Studi HCC: Jelang Puasa, Niat Responden Terapkan Pola Makan Berkelanjutan Rendah

Dewi Sulistiawaty
Content Creator
Konten dari Pengguna
20 Maret 2023 23:40 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dewi Sulistiawaty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Studi HCC: Niat Masyarakat untuk Terapkan Pola Makan Berkelanjutan Jelang Puasa Cenderung Rendah
zoom-in-whitePerbesar
Studi HCC: Niat Masyarakat untuk Terapkan Pola Makan Berkelanjutan Jelang Puasa Cenderung Rendah
ADVERTISEMENT
Bulan Ramadan sudah di depan mata. Umat muslim yang akan menjalankan ibadah puasa pun sudah mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci penuh berkah ini, termasuk mempersiapkan makanan dan minuman yang akan disantap untuk sahur dan berbuka puasa. Namun sayangnya, menurut hasil penelitian survei Health Collaborative Center (HCC), keinginan masyarakat untuk menerapkan pola makan berkelanjutan (sustainable eating) terbilang masih rendah.
ADVERTISEMENT
Hal ini disampaikan oleh Ketua HCC sekaligus Peneliti Utama dalam studi tersebut, yaitu Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK pada hari Senin, 20 Maret 2023 di Restoran Beautika – Hang Lekir Senayan, Jakarta. Dari survei yang dilakukan terhadap 2531 responden di rentang usia 20 – 69 tahun (82% perempuan, 18% laki-laki) yang mayoritas tinggal di perkotaan, ditemukan hasil bahwa indeks sustainable feeding intention orang Indonesia menjelang puasa Ramadan 2023/ 1444 H adalah moderate atau cenderung rendah.
7 dari 10 responden tidak berniat untuk mengurangi makanan yang mengandung minyak olahan, serta sumber makanan yang mengandung lemak selama bulan puasa. Sedangkan 8 dari 10 responden tidak berniat untuk makan lebih banyak ikan untuk buka puasa dan sahur. Selain itu ditemukan juga bahwa 5 dari 10 responden tersebut tidak berniat untuk membawa tumbler atau tempat minum pribadi saat bukber atau sahur.
ADVERTISEMENT
Kabar bahagianya, dari hasil survei tersebut juga ditemukan ada responden yang berpotensi untuk menjalankan perilaku sustainable feeding, seperti berniat untuk menyimpan kelebihan makanan dari buka puasa untuk menu sahur, niat untuk makan menu yang lebih bervariasi, dan minum air mineral lebih banyak saat buka puasa dan sahur, serta niat untuk makan lebih banyak sayur dan sumber makanan nabati selama bulan puasa.
Dr. Ray, Ketua HCC
“Ini adalah sikap dan niat atau intensi yang konsisten dengan salah satu sustainable eating index, yaitu “cut the waste” atau mengurangi kecenderungan membuang sisa makanan. Begitupun dengan niat untuk lebih banyak minum air putih. Ini intensi yang baik, karena minuman manis dan bersoda yang mengandung gula tinggi, selain dapat menganggu kesehatan, juga terkait dengan pengolahan yang tidak berkelanjutan,” ujar Dr. Ray.
ADVERTISEMENT
Menurut Dr. Ray, perilaku yang paling tidak sustainable adalah dari aspek pilihan jenis dan bahan makanan, yang kebanyakan responden berniat untuk tetap ingin mengonsumsi makanan dari daging, serta diolah dengan minyak olahan. Sebagai informasi, sustainable eating adalah sebuah konsep memilah dan memilih makanan yang akan dikonsumsi, berdasarkan dampak produksi makanan tersebut terhadap kesejahteraan lingkungan. Orang yang menerapkan konsep sustainable eating hanya akan mengonsumsi makanan yang diolah dengan cara yang bermanfaat, dan tidak menyakiti atau memberikan dampak buruk terhadap lingkungan.
Beberapa contoh perilaku sustainable eating adalah dengan lebih banyak mengonsumsi makanan bersumber pangan nabati, lebih banyak makan pangan lokal, membeli stok bahan makanan, menghindari food waste, membuat masakan sendiri, asupan hidrasi yang cukup dan menghindari minuman dan makanan tinggi gula, memastikan bahan pangan yang mengeliminasi pestisida, serta ibu menyusui dengan ASI eksklusif selama 6 bulan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan konsep pangan berkelanjutan tersebut, maka memang lebih baik mengonsumsi ikan atau makanan bersumber nabati dari pada mengonsumsi daging, apalagi jika kemudian diolah lagi menggunakan minyak olahan. Sebagai pilihan utama tentu saja akan lebih baik jika bisa mengonsumsi ikan segar lokal. Namun jika tidak ada pilihan ikan segar, boleh beralih ke ikan kering.
Selain ikan, Dr. Ray juga menyarankan untuk lebih banyak mengonsumsi sayur dan buah. Beliau menyebutkan bahwa sebaiknya sayur dikonsumsi sebelum mulai menyantap hidangan utama. Selain karena dapat mengikat lemak, sayur juga dapat membuat perut lebih cepat kenyang, sehingga mengurangi keinginan untuk mengonsumsi makanan lain, termasuk nasi yang berlebihan.
Meski begitu, Dr. Ray menganjurkan agar masyarakat lebih banyak mengonsumsi ikan. Vitamin yang terkandung pada ikan lebih cepat diserap oleh tubuh, karena vitaminnya sudah dalam bentuk jadi. Sementara vitamin pada sayur lebih rendah penyerapan karena harus diproses lagi oleh tubuh.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Dr. Ray menjelaskan bahwa ada beberapa aspek kunci yang menyebabkan sustainable eating ini cenderung rendah. Berdasarkan analisis korelasi, terdapat hubungan antara ketersediaan dan stok bahan pangan, serta akses dan kemampuan membeli bahan pangan dengan total sustainable feeding index, dengan kekuatan korelasi sedang.
“Artinya responden khawatir, kalau berniat mengganti kebiasaan makan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, tapi nanti stok ikan, sayur, atau pangan ramah lingkungan malah tidak tersedia, dan bahkan mungkin harganya lebih mahal di bulan puasa,” ungkap Dr. Ray yang sering memberikan edukasi di Instagram @ray.w.basrowi.
Tim peneliti HCC yang diperkuat oleh Research Associate Yoli Faradika ini merekomendasikan pentingnya untuk mengapresiasi beberapa intensi dan sikap positif terkait pola makan berkelanjutan selama bulan puasa. Apalagi studi ini secara metodologi memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (confident interval) 95%, dengan margin of error yang rendah, yaitu 1,95%. Sehingga sebaiknya perilaku makan yang cenderung tidak berkelanjutan, seperti mengonsumsi makanan dengan olahan minyak mesti dimitigasi agar tidak berdampak pada kesehatan.
ADVERTISEMENT

Keuntungan Berperilaku Sustainable Eating Bagi Kesehatan dan Lingkungan