Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Miskonsepsi dan Kegagalan pada Implementasi Design Thinking
23 November 2021 14:47 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ariyodhani Muhammad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sebagai desainer grafis, saya telah dan akan selalu menjadi pendukung setia metodologi Design Thinking. Telah kesekian kalinya saya menghadiri seminar dan workshop tentang Design Thinking untuk mengaplikasikannya ke dalam tugas-tugas kejuruan dan pekerjaan desain grafis saya. Tidak ada yang salah dengan metodologi itu sendiri; namun belakangan ini tampaknya marak terjadi sebuah kejanggalan karena saya telah menyaksikan sekaligus merasakan sendiri bagaimana proses Design Thinking ini cukup disalahgunakan dalam praktiknya.
ADVERTISEMENT
Sudah berapa banyak industri yang menciptakan banyak solusi desain yang bisa dibilang medioker namun mahal sebagai hasilnya. Juga sudah berapa banyak interface aplikasi dan desain grafis yang mana semuanya terlihat sama. Tren dan standardisasi “copycat” yang sama tampaknya ada di mana-mana.
Saya pernah menonton cuplikan Natasha Jen, seorang desainer di Pentagram, berbicara tentang mengapa Design Thinking adalah omong kosong dan saya benar-benar beresonasi dengan rasa frustasinya. Fedrik Matheson dari IxDA Oslo dan Lene Renneflott dari Grafill telah mengangkat masalah ini juga dengan kronik mereka Keiserens nye designerklær. Mereka membahas kekuatan dengan Design Thinking dan berbicara tentang mengapa kebangkitan desain dalam organisasi umumnya merupakan hal yang baik, tentu saja saya setuju. Namun ada kekuatan yang lebih gelap dan saya ingin berbagi perspektif yang telah saya capai selama beberapa bulan terakhir, tentang mengapa Design Thinking mungkin lebih berbahaya daripada sisi positifnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai desainer, kami ingin tumbuh dan belajar dari para insan kreatif berbakat lainnya, mendorong batas, dan melatih skill kami. Namun kenyataannya adalah Design Thinking telah mendorong demokratisasi desain di mana para pekerja kreatif tunggal sering bercampur tangan dengan karyawan dan klien yang hanya memiliki sedikit pengalaman dalam desain di lingkungan yang serba cepat dan multi-tasking. Ini menciptakan lingkungan yang memperburuk skill kreativitas kami ketika kami harus meningkatkan praktik problem-solving, dikombinasikan dengan imajinasi dan eksekusi yang elegan melalui desain visual, implementasi, dan pengujian. Harapan kita harus didorong untuk menginginkan lebih, namun kita sering stuck di mana projek dinilai sudah cukup baik, padahal nyatanya belum maksimal.
Tidak seperti UI/UX desain, desain grafis dan desain motion biasanya merupakan cabang desain yang selalu diremehkan dan sering dipersingkat aktivitasnya dalam Design Thinking, karena sebagian besar prosesnya dihabiskan untuk kebutuhan fungsional. Ironisnya adalah kita tahu sendiri bahwa desain grafis ini memiliki peranan sangat penting untuk kesuksesan pada bisnis dan membangun brand sehingga mendapatkan posisi unik di dunia pasar.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh yang riil dan yang paling sering kita temui di negara kita sendiri adalah bagaimana instansi pemerintah, kelembagaan negara, dan partai politik memperlakukan para pekerja kreatif. Poster-poster mereka yang seringkali kita jumpai selalu dinilai kurang enak dipandang oleh masyarakat. Begitu juga dengan interface website, video edukatif, dan sebagainya. Bukankah anggarannya cukup besar? Kita kesampingkan dulu masalah korupsi di sini. Besar dari masyarakat mungkin sudah tahu bahwa hal tersebut masalahnya bukan ada pada desainer grafis, melainkan murni permintaan dan keterlibatan dari pihak instansi itu sendiri. Pisahkan Design Brief dengan aturan-aturan dan bermacam permintaan desain yang tidak jelas.
Pada dasarnya, Design Thinking dapat diringkas dengan kolaborasi, wawasan, problem-solving, dan pengujian berdasarkan desain yang berpusat pada manusia. Ini umumnya dapat dianggap sebagai proses yang hebat. Co-design dan kolaborasi adalah kekuatan yang sangat dihargai di mana beberapa ahli bekerja sama untuk membuat ide dan iterasi. Namun masalahnya adalah bahwa keterampilan pemecah masalah dan desain yang kritis tampaknya menguap ketika ada terlalu banyak anggota tim dan/atau skateholder yang terlibat dalam proses tersebut. Co-design yang di dalamnya terdapat skateholder juga akan memicu kebutuhan waktu yang lebih banyak dan semakin lama. Mereka sering terburu-buru dalam proses pengembangan tanpa kematangan lebih lanjut. Pada akhirnya, proses pengembangan juga dihentikan dan proses produksi justru dipercepat.
ADVERTISEMENT
Simpulan sumber masalahnya adalah Design Thinking sering melibatkan tim besar skateholder yang ingin diikutsertakan dalam keseluruhan proses desain dan pengembangan. Padahal mereka tidak punya latar belakang pendidikan desain maupun pengalaman sama sekali. Para insan kreatif harus menghabiskan banyak waktu untuk melibatkan mereka dalam prosesnya, yang dapat sangat mengurangi efektivitas pekerjaan desain dan produksi yang sebenarnya.
Begitu banyak waktu dan modal yang telah digunakan dalam fase penemuan dan brainstorming, sehingga kita mendapati diri kita terburu-buru untuk menciptakan solusi yang biasa-biasa saja. Ini dari waktu ke waktu dapat menjadi pembunuh motivasi bagi setiap pekerja kreatif yang mencoba membangun makna pada pekerjaan mereka.
Kita perlu meningkatkan volume ide dan proses desain “black room” di mana praktisi yang terampil dipercaya untuk mengembangkan ide-ide mereka, dikombinasikan dengan keseimbangan kolaborasi dan iterasi yang sehat. Ide baru sangat penting. Kita perlu keluar dari apa yang orang lain ekspektasikan, lalu mengejutkan mereka dengan suatu penemuan inovasi yang jauh lebih baik. Inovasi lahir dengan pemecahan masalah yang mendalam dan keterampilan desain yang memungkinkan waktu, skill, pengujian, dan iterasi yang matang.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak tim kreatif berbakat yang tersisa untuk mengerjakan apa yang seharusnya mereka kerjakan, semakin besar pula kemungkinan hasilnya akan menjadi solusi yang hebat, dengan harga yang sama maupun lebih rendah. Perbedaannya adalah mereka menghabiskan lebih sedikit waktu untuk merasionalisasi setiap keputusan kepada para skateholder yang terlibat.
Keterampilan yang tepat, membutuhkan lingkungan yang tepat juga. Problem-solving dan designing adalah keterampilan penting yang harus kita tingkatkan, bukan sebaliknya. Mereka membutuhkan latihan dan jam terbang selama bertahun-tahun untuk dikuasai. Pekerja kreatif harus didorong untuk mempraktikkan seni eskplorasi dan penyederhanaan menjadi konsep yang jelas dan unik, diikuti dengan kemampuan untuk mengurainya menjadi detail dengan eksekusi yang indah. Menempatkan pekerja kreatif ke dalam lingkungan yang salah dapat memberi hasil yang tidak maksimal kepada perusahaan. Kita perlu mendorong batasan dalam lingkungan eksploratif di mana pekerja kreatif dipercaya untuk mengerjakan keahlian mereka bersama-sama, tanpa perlu campur tangan dari orang yang tidak satu title dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Proses desain yang hebat melibatkan pengalaman, wawasan, imajinasi, penyederhanaan, dan eksekusi brilian melalui iterasi yang teruji. Saya percaya semakin kita kembali ke dasar dan benar-benar membiarkan praktisi berkutat di bidangnya masing-masing, semakin kita mampu mengembangkan solusi yang canggih dan brilian dengan jumlah modal yang sama dari solusi medioker yang sering kita lihat hingga saat ini.