freeport memang berkomitmen untuk menaati kebijakan yang telah dibuat Pemerintah Indonesia. Namun memang, Freeport belum menerima ketentuan perubahan KK menjadi IUPK, yang menjadi syarat agar Freeport bisa mengekspor mineral olahan (konsentrat).
Berdasarkan rekomendasi dari pengacara internasional, Kontrak Karya tetap berlaku bagi Freeport, dan kontrak yang telah dijalani selama 50 tahun tersebut tidak bisa diputus secara sepihak bahkan dengan PP yang baru. Ditambahkan pula, Freeport Indonesia seharusnya masih bisa mengekspor konsentrat meski tidak mengubah status menjadi IUPK, karena Freeport telah membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik yang dioperatori oleh PT Smelting Gresik.
ADVERTISEMENT
Kisruh saling bertahan dengan posisi dan argumennya masing-masing berimbas pada sikap induk usaha PT Freeport Indonesia yaitu Freeport McMoran Inc. yang menyatakan force majeure sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya pada Jumat 17 Februari 2017.
Hal itu membuat Freeport McMoran belum dapat memenuhi kewajiban kontrak atau mengirimkan konsentrat tembaga dari tambang Grasberg Indonesia kepada mitranya. Hal ini lantaran produksi tambang raksasa Freeport Indonesia terhenti usai pemerintah melarang ekspor konsentrat tembaga pada 12 Januari sebagai bagian upaya dari meningkatkan pembangunan smelter di Indonesia.
Kondisi force majeure ini tidak hanya dialami oleh tambang Freeport yang ada di Indonesia, namun BHP Billiton's Escondia di Chili, tambang tembaga terbesar di dunia juga menyatakan force majeure pada 10 Februari 201 karena pemogokan selama dua hari menghentikan produksi.
ADVERTISEMENT
Mengutip Reuters, dengan shutdown nya kedua tambang itu diperkirakan sekitar 2 juta ton atau hampir 10 persen dari pasokan tembaga dunia tertunda pasokannya. Tambang Grasberg diharapkan dapat menghasilkan 800 ribu ton tembaga pada 2017 atau sekitar 3,5 persen dari pasokan global.
Selain masalah tersebut, kabar Chappy Hakim yang mundur dari posisinya sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia di mana ia sudah mengajukan surat pengunduran dirinya ke McMoran Freeport Amerika turut menambah polemik yang terjadi pada permasalahan perizinan Freeport dan Pemerintah.
Terlepas hal pengunduran diri tersebut dipengaruhi oleh carut marut masalah yang ada atau murni karena masalah personal atau imbas dari perdebatannya dengan salah satu anggota Komisi VII DPR namun, pasar tetap memandangnya sebagai bagian dari permasalahan yang ada.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, dalam suatu kesempatan mantan staf khusus Kementerian ESDM 2014-2016, Muhammad Said Didu memberikan penjelasan (kultwit) pada akun Twitter pribadinya untuk menjelaskan persoalan Freeport yang bak buah simalakama bagi Pemerintah.
"Dalam pengamatan kami pun melihat bahwa memang ada permasalahan yang lama terpendam antara Freeport dengan Pemerintah di mana perseteruan ini akan terus berkepanjangan, bak sinetron dengan durasi panjang," sebutnya.
Membahas permasalah yang ada tidak akan ada habisnya hingga terdapat pertemuan dan persetujuan antara kedua. Dalam hal ini, menarik jika diamati pergerakan harga sahamnya yang terimbas masalah yang ada. Jika kita lihat harga saham Freeport dengan kode FCX:US ini mengalami tren penurunan sejak awal tahun. Saat itu, (24/1) mencapai nilai tertingginya di 17,02 dolar AS lalu mengalami penurunan karena profit taking sebagai imbas pelemahan harga komoditas karena penguatan dolar AS setelah Presiden Trump terpilih. Di bulan Februari, secara bertahap mulai kembali mengalami kenaikan hingga menyentuh level tertingginya di16,84 dolar AS pada 1 Februari 2017. Akan tetapi, tidak lama kemudian kembali bergerak turun. Pelemahan kian berlanjut dengan adanya benang kusut dan perseteruan ini dimana harga saham FCX:US setelah berada di 15,96 dolar AS (13/2) terus turun hingga di bawah 15 dolar AS pada akhir pekan lalu (17/2) atau terendahnya dalam 1 bulan terakhir.
ADVERTISEMENT
Bandingkan dengan saham-saham sejenisnya yang meskipun melemah namun, tidak sedalam seperti yang dialami FCX:US. Jika dibandingkan pergerakannya selama satu bulan terakhir. FCX:US (-10,45 persen); BHP:US (-2,45 persen); CMP:US (-6,76 persen); MTRN:US (-8,78 persen); dan lainnya.
Dari sisi pengamatan kami, apakah sebegitu sulitkah bagi Freeport untuk mau mengikuti saran Pemerintah untuk merubah perijinan dan membangun smelter di tanah yang bukan milik negaranya? Sadarkah Freeport bahwa mereka melakukan penambangan di negara lain bukan di tempat Freeport tersebut berasal dan berapa besar telah mereka keruk untuk dimanfaatkan demi kepentingan mereka dibandingkan manfaat yang diperoleh untuk Indonesia?. Bahkan jika mereka melakukan perubahan perijinan seperti yang diinginkan Pemerintah, mereka pun tidak kehilangan lokasi penambangan dan dapat terus melakukan kegiatan operasional seperti biasanya hingga akhir masa kontrak dimana nanti dapat dinegosiasikan untuk diperpanjang kembali. Toh, Pemerintah pun tidak akan langsung melakukan nasionalisasi baik secara halus maupun paksa sehingga kami lihat akan sangat baik bagi Freeport untuk bisa bekerja sama dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT