news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kriminalisasi Ulama atau Ulamanisasi Kriminal?

Dex Glenniza
Managing editor of Pandit Football, master of sport science, bachelor of science (architecture actually), licensed football coach. Who cares anyway.
Konten dari Pengguna
7 Juni 2017 12:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dex Glenniza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kriminalisasi Ulama atau Ulamanisasi Kriminal?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ulama dan kriminal tentunya adalah dua definisi yang berbeda dan bertentangan satu sama lainnya. Ulama misalnya, dalam Bahasa Arab memiliki arti “ilmuwan” dan secara harafiah “orang yang terpelajar”. Sedangkan menurut Encyclopedia of Islam (2000) memiliki arti sebagai yang “menunjukkan para ilmuwan dari hampir semua disiplin ilmu”. Lebih khusus lagi, dalam konteks Islam Sunni, para ulama dianggap sebagai “penjaga, pemancar, dan penafsir pengetahuan agama, doktrin, dan hukum Islam.”
ADVERTISEMENT
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertiannya yang lebih dipersempit mengenai ulama, yaitu “orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.” Jadi, pemuka atau pemimpin agama Islam bisa disebut sebagai ulama, sesederhana itu meskipun pada praktiknya menjadi ulama atau menjadi ahli agama Islam (seharusnya) bukanlah hal yang sederhana.
Sedangkan kriminal memiliki definisi yang berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang atau pidana.
Meskipun ulama dan kriminal adalah dua hal yang saling berlawanan, tapi keduanya bisa saling beririsan. Seorang ulama tentunya bisa menjadi kriminal. Begitu juga sebaliknya, seorang pelaku kriminal bisa saja adalah ulama.
Istilah “kriminalisasi ulama” sedang marak dikumandangkan di Indonesia. Hal ini mengacu kepada para ulama atau pemuka agama yang dikaitkan dengan hal atau hal-hal yang melanggar hukum. Sebetulnya simpel saja. Kriminalisasi ulama itu ada dan wajar.
ADVERTISEMENT
Beda lagi masalahnya jika seorang ulama harus menanggalkan gelar ulama mereka jika sudah menjadi kriminal. Haruskah? Atau saya harus balik bertanya untuk hal yang lebih esensial: Bagaimana, sih, caranya menjadi ulama?
Sifat, ciri, dan pergeseran makna ulama
Beberapa kejadian sebenarnya sudah membuat pengertian ulama mengalami pergeseran makna, terutama sejak Pilkada DKI Jakarta yang sudah berlalu. Meskipun demikian, seorang ulama biasanya adalah seseorang yang menguasai berbagai ilmu di agama Islam, misalnya aqidah, al-Qur’an, akhlak, fiqh, ushul fiqh, hadits, faraidh, tajwid, sampai ilmu-ilmu yang detail seperti shorfun, nahwu, dan lain sebagainya.
Para ulama ini biasanya memperoleh ilmu-ilmu tersebut dari mondok atau belajar selama bertahun-tahun dari guru mereka yang bisa saja lebih dari satu. Dari sini, kita tahu bahwa jika menjadi ulama itu tidak bisa dadakan.
ADVERTISEMENT
Kemudian, seorang ulama juga memiliki sifat tawadhu’ atau rendah diri, sehingga menjadi ironis jika ada ulama yang berteriak-teriak mengklaim diri mereka adalah seorang ulama, karena seorang ulama yang baik adalah mereka yang “menyembunyikan” ke-ulama-an mereka. Ini bukan hanya soal sorban dan jubah putih, karena itu hanya aksesoris yang bisa dipakai siapa saja, termasuk oleh seorang kriminal.
Karena keilmuan dan rendah dirinya ini, ulama bisa dipercaya dan sering menjadi pembimbing umat Islam dalam menghadapi kehidupan sehari-hari, bukan hanya soal kehidupan beragama. Ini juga yang membuat ulama memiliki pendekatan dakwah (ceramah) yang menyejukkan.
Sedangkan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, kedudukan ulama ini memang sedikit menjadi perdebatan, karena ulama sebenarnya, biasanya, dan semestinya menyelesaikan masalah dengan dakwah, musyawarah, dengan dibantu salat minta petunjuk (isigasah), bukan berdemonstrasi.
ADVERTISEMENT
Gelar ulama saat ini sepertinya sudah sangat sempit dan mudah didapatkan dengan seruan takbir, jubah, sorban, ceramah yang menyuarakan kebencian dan provokasi serta klaim (munafik atau murtad) sepihak, ditambah mengajak umat untuk setiap saat berdemonstrasi turun ke jalan.
Contoh ulama yang baik dari Quraish Shihab dan Gus Dur
Kita semua mungkin tidak sepemahaman mengenai siapa-siapa saja yang pantas disebut sebagai ulama. Tapi dari ciri-ciri di atas, kita sebenarnya sudah memiliki seorang ulama berkaliber internasional seperti Quraish Shihab dengan “Tafsir al-Misbah”-nya yang legendaris. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah dua contoh lain orang yang perdebatan gelar ulamanya hampir nihil, artinya kita hampir sepakat jika mereka adalah ulama.
ADVERTISEMENT
Sebagai ulama, Quraish Shihab sudah terhitung sering mendapatkan fitnah, dari mulai difitnah sebagai syiah (padahal istilah syiah saja menghasilkan perdebatan lain) sampai kemudian tempo hari dituding sesat oleh seorang mualaf.
Namun, Quraish Shihab terhitung adem-ayem saja laiknya peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”. Tidak ada ceritanya ia sampai naik pitam, hilang akal, lalu menuntut ini-itu, apalagi mengerahkan massa segala.
Sementara almarhum Gus Dur juga sudah kenyang dicaci-maki oleh fitnah yang itu-itu lagi. Ia pernah dicap kafir, dicap antek Yahudi, dicaci-maki kondisi fisiknya oleh seseorang yang belakangan terlibat kasus asususila, sampai bahkan ditendang dari kursi presiden.
Akan tetapi, dengan segala perlakukan tersebut, juga dengan sekian banyak massa yang tetap mendukung beliau, Gus Dur adem-ayem juga. Ia hampir tidak pernah menggoreng opini masyarakat tentang kejadian-kejadian tersebut dengan judul, misalnya, “penistaan terhadap Islam”, “pelecehan terhadap ulama”, dan segala macam judul menggelegar lainnya yang terlihat dramatis.
ADVERTISEMENT
Fenomena kriminalisasi ulama
Fenomena akhir-akhir ini bisa dibilang menunjukkan jika banyak orang yang mengaku atau menyematkan diri mereka sebagai ulama, padahal, menurut Gus Mus, mereka belum tentuk memiliki dasar pengetahuan, sanad keilmuan, dan (yang paling sumir untuk dinilai) akhlak yang dekat karakteristiknya dengan seorang alim atau apalagi ulama.
Ulama di Indonesia mungkin bukan Quraish Shihab dan Gus Dur saja, tapi jika saya membandingankan dengan ulama-ulama saat ini, saya bisa bilang bahwa pendekatan kedua nama di atas di saat menanggapi kejadian yang tidak mengenakkan memang berbeda.
Herannya, ulama yang selama ini membikin gaduh adalah ulama “yang itu-itu lagi”. Ulama-ulama besar Indonesia lainnya sebenarnya adem-ayem saja.
Misalnya, Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dengan asyik membuat acara Maulid Nabi di tengah lautan masyarakat bahkan bareng pejabat Polri dan TNI, Habib Syech Abdul Qodir Assegaf juga larut bershalawat semalaman bareng “Syekhermania” di Sidoarjo beberapa waktu yang lalu lalu, sementara Gus Mus juga rutin menggelar open house yang dihadiri masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Lantas kalau kebetulan ada satu, dua, atau tiga ulama (atau lebih parahnya, “ulama” dengan tanda kutip) yang terbelit kasus hukum, atas dasar apa kemudian menggeneralisir hal ini sebagai bentuk sistematis dari fenomena kriminalisasi terhadap ulama, atau lebih jauh, penistaan terhadap Islam?
Apakah betul yang sedang tersangkut kasus tersebut memang ulama atau hanya sekadar provokator yang kebetulan berbusana serupa ulama?
Lagipula menjadi kriminal, menjadi tersangka, bukanlah sesuatu yang sangat-sangat buruk. Bahkan sekalipun orang tersebut sudah dinyatakan bersalah dan dihukum, bisa jadi ia sebenarnya tidak bersalah. Kita bisa lihat kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Sekalipun ia sudah dihukum, masih banyak yang membela dia. Ahok, kan, bukan ulama, tapi masih ada banyak ternyata yang membelanya, kok.
ADVERTISEMENT
Ulama juga bisa berbuat salah
Mungkin ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, terutama umat Islam, terutama lagi bagi para ulama, jika kalau memang dipolisikan, itu terjadi karena semata lisan, perilaku, atau akhlak mereka yang gagal terjaga dengan baik.
Ini bukan sesuatu yang berlebihan, karena ulama juga bisa berbuat salah, lisannya bisa menyinggung perasaan orang lain meskipun secara tidak langsung, begitu juga perilakunya. Jangankan ulama, wong Nabi Muhammad SAW saja pernah berbuat salah. Jadi sebaiknya kita, umat Islam, dan ulama selow saja.
Peristiwa terjadi bukan karena kebetulan. Dakwah bisa menjadi fitnah, bersikap Islami saja bisa dibilang ekstremis atau radikal; dan bahayanya, Islam dan ulama marak dijadikan alat politik saat ini, sehingga mungkin akan lebih banyak lagi “kriminalisasi ulama” yang terjadi.
ADVERTISEMENT
Namun kembali, jika kasusnya seperti itu, kita harus melihatnya semata-mata karena fenomena politik, bukan karena fenomena agama. Saya yakin mayoritas ulama yang terkena kasus kriminal juga banyak yang tidak menyadari secara langsung jika mereka sudah menjadi tumbal dari alat politik.
Jangan sampai niat dakwah (beririsan fitnah) yang mereka ucapkan dengan inisiatif dan mulut mereka sendiri, namun ketika “kena apes” malah membawa-bawa umat Islam.
Jujur saja, jika sikap kita terhadap hukum yang kebetulan menyerang ulama malah membuat kita berpikiran sempit, saya pribadi jadi berpikir untuk menjadi ulama dadakan saja: sudah alim, insyaAllah jaminan masuk surga, dan kalaupun dituduh macam-macam, ya, tinggal mengadu saja ke media, bikin tagar #SaveUlama, kemudian bersuara membawa-bawa nama umat Islam. Apalagi jika memang gelar ulama bisa didapatkan dengan mudah, seperti yang saya sampaikan pada akhir sub-pembahasan pertama.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini banyak yang teriak mengenai kriminalisasi ulama. Saya jadi berpikir, apa benar ulama yang dikriminalkan atau malah sebaliknya, kriminal yang diulamakan?
Foto: AKTUAL/Munzir