Perbedaan ‘Makan Pakai Sendok’ dengan ‘Makan Sendok’ yang Mencerahkan

Dex Glenniza
Managing editor of Pandit Football, master of sport science, bachelor of science (architecture actually), licensed football coach. Who cares anyway.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2017 4:13 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dex Glenniza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi makan dengan sendok (Foto: Pixabay)
Setelah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) divonis bersalah atas kasus penodaan agama Islam, situs resmi Pengadilan Negeri Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, sempat diretas pada 11 Mei 2017.
ADVERTISEMENT
Di laman depan www.pn-negara.go.id tersebut terdapat foto dan pesan protes terkait hasil vonis hakim yang mempidanakan (mantan) Gubernur DKI Jakarta tersebut. Bunyi pesan tersebut adalah:
“Simple explanation: they didn't know the difference between “eat with spoon” and “eat spoon”. They claimed both are same meaning and made this governor guilty. The end.”
Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kurang-lebih: “Penjelasan sederhana: mereka tidak tahu perbedaan antara “makan pakai sendok” dan “makan sendok”. Mereka mengklaim keduanya memiliki arti yang sama dan membuat gubernur bersalah. Tamat.”
Mudahnya, kedua istilah yang dipakai, yaitu “makan pakai sendok” dan “makan sendok” adalah analogi yang mereferensikan “dibohongi pakai Surat al-Maidah 51” dan “dibohongi Surat al-Maidah 51”. Salah satu istilah di dalam pernyataan pidato Ahok yang membuatnya dilaporkan ke polisi karena penodaan agama Islam.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, analogi maupun aslinya memang menunjukkan kedua istilah yang berbeda, dengan kata “pakai” adalah kunci pembeda tersebut.
Kata Kunci “Pakai”
Pada 27 September 2016, Ahok melakukan kunjungan kerja ke Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu untuk meninjau program pemberdayaan budi daya kerapu. Menurutnya, program itu akan tetap dilanjutkan meskipun ia nanti tidak terpilih lagi menjadi Gubernur DKI Jakarta (karena Pilgub akan dilakukan pada Februari 2017).
Hal ini ia sampaikan dengan maksud untuk membuat warga tidak perlu khawatir jika mereka memang tidak mau memilih Ahok.
Tepatnya, ia berkata: “Kan, bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat al-Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin begitu, oh, nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu. Program ini (budi daya kerapu) jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok.”
ADVERTISEMENT
Sebenarnya pernyataan Ahok ini jelas. Namun, Buni Yani kemudian mengunggah video rekaman pidato tersebut di akun Facebook miliknya dengan diberi judul “Penistaan terhadap Agama?”.
Buni Yani tidak salah dengan mengunggah video tersebut. Akan tetapi, kesalahannya adalah saat menampilkan transkrip dengan meniadakan kata “pakai”, sehingga yang tertulis dalam transkripnya adalah: “karena dibohongi Surat al-Maidah 51”.
Merujuk pada transkrip Buni Yani di atas, Ahok bisa dikatakan telah menodai agama Islam. Karena ia menganggap Surat al-Maidah 51 telah berbohong. Wajar saja kemudian umat Islam marah karena Ahok berkata ayat suci mereka, yang merupakan kata-kata dari Allah SWT, Tuhan mereka, disebut sebagai sesuatu yang bohong, tidak jujur, tidak bisa dipercaya, atau tidak benar.
Namun, jika kita merujuk pada video asli, tanpa membaca transkrip versi Buni Yani, maka kita akan mendapati “karena dibohongi pakai Surat al-Maidah 51”.
ADVERTISEMENT
Hal ini jelas berbeda. Dengan kata “pakai”, berarti yang berbohong itu adalah orang atau oknum yang mengucapkan Surat al-Maidah 51 tersebut, bukan al-Maidah 51-nya.
Maka dari itu, muncul lah pembelaan-pembelaan dari sisi ahli ilmu bahasa yang mengatakan jika pernyataan Ahok tidak termasuk sebagai penodaan agama.
Mencerna Analogi “Makan (Pakai) Sendok”
Peretas pada situs Pengadilan Negeri Negara sebenarnya memberikan analogi yang lebih mudah dicerna, terutama untuk orang-orang yang masih bingung apakah pernyataan Ahok dianggap menista agama atau tidak.
Dengan membuat perumpamaan “dibohongi” yang diganti dengan “makan” serta “al-Maidah 51” yang diganti dengan “sendok”, maka jelas terlihat perbedaannya.
Gambar di atas (dari cuplikan film Bruce Almighty yang sebenarnya agak berbau penodaan agama) bisa menunjukkan perbedaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun jika masih sulit dicerna juga, penjelasan versi panjangnya adalah jika “makan pakai sendok”, maka seseorang melakukan kegiatan makan dengan menggunakan sendok. Objek yang dimakan bisa apa saja, bisa sup (seperti gambar di atas), nasi goreng, bubur ayam, dan lain sebagainya.
Sementara jika “makan sendok”, maka seseorang melakukan kegiatan makan, di mana objek yang ia makan adalah sendok.
Bisa dipahami, bukan? Jika masih belum bisa dipahami juga, bisa ditunggu setelah makan, apa yang keluar di toilet: jika yang keluar adalah feses dari makanan, maka seseorang tersebut makan pakai sendok; sementara jika yang keluar adalah feses berbentuk sendok (karena sendok yang umum terbuat dari stainless steel tidak bisa tercerna dengan sempurna), maka seseorang tersebut telah makan sendok.
ADVERTISEMENT
Perdebatan pada Kalimat Aktif dan Pasif
Sedangkan pembelaan lainnya dari analogi ini yang dianggap salah, biasanya menyatakan jika “makan” (kalimat aktif) tidak sama dengan “dibohongi” (kalimat pasif). Tapi tetap saja, “dimakan sendok” tidak akan sama dengan “dimakan pakai sendok”.
Pada kalimat pertama, sendok dianggap sebagai pemakannya (bayangkan sendok memiliki mulut). Sedangkan pada kalimat kedua, sendok hadir sebagai alat yang digunakan untuk makan.
Jika menyatukan kembali konteks, kealfaan “pakai” dalam kalimat “dibohongi Surat al-Maidah 51” tetap menimbulkan multitafsir. Karena dengan ketidakhadiran “pakai”, pembaca menjadi bingung apakah “al-Maidah 51” itu hadir sebagai si pembohongnya (sumber kebohongan) atau sebagai alat untuk melakukan kebohongan?
Hal berbeda akan terjadi jika kalimatnya berubah total, misalnya “dimakan mulut” yang sama saja dengan “dimakan pakai mulut”. Jika kalimat aslinya adalah “dimakan mulut”, menggunakan “pakai” ataupun tidak, maka maknanya akan sama.
ADVERTISEMENT
Tapi jelas-jelas Ahok menyatakan di pidatonya langsung jika ia mengucapkan “dibohongi pakai Surat al-Maidah 51”, sehingga jelas: dengan menggunakan “pakai” di realitanya, Ahok merujuk Surat al-Maidah 51 sebagai alat untuk melakukan kebohongan.
Ini lah kenapa, transkrip yang Buni Yani tulis dengan menghilangkan “pakai” seolah tidak terlalu penting, tapi padahal sangat penting untuk menunjukkan konteks.
Penistaan terhadap Agama?
Dari ilmu bahasa, kita bisa menilai jika Ahok sebenarnya tidak berniat menodai agama Islam dengan menyebut Surat al-Maidah 51 adalah bohong. Ia justru menunjukkan jika yang bohong adalah (orang) yang memakai Surat al-Maidah 51.
Misalnya, Joni Pamungkas (bukan nama sungguhan) berkata kepada temannya, Komar Gonzalez (bukan nama sungguhan juga): “Jangan pilih Ahok karena Surat al-Maidah 51 bilang umat Islam jangan pilih orang kafir untuk jadi pemimpin.”
ADVERTISEMENT
Kemudian Komar berkata kepada temannya yang lain, Saeful Bachdim (lagi-lagi bukan nama sungguhan): “Joni bilang kita tidak boleh pilih Ahok karena Surat al-Maidah 51. Tapi jangan mau dibohongi Joni.”
“Jangan mau dibohongi Joni” yang diucapkan oleh Komar berarti menunjukkan jika Joni telah berbohong. Dalam hal ini, “Joni” bisa diganti dengan “seseorang yang memakai Surat al-Maidah 51 (untuk membujuk temannya agar tidak memilih Ahok)”. Yang berbohong adalah Joni-nya, bukan Surat al-Maidah 51-nya.
Hal yang sama berlaku di saat saya sekolah di madrasah dulu. Pada saat di madrasah, kegiatan pacaran sangat dilarang. Surat di al-Qur’an yang sering digunakan tentunya adalah al-Isra’ 32 yang jika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia adalah “Dan janganlah kamu mendekati zina...”
ADVERTISEMENT
Namun teman-teman saya (dan juga saya) tetap saja ingin pacaran seolah melupakan surat al-Isra’ 32 tersebut padahal surat tersebut sudah sering diingatkan oleh guru-guru, pembina-pembina asrama, dan beberapa teman.
Di situ malah sebenarnya saya dan teman-teman saya yang pacaran telah menodai agama Islam karena pacaran (zina), meskipun kami tidak bilang bahwa al-Isra’ 32 adalah bohong; kami hanya mengabaikannya saja (maafkan kami ya, Allah).
Jadi, sesuai yang Buni Yani tanyakan di judul video unggahannya, “Penistaan terhadap Agama?”. Maka dengan ilmu bahasa, ternyata jawabannya adalah “tidak”. Lagipula di KUHP, tidak ada istilah “penistaan agama”, adanya “penodaan agama”. Dengan memakai label “penistaan agama” inilah yang membuat al-Maidah 51 bisa melekat kepada kita semua.
ADVERTISEMENT
Ya, saya tahu, tidak semua orang (mau) percaya dengan ilmu bahasa, dan itu sah-sah saja. Tapi setidaknya dengan membaca tulisan ini, ilmu bahasa Anda mudah-mudahan sudah bertambah, dan itu patut disyukuri.
Apalagi (terimakasih) jika Anda sudah menyediakan waktu yang tidak sebentar untuk membaca tulisan ini.