Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
SURVEI PERDAMI: 40,5% ANAK SD DI JAKARTA ALAMI RABUN JAUH
23 Maret 2023 6:51 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Dewi Sulistiawaty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mata adalah indera penglihatan. Tanpa mata, manusia tidak dapat melihat dan menikmati apapun yang ada dihadapannya. Semua akan terlihat gelap. Oleh karena itulah mata menjadi salah satu organ tubuh yang sangat penting, yang perlu dijaga dan dirawat dengan baik. Perawatan mata pun harus dilakukan sejak dini.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, hingga saat ini masih banyak orang yang belum sadar akan pentingnya menjaga kesehatan mata. Kebanyakan orang, baru akan memeriksakan diri ke dokter setelah terjadi gangguan pada matanya, dan tak jarang dari mereka yang datang dengan kondisi mata yang sudah parah. Padahal merawat mata bukanlah perkara yang sulit, serta tidak membutuhkan biaya yang mahal.
Agar mata sehat, maka mata perlu dirawat sejak anak lahir, bahkan sejak dari kandungan. Orang tua pun diharapkan dapat menanamkan kebiasaan untuk menjaga kesehatan mata sejak dini pada anak-anak mereka, sehingga kebiasaan ini akan diterapkan anak hingga usia dewasanya. Bagaimanapun mata memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan fisik, sosial, kemampuan kognitif anak, bahkan kualitas hidupnya di masa depan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan sumber dari IAPB School Pack 2021, 65 juta anak di dunia menderita mata minus atau rabun jauh (miopia), dan diperkirakan angkanya akan terus meningkat menjadi 275 juta anak di tahun 2050. 90% dari anak-anak tersebut berasal dari negara berpenghasilan rendah hingga sedang. Pemberian kacamata pada anak yang membutuhkan dapat membantu mengurangi kegagalan belajar hingga 44%.
Pandemi Covid-19 yang melanda seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia beberapa waktu lalu ternyata malah makin meningkatkan kasus kelainan refraksi mata pada anak di dunia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 123.535 anak sekolah di Feicheng, China, diperoleh data bahwa selama tahun 2020, anak yang mengalami gangguan refraksi mata pada usia 6 tahun hingga 8 tahun meningkat hingga 3 kali lipat dibandingkan sebelum pandemi.
ADVERTISEMENT
Dari penelitian tersebut ditemukan juga bahwa kelainan refraksi ini terjadi karena penggunaan smartphone yang semakin intens, perubahan gaya hidup pada anak sekolah karena harus belajar secara daring, sehingga mata mereka makin sering terpapar layar gawai, serta kebijakan lockdown yang tidak membolehkan anak-anak untuk bermain di luar rumah.
Sementara hasil penelitian yang dilakukan di Amerika, gangguan refraksi yang tidak terkoreksi dapat memberikan dampak isolasi sosial, menurunkan kesempatan edukasi dan lowongan pekerjaan, serta dapat meningkatkan morbiditas dan beban ekonomi negara. Beban ekonomi global di Amerika diperkirakan sebesar 202 miliar US dolar dalam satu tahun, dan mencapai 244 miliar US dolar di Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Asia Timur.
Pengabdian Masyarakat dan Survei Kesehatan Mata Anak
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI), ditemukan bahwa prevalensi gangguan refraksi mata pada anak SD di Jakarta mencapai 40%. Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Moeloek, SpM(K) pada hari Selasa, 21 Maret 2023 di Kila Kila by Akasya, SCBD, Jakarta.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Nila, ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan anak mengalami rabun jauh (miopia), diantaranya adalah karena faktor genetik/ riwayat keluarga, sering melakukan aktivitas dekat, kurangnya aktivitas di luar ruangan, pendidikan tinggi, serta hidup di daerah perkotaan. Secara umum, rabun jauh merupakan kondisi pertumbuhan panjang sumbu bola mata yang melebihi ukuran normal. Hal ini menyebabkan objek yang letaknya dekat terlihat jelas, sedangkan objek yang letaknya jauh terlihat kabur. Jika gangguan refraksi mata ini tidak segera diperbaiki, maka kondisinya dapat terus memburuk, bahkan menyebabkan kebutaan.
“Rabun jauh ini dapat didiagnosa dengan pemeriksaan dokter atau tenaga terlatih, dengan menggunakan Snellen Chart. Jika kemudian ditemukan kelainan, maka sebaiknya dikoreksi dengan penggunaan kacamata atau lensa kontak,” ujar Prof. Nila.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa tanda dan gejala jika anak mengalami rabun jauh, seperti anak sering menyipitkan mata saat melihat jauh, melihat atau membaca dalam jarak dekat, posisi kepala miring untuk bisa fokus melihat, sering mengucek mata, sering mengedipkan mata, mata terasa pegal, berair, hingga sering sakit kepala.
Dr. Kianti Raisa Darusman, SpM(K), MmedSci sebagai Ketua Lapangan pada Tim Pengabdian Masyarakat untuk Kesehatan Mata menjelaskan bahwa survei ini dilakukan pada 269 anak usia SD kelas 4, 5, dan 6 dengan rentang usia 9 hingga 12 tahun di dua SD di Jakarta. Pada subjek awal diketahui bahwa 6% dari anak tersebut sudah menggunakan kacamata. Pemeriksaan mata dilakukan oleh dokter spesialis mata bagi seluruh murid yang telah mendapatkan persetujuan dari orangtua mereka. Selanjutnya dilakukan pemilihan kacamata dan pembagian kacamata gratis bagi murid dengan gangguan refraksi.
“Sehari sebelum dilakukan survei, kita juga melakukan pelatihan skrining visus mata pada guru. Dengan harapan ke depannya para guru ini dapat mendeteksi dini terjadinya gangguan mata pada muridnya. Kita latih semua guru, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Jadi skrining visus 6/9 dengan e-tumbling dilakukan oleh guru. Jika muridnya gagal membaca e-tumbling, dilanjutkan pemeriksaan visus dan koreksi visus dengan Snellen Chart oleh refraksionis,” jelas dr. Kianti.
ADVERTISEMENT
Dari hasil survei didapatkan bahwa 40,5% subjek terdiagnosis mengalami gangguan refraksi, dengan 39% subjek adalah murid kelas 4, dan 35% dari seluruh subjek gangguan refraksi didiagnosis mengalami rabun jauh.
Lebih lanjut, Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK sebagai Koordinator Survei pada Tim Pengabdian Masyarakat untuk Kesehatan Mata menyampaikan bahwa saat para murid yang menjadi subjek penelitian ini ditanya, 54% dari subjek yang terdiagnosis mengalami gangguan refraksi mengaku bahwa mereka mengalami kesulitan belajar karena terganggu dengan kesulitan membaca tulisan di papan tulis dengan jelas. 38% secara subjektif mengaku tidak bisa berolahraga karena gangguan melihat dan tidak bisa beraktifitas di panas terik. Sementara 19% nya mengaku sulit untuk melihat anak tangga.
“Bayangkan, berarti ini 4 dari 10 anak. Ingat, anak usia sekolah, apalagi SD, aktivitas fisik itu sangat penting untuk tumbuh kembangnya. Ketika 4 dari 10 anak sulit beraktifitas dengan baik karena gangguan penglihatannya, maka ini dampaknya bisa lebih besar. Dampak kesehatan masyarakat dan juga kemajuan ekonominya. Jadi ini bukan sekedar masalah gangguan mata saja. Tapi ada dampak yang lebih besar,” pungkas Dr. Ray.
ADVERTISEMENT
dr. Kiani pun selanjutnya mengungkapkan bahwa perlunya dilakukan langkah lanjutan dari penelitian ini, diantaranya dengan meningkatkan jangkauan dan frekuensi skrining kelainan refraksi mata pada anak SD, koreksi kelainan refraksi dengan kacamata secara luas, tepat waktu, dan tepat sasaran, serta perlunya meningkatkan intervensi advokasi, edukasi guru dan orang tua.
Untuk menjaga kesehatan mata anak Indonesia memang menjadi tantangan tersendiri. Kepedulian semua pihak, terutama para orang tua terhadap kesehatan mata anak itu sangat penting, karena menyangkut masa depan mereka dan juga bangsa ini. Indonesia memerlukan SDM yang berkualitas. Salah satu caranya adalah dengan memiliki anak-anak generasi penerus bangsa dengan penglihatan yang baik.