Konten dari Pengguna

Kebijakan 'Nudge' Bernuansa Agama

Dharendra Wardhana
Mahasiswa S-3 di King's College London
18 Februari 2019 14:53 WIB
clock
Diperbarui 7 Agustus 2020 13:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dharendra Wardhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prasasti Sangguran. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Prasasti Sangguran. (Foto: Wikimedia Commons)

Konsep Nudge

ADVERTISEMENT
Nudge. Satu kata yang belum jelas padanan tepatnya dalam Bahasa Indonesia. Mungkin untuk sementara dapat diterjemahkan sebagai "dorongan", "senggolan", atau "sentuhan" dalam konteks spesifik terkait kebijakan publik. Dipopulerkan oleh Richard Thaler—pemenang Nobel Ekonomi tahun 2017—bersama Cass Sunstein dalam buku best-seller “Nudge: Improving Decisions about Health, Wealth, and Happiness” yang terbit sembilan tahun sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Buku ini membedah faktor irasionalitas manusia dalam pengambilan kebijakan, perilaku, serta penerapannya di pelbagai bidang. Pada direktori rak toko buku atau perpustakaan, Nudge biasanya dikelompokkan bersama dengan publikasi lain dalam ranah studi behavioural economics yang umumnya dianggap sebagai cabang lintas ilmu psikologi-ilmu ekonomi.
Secara ringkas, Thaler dan Sunstein berargumen bahwa nudge akan lebih efektif mengatur masyarakat daripada aturan berbentuk perintah, larangan, persyaratan, dan segenap peraturan yang bersifat mendikte.
Sebenarnya, bidang ini sudah banyak ditelaah dalam berbagai kajian dan publikasi termasuk buku populer laris yang terbit sebelum dan setelah Nudge seperti Blink (tulisan Malcolm Gladwell pada 2005), Predictably Irrational (karya Dan Ariely, 2008), Thinking Fast and Slow (ditulis pada 2011 oleh Daniel Kahneman, juga pemenang Nobel Ekonomi tahun 2002).
ADVERTISEMENT
Kajian ilmiah dan publikasi populer seperti ini sekaligus memberikan sinyal bahwa pada zaman sekarang ini karakteristik riset dan tulisan semakin bersifat multi-disipliner, trans-disipliner, dan inter-disipliner.

Adopsi ke Kebijakan Publik

Bidang ini mulai dilirik sebagai salah satu rujukan pengambilan kebijakan resmi. Sebagai contoh, Behavioural Insights Team (BIT) berada di struktur Kantor Perdana Menteri Inggris sejak tahun 2010. Diikuti oleh Pemerintah Australia pada tahun 2015 dengan pendirian Behavioural Economics Team of the Australian Government (BETA).
Thaler sendiri direkrut menjadi penasihat terdekat Barack Obama untuk pembentukan Social and Behavioural Sciences Team pada 2015. Evaluasi dampak atas penerapan nudge dalam kebijakan juga sudah banyak, salah satunya klaim keberhasilan BIT dalam membantu menghemat pengeluaran pemerintah Inggris hingga lebih dari 300 juta poundsterling.
ADVERTISEMENT
Unit kerja khusus tersebut diberi mandat untuk menemukan cara inovatif dalam rangka mengubah dan atau membentuk perilaku masyarakat. Mulai dari pengisian formulir pajak penghasilan, pengendalian konsumsi alkohol, pengaturan lalu lintas, sistem antrean transportasi publik, pola investasi rumah tangga, hingga ke pengelolaan donor organ tubuh.
Di Indonesia, uji coba penerapan nudge untuk rekayasa kebijakan sudah dimulai sejak dua tahun belakangan. BIT menjalin kerja sama dengan Ditjen Pajak merancang dua studi eksperimental untuk mendorong pengembalian pajak dan mengurangi kesalahan pengisian formulir 1770.
Riset terkait nudge dan penerapannya melibatkan para pakar dalam berbagai bidang secara inter-disipliner merentang dari psikologi, ekonomi, statistik, ilmu pemerintahan, dan administrasi publik. Kajian seputar nudge juga berupaya mengoreksi asumsi bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus) yang senantiasa bepikir, bersikap, dan bertindak rasional.
ADVERTISEMENT

Rasionalitas Terikat

Topik terkait nudge sebenarnya terhubung erat dengan tulisan Herbert Simon tentang konsep rasionalitas terikat atau bounded rationality (1982). Merupakan konsep yang menyanggah gagasan makhluk ekonomi yang rasional. Menurut Simon, rasionalitas sesorang akan selalu terikat atau terbatasi oleh kapasitas berpikir, informasi tersedia, dan waktu.
Konsep terpenting dalam diskursus nudge sebagaimana ditulis Thaler dan Sunstein adalah istilah libertarian paternalism yang menekankan pada pentingnya kebebasan memilih bagi setiap individu, namun tetap dapat dikendalikan melalui desain arsitektur pilihan (choice architecture) yang menggiring perilaku masyarakat sesuai kehendak penentu kebijakan menuju kehidupan yang lebih baik.
Selain tidak selalu rasional, perilaku manusia juga tidak senantiasa menuruti kehendak bebas (free will), seperti dikemukakan oleh sejarawan Yuval Noah Harari dalam buku terbarunya 21 Lessons for the 21st Century.
ADVERTISEMENT
Kebebasan menurut Harari (2018) antara lain terbangun atas kelebihan manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki free will dibandingkan makhluk lainnya. Secara umum, sering diasumsikan bahwa perasaan dan pilihan manusia (atau Homo Sapiens) akan membawa pada pilihan moral terbaik.
Asumsi ini yang ditentang oleh Harari karena free will sejatinya bukan merupakan realitas saintifik melainkan hanyalah mitos yang diturunkan dari ajaran agama (atau doktrin sejenis) yang menjelaskan konsekuensi atas pilihan baik dan buruk (pahala dan dosa).
Mitos ini terlepas dari diskursus terkini tentang perilaku manusia dan makhluk hidup. Singkatnya, manusia tentunya memiliki kehendak, tetapi tidak selalu bebas. Setiap individu tidak selalu dapat memutuskan kehendak yang akan muncul. Atribut yang melekat dalam setiap individu juga sepenuhnya tidak dapat dikontrol.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, manusia membuat dan menentukan pilihan-pilihan tetapi sesungguhnya pilihan tersebut tidak pernah independen. Setiap pilihan akan tergantung sekali dengan kondisi biologis, sosial, dan personal yang seringkali tidak dapat ditentukan secara sadar.
Harari mencontohkan bahwa apa yang kita makan, pakaian yang kita kenakan, dan kepercayaan yang kita anut sesungguhnya adalah cerminan pilihan yang ditentukan sebagian oleh banyak faktor, seperti genetik, biokimiawi, gender, latar belakang keluarga, kebudayaan, dan lain sebagainya. Saat yang sama ada beberapa faktor di luar kuasa kita seperti jenis kelamin, tanah kelahiran, atau status sosial ekonomi keluarga ketika kita lahir.

Meningkatnya Kesalehan Individual

Dalam konteks Indonesia terkini, perihal rasionalitas sangat relevan untuk dikaitkan dengan sikap keagamaan yang diyakini akhir-akhir ini cenderung menguat.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, pengajaran dan praktik keagamaan saat ini diindikasikan menguat ditandai dengan meningkatnya derajat kesalehan seperti tertulis dalam laporan survei ISEAS bertitel The Indonesia National Survey Project: Economy, Society and Politics tahun 2017 (hal. 16-24).
Warga yang semakin religius seringkali diasosiasikan dengan orientasi politik yang berubah, terutama setelah kejadian Pilkada Gubernur DKI tahun 2017 yang diduga melibatkan politik identitas untuk menciptakan “pembelahan” dalam masyarakat sebagaimana tulisan ini.
Jika melihat hasil survei Pew Global Attitudes dan Gallup terbaru, terlihat masyarakat Indonesia (bersama dengan Ethiopia, Uganda, dan Pakistan) sebagian besar (>90%) menunjukkan arti penting agama dalam kehidupan sehari-hari.
Di Amerika Serikat, lebih dari 50% populasi masih menganggap penting agama dalam kehidupan. Adapun, peran agama hanya diakui oleh seperlima populasi di negara maju seperti Inggris, Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.
Korelasi antara Arti Penting Agama dengan Tingkat Pendapatan per Kapita (sumber: https://ourworldindata.org/economic-growth)
Di beberapa negara berkembang—termasuk Indonesia—peningkatan derajat kesalehan individual umumnya tidak (belum) serta-merta diiringi oleh kesalehan sosial (social piety). Hal ini ditandai dengan masih banyaknya persoalan di kalangan masyarakat. Tidak mengherankan jika kita sering dapati kasus dan skandal besar melibatkan individu yang berpenampilan dan seolah-olah berkarakter "taat beragama".
ADVERTISEMENT
Mulai dari skala terkecil seperti perilaku disiplin berlalu lintas dan etika keseharian hingga ke problem korupsi yang sudah membudaya sebagaimana diuraikan oleh Peter Carey (2016). Jika terdapat indeks kedisiplinan, diduga nilai kita pasti akan rendah. Belum lagi kasus-kasus penipuan (fraud) skala besar seperti penggelapan dana calon jamaah umroh First Travel dan Abu Tour, atau investasi bodong kebun kurma, dan lainnya.
Sebagian perilaku tak terpuji seperti ketidaktertiban berlalu-lintas atau tidak bisa mengantre mungkin dapat dijelaskan dengan keterbatasan fasilitas dan minimnya edukasi. Secara anekdotal kita bisa saja membuat kausalitas antara sikap pengendara yang ugal-ugalan karena saking banyaknya kendaraan atau ulah pengguna angkutan umum yang saling serobot karena khawatir tidak terangkut mengingat frekuensi (headway) yang begitu lama.
ADVERTISEMENT
Namun, terlalu banyak dalih juga tidak mencerminkan akhlak yang baik, bukan?

Manifestasi Nilai Agama

Konflik sosial dan percekcokan (termasuk yang terjadi di media sosial) yang kian meningkat menjelang momen politik menandakan nilai-nilai kebaikan dalam agama belum diejawantahkan seutuhnya dalam perilaku keseharian.
Islamicity index yang diperkenalkan oleh Rehman dan Askari (2010) mungkin tidak menangkap aspek transendental atau spiritual melainkan hanya berfokus pada hakikat praktik beragama dan hubungan antar-manusia (hablun minan-naas), sebagaimana dirumuskan dalam lima poin maqashid (tujuan ber-syariat) yang direpresentasikan menjadi sub-komponen indeks meliputi ekonomi, hukum, tata kelola, kemanusiaan, dan kebebasan berpolitik. Menggunakan perhitungan ini, Indonesia selalu menduduki papan tengah di antara 152 negara.
Sumber: http://islamicity-index.org/wp/

Inovasi Aturan dengan Muatan Agama

Adapun, spiritualitas yang tinggi sebenarnya turut mengilhami inspirasi dalam penyusunan kebijakan publik. Sebagai contoh, larangan buang sampah sembarangan dengan aturan hukum positif semacam Perda atau Pergub banyak dilanggar.
ADVERTISEMENT
Alih-alih patuh, warga cenderung mengabaikan peraturan bahkan terkesan melecehkan, menantang dan tidak takut dengan ancaman hukuman.
Larangan buang sampah sembarangan yang tidak dipatuhi warga. Sumber: http://kabar7.com/detail/sudah-ada-spanduk-larangan-warga-masih-nekat-buang-sampah-sembarangan/1527/2014-02-06
Menanggapi persoalan seperti ini, bermunculan spanduk yang substansi dan redaksionalnya mengutuk atau mendoakan para pelanggar untuk mengalami musibah besar. Mungkin terlihat lucu atau aneh, namun fenomena ini sesungguhnya juga menandakan adanya signifikansi peran agama dalam rekayasa aturan publik.
Secara umum, larangan seperti ini biasanya lebih efektif dalam mencegah pelanggaran dibandingkan aturan hukum positif. Tanpa pengawasan berarti dan penegakkan (enforcement) yang tidak pasti, anehnya masyarakat justru lebih mematuhi (atau takut dengan) aturan seperti ini.
Larangan buang sampah sembarangan dengan doa dan kutukan. Sumber: http://palingseru.com/77018/lihat-peringatan-seperti-ini-masihkah-kamu-mau-buang-sampah-sembarangan-di-sini
Kebijakan publik dengan basis agama dapat dan sudah diterapkan di banyak bidang. Kita telah mengenal sertifikasi halal untuk produk obat dan makanan. Sebagian kita juga menemukan aturan yang terdengar sepele dengan muatan religius seperti spanduk imbauan makan menggunakan tangan kanan seperti di Kota Depok.
ADVERTISEMENT
Namun, sebagian besar kurang menonjolkan bentuk ancaman yang nyata dan menakutkan bagi pelanggarnya, tidak seperti larangan buang sampah yang disertai kutukan (meskipun belum tentu kutukan tersebut "ampuh" bekerja mengenai si pelanggar).
Anteseden terhadap bentuk larangan beserta kutukan sebenarnya memiliki akar sejarah panjang. Sekitar abad ke-10 Masehi di daerah Malang, Jawa Timur, terdapat prasasti Sangguran yang berisi perintah penguasa Mataram Hindu kepada rakyatnya untuk membayar pajak dengan disertai kutukan bagi para pelanggarnya.
Artefak yang diambil oleh Thomas Stamford Raffles (berkuasa di Jawa pada 1811-1816) untuk dihadiahkan kepada Lord Minto dan diboyong ke tanah Britania diduga menjadi penyebab celaka bagi keluarga pewaris benda keramat ini.
Contoh lainnya dapat ditemui di situs purbakala bekas kerajaan Sriwijaya. Banyak prasasti kutukan diletakkan di tempat strategis seperti dekat pelabuhan besar yang dilalui jalur pelayaran mancanegara atau daerah aliran sungai yang biasanya subur.
Prasasti Sangguran yang sekarang berada di kediaman keluarga Minto di Skotlandia. Sumber: http://thewonderhouse.co.uk/collector-extraordinaire-exhibition-opening
Berkaca dari fenomena seperti ini, pemangku kepentingan dapat melakukan rekayasa penyusunan kebijakan dengan memanfaatkan seperangkat aturan agama. Riset dari Yamane dan Oldmixon (2011) menunjukkan bahwa agama adalah fenomena yang kompleks dan multidimensional dalam mempengaruhi politik dan kebijakan publik.
ADVERTISEMENT
Menggunakan studi kasus proses legislasi di Wisconsin dengan metode structural equation model, dampak penerapan aturan berbasis agama terbukti dipengaruhi efektivitasnya oleh afiliasi keagamaan, arti penting (salience) agama, dan advokasi kelompok keagamaan.

Belum Tentu Efektif

Meskipun demikian, perlu juga diketahui bahwa aturan berlandaskan agama tidak serta merta efektif. Ketaatan terhadap aturan agama dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya adalah otoritas pihak penerbit aturan dan ancaman yang konkrit.
Pangsa perbankan syariah terhadap perbankan nasional, data dari Bank Indonesia (berbagai periode)
Jika tidak dipenuhi, keberhasilan adopsi kebijakan publik bernuansa agama tidak akan efektif mengubah perilaku masyarakat. Misalnya, pangsa perbankan dan keuangan syariah yang stagnan pada kisaran lima sampai enam persen, meskipun berkecenderungan meningkat.
Ini mengherankan karena sudah terbit fatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia atas bunga bank konvensional sejak tahun 2003, yang selanjutnya diikuti oleh fatwa haram bunga bank oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 2010.
ADVERTISEMENT
Rendahnya pangsa perekonomian syariah ini, antara lain dapat dijelaskan oleh tafsir yang berbeda atas pemahaman konsep bunga dan riba (interest dan usury).
Sebagian ulama (mayoritas dari kalangan Nahdlatul Ulama) menyatakan bunga bank saat ini tidak memenuhi kriteria sebagai riba, sehingga tidak dapat diharamkan begitu saja.

Nudging Positif

Sudah saatnya digagas penyusunan aturan yang mampu merekayasa perilaku warga secara efektif. Dalam konteks Indonesia, banyak sekali persoalan yang berakar dari sikap dan perilaku yang belum positif.
Ketidaktertiban dalam mengantre, berlalu-lintas, dan berinteraksi umumnya bermuara pada lingkungan yang tidak kondusif untuk berniaga dan bernegara. Revolusi Mental yang sempat digaungkan beberapa waktu lalu menjadi relevan untuk mengintervensi dan merekayasa perilaku individu.
Sayangnya, sejauh ini belum terlihat jelas kebijakan konkrit selain perumusan jargon, slogan, dan imbauan moral belaka.
ADVERTISEMENT
Dalam bidang lain, persoalan defisit pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional yang diduga disebabkan salah satunya karena moral hazard (mendaftar hanya ketika sakit dan berhenti bayar iuran ketika sembuh) sesungguhnya dapat dijadikan topik riset menarik dan eksperimen sosial menuju ke perumusan kebijakan.
Mengingat asas kepesertaan jaminan kesehatan bersifat wajib, pengenaan sanksi (yang lebih tegas) seharusnya adalah suatu keniscayaan untuk menegakkan peraturan menuju penjangkauan kepesertaan yang lebih luas.
Namun di sisi lain, sanksi yang terlalu berat juga akan menimbulkan komplikasi persoalan dan mengarah pada tuduhan penzaliman warga.
Guna menjawab persoalan ini, solusi kreatif seperti penyusunan arsitektur pilihan yang melibatkan kondisi psikologis masyarakat menjadi pilihan logis.
==0O0==
Referensi:
Carey, Peter & Suhardiyoto Haryadi (2016). Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia. Komunitas Bambu. Depok.
ADVERTISEMENT
Fossati, Diego, Hui Yew-Foong & Siwage Dharma Negara (2017). The Indonesia National Survey Project: Economy, Society and Politics. ISEAS-Yusof Ishak Institute. Singapore.
Harari, Yuval Noah (2018). 21 Lessons for the 21st Century. Jonathan Cape Publishing. London
Rehman, Scheherazade S. dan Hossein Askari (2010). How Islamic are Islamic Countries? Global Economy Journal. Volume 10 Issue 2. DOI: 10.2202/1524-5861.1614.
Simon, Herbert (1982). Models of Bounded Rationality: Empirically Grounded Economic Reason. MIT Press. Cambridge, MA
Thaler, Richard & Cass R. Sunstein (2008). Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. Penguin Books. London
Yamane, David dan Elizabeth A. Oldmixon (2011). Religion in the Legislative Arena Affiliation, Salience, Advocacy, and Public Policymaking. Legislative Studies Quarterly. Volume31, Issue3. DOI:10.3162/036298006X201878.
ADVERTISEMENT
____________________