Kisah di Balik Pedagang Asongan

DHEA ALVIONITA
Mahasiswi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2022 13:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DHEA ALVIONITA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pedagang. Foto: (Dhea Alvionita)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pedagang. Foto: (Dhea Alvionita)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dibawah terik matahari, keringat membasahi seluruh sisi wajahmu. Kamu si laki-laki pincang yang memiliki gangguan pada nada bicara, akrab dipanggil Ancih. Sebagai pedagang asongan, kamu tetap semangat berjualan hingga tak ingin dikasihani hanya karena keterbatasanmu.
ADVERTISEMENT
Lahir pada 1 Juni 1975. Kamu tumbuh dengan kondisi yang berbeda setelah mengalami kejang-kejang (step). Hal itulah yang menyebabkanmu pincang dan adanya gangguan pada nada bicara yang membuat suaramu tidak terdengar jelas.
Dengan kekurangan yang kamu miliki, tidak membuatmu patah semangat. Berangkat dari keinginan dirimu sendiri, kamu ingin membuktikan bahwa dirimu juga bisa mencari uang.
Meskipun kenyataannya bekerja di jalanan tidak mudah, apalagi dengan keterbatasanmu. Namun, kamu tetap berjualan demi sesuap nasi.
“Cari uang di jalanan cape, tapi kalo tidak dagang, mau makan apa?” kata Ancih, sambil menenteng barang dagangan.
Awalnya, barang yang dijual hanyalah tisu dan sapu tangan. Untuk tisu dibanderol dengan harga Rp 3.000. Sedangkan sapu tangan dibanderol dengan harga Rp 5.000.
ADVERTISEMENT
Namun dagangan tersebut tak bertahan lama, kamu merasa orang-orang sudah mulai bosan dengan barang tersebut. Sebelumnya, banyak orang datang menyerbu daganganmu, tetapi kini hanya beberapa orang saja yang menghampirimu.
Hal itu tidak membuatmu patah semangat. Kamu percaya akan selalu ada jalan bagi orang-orang yang ingin berusaha.
Berbagai usaha sudah dilakukan olehmu untuk menarik kembali perhatian pembelimu. Otakmu terus berpikir. Kemudian, terpikirlah lap kanebo dan kipas tangan. Lap kanebo dibanderol dengan harga Rp 12.000. Sedangkan, kipas tangan dibanderol dengan harga Rp 3.000.
Kini kamu mulai kembali bangkit dengan ide barumu. Tanpa mengenal lelah, kamu mulai berjualan kembali. Panas dan hujan tak dihiraukan. Satu per satu pembeli mulai tertarik dan menghampirimu. Tak terasa, barang daganganmu mulai ludes.
ADVERTISEMENT
Apakah ini yang dinamakan usaha tak akan mengkhianati hasil? kata Ancih, sambil melihat barang dagangan yang mulai ludes.
Bersyukur, itu yang kamu lakukan saat ini. Meskipun barang daganganmu laris manis, kamu tidak pernah lupa menyisihkan uangmu untuk meringankan beban orang tuamu.
Kamu juga mengakui bahwa pernah dituding sebagai pengemis oleh tetanggamu dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Tetapi, kamu menutup rapat kedua kupingmu dan memutuskan untuk tidak menyerah begitu saja.
Untuk itu, tak perlu peduli seberapa kejam omongan orang lain tentangmu. Yakin dengan dirimu adalah kunci yang selalu kamu tanamkan. Akhirnya, dari pedagang asongan itulah yang hingga kini dapat menghidupimu dan kedua orang tuamu.
(Dhea Alvionita/Politeknik Negeri Jakarta)