Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.1
Konten dari Pengguna
Legenda Danau Malawen: Cerita Lisan Masyarakat Barito Selatan
5 Juni 2024 10:26 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nur Dhea Shafira Azzahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Danau Malawen adalah sebuah danau yang terletak di Desa Sanggu, Kabupaten Barito Selatan, Kalimantan Tengah. Letak Danau Melawen lebih kurang 15 km dari Buntok, ibu kota Kabupaten Barito Selatan.
ADVERTISEMENT
Danau yang konon kabarnya dikeramatkan oleh Suku Dayak ini memang memiliki pesona yang begitu indah. Danau Malawen ini hampir sama dengan danau yang ada di sebelahnya yakni Danau Sanggu yang juga memiliki fasilitas seperti gazebo, wahana air bebek-bebekan dan area pemancingan.
Dan yang lebih mengesankan adalah adanya taman anggrek yang ada di kawasan Danau Malawen, berbagai jenis anggrek ada di sana, seperti anggrek hitam yang bisa kamu lihat secara dekat juga tumbuh subur di taman anggrek.
Tempat wisata di Kalimantan Tengah ini semakin indah, karena adanya pepohonan kelapa yang tumbuh di pinggiran danau, sekilas hampir mirip berada di pantai jika melihat berjajar rapi pepohonan kelapa.
Di sebuah hutan daerah Kalimantan Tengah, Indonesia, hidup sepasang suami-istri miskin. Meskipun hidup serba pas-pasan, mereka senantiasa saling menyayangi dan mencintai. Sudah sepuluh tahun mereka berumah tangga, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Sepasang suami-istri tersebut sangat merindukan kehadiran seorang buah hati belahan jiwa untuk melengkapi keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha kuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan. Untuk itu, hampir setiap malam mereka berdoa memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar impian tersebut dapat menjadi kenyataan.
Setiap harinya mereka melakukan doa puasa berharap agar keinginannya terkabul. Setelah beberapa bulan berlalu, sekitar 3 bulan. Ternyata doa mereka di dengarkan oleh Sang Maha Kuasa, Suatu sore sang istri merasa seluruh badannya tidak enak dan ia merasa mual-mual. Akhirnya mereka pun mendapatkan sebuah tanda-tanda akan kehadiran si buah hati dalam keluarga mereka.
Waktu terus berjalan, tidak terasa sudah sembilan bulan berlalu. Pada malam itu sang Istri melahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Kumbang Banaung. Alangkah senang dan bahagianya sepasang suami-istri itu, karena anak yang selama ini mereka idam-idamkan telah mereka dapatkan. Mereka pun merawat dan membesarkan Kumbang Banaung dengan penuh kasih sayang.
ADVERTISEMENT
Setiap harinya ia mereka memberinya petuah atau nasihat agar ia menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan selalu berlaku santun serta bertutur sopan ke mana pun pergi. Sang ayah juga mengajarinya berburu.
Seiring berjalannya waktu, Kumbang Banaung pun tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan rupawan. Namun, harapan kedua orang tuanya agar ia menjadi anak yang berbakti tidak terwujud. Perilaku Kumbang Banaung semakin hari semakin buruk. Semua petuah dan nasihat sang ayah tidak pernah ia hiraukan.
Pada suatu hari, sang Ayah sedang sakit keras. Kumbang Banaung memaksa ayahnya untuk menemaninya pergi berburu ke hutan.
“Maafkan Ayah, Anakku! Ayah tidak bisa menemanimu. Bukankah kamu tahu sendiri kalau Ayah sekarang sedang sakit,” kata sang Ayah dengan suara pelan.
ADVERTISEMENT
“Benar, Anakku! Kalau pergi berburu, berangkatlah sendiri. Biar Ibu menyiapkan segala keperluanmu,” sahut sang Ibu.
“O iya, Anakku! Ini ada senjata pusaka untukmu. Namanya Piring Malawan. Piring pusaka ini dapat digunakan untuk keperluan apa saja,” kata sang Ayah sambil memberikan sebuah piring kecil kepada Kumbang Banaung.
Setelah menyiapkan segala keperluannya, berangkatlah ia ke hutan seorang diri. Setelah menyusuri hutan cukup lama ia belum juga mendapatkan seekor binatang. Ia tidak ingin pulang ke rumah tanpa membawa hasil. Akhirnya, ia melanjutkan perburuannya dengan menyusuri hutan tersebut.
Tanpa disadarinya, ia telah berjalan jauh masuk ke dalam hutan. Ketika masuk ke dalam hutan hutan, di lihatnya sinar api ternyata Kumbang Banaung sampai di sebuah desa bernama Sanggu. Sinar api yang dilihatnya itu ternyata berasal dari desa itu, di sana sedang diadakan upacara adat yang diselenggarakan oleh Kepala Desa untuk mengantarkan masa pingitan anak gadisnya yang bernama Intan menuju masa dewasa.
ADVERTISEMENT
Upacara adat itu diramaikan oleh pagelaran tari. Ketika dilihatnya gadis yang bernama Intan, begitu terpesona Kumbang Banaung oleh kecantikannya. Tidak terasa, hari sudah hampir sore, Kumbang Banaung segera pulang ke rumah. Pada malam harinya, Kumbang Banaung tidak bisa memejamkan matanya, karena teringat terus pada wajah Intan.
Keesokan harinya, Kumbang Banaung berpamitan kepada kedua orangtuanya ingin berburu ke hutan. Namun, secara diam-diam, ia kembali lagi ke Desa Sanggu ingin menemui si Intan. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa Intan adalah gadis cantik yang ramah dan sopan, maka ia pun jatuh hati kepadanya. Begitu pula si Intan, ia pun tertarik dan suka kepada Kumbang Banaung.
Namun, keduanya masih menyimpan perasaan itu di dalam hati masing-masing. Sejak saat itu, Kumbang Banaung sering pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Namun tanpa disadari, gerak-geriknya diawasi dan menjadi pembicaraan penduduk setempat.
ADVERTISEMENT
Menurut mereka, perilaku Kumbang Banaung dan Intan telah melanggar adat di desa itu. Sebagai anak Kepala Desa, Intan seharusnya memberi contoh yang baik kepada gadis-gadis sebayanya. Oleh karena tidak ingin putrinya menjadi bahan pembicaraan masyarakat, ayah Intan pun menjodohkan Intan dengan seorang juragan rotan di desa itu.
Perjodohan Intan dengan juragan rotan terdengar oleh Kumbang Banaung. Kumbang Banaung segera menemui Intan, dan mengungkapkan perasaannya kepada Intan. Kumbang Banaung juga yakin bahwa Intan juga mencintainya, setelah beberapa saat ia mendesak, akhirnya Intan pun menceritakan keadaan yang sebenarnya.
Intan juga mengakui bahwa ia juga suka kepadanya, namun takut dimarahi oleh ayahnya. Mengetahui keadaan Intan tersebut, Kumbang Banaung pun segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan niatnya kepada kedua orangtuanya agar segera melamar Intan.
ADVERTISEMENT
“Kita ini orang miskin, Anakku! Tidak pantas melamar anak orang kaya,” kata sang Ayah.
“Dengarkan, perkataan ayahmu, Nak! Orang tua Intan tidak akan menerima lamaran kita,” sahut ibunya.
“Tidak, Ibu! Aku dan Intan saling mencintai. Dia harus menjadi istriku,” jawab Kumbang Banaung.
“Urungkanlah niatmu itu! Nanti kamu dapat malapetaka. Mulai sekarang kamu tidak boleh menemui Intan lagi!” perintah ayahnya.
Kumbang Banaung tetap tidak menghiraukan nasihat kedua orang tuanya. Ia tetap bersikeras ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Pada suatu malam, suasana terang bulan, diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari.
Pada saat malam hari, pada waktu itu hujan rintik – rintik. Kumbang Banaung yang tetap ingin menikahi Intan bagaimana pun caranya. Diam-diam ia pergi ke Desa Sanggu untuk menemui Intan. Ia berniat mengajaknya kawin lari. Setelah melihat keadaan di sekelilingnya aman, keduanya berjalan mengendap-endap ingin meninggalkan desa itu.
ADVERTISEMENT
Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba beberapa orang warga yang sedang meronda melihat mereka. Begitu warga melihat Kumbang akan membawa lari Intan, warga segera membunyikan kentungan. Warga berdatangan mereka memanggil Kumbang dan mengejar mereka. Kumbang dan Intan berlari menghindari pada warga hingga akhirnya mereka sampai di sebuah sungai.
Mereka tidak dapat menyeberangi sungai tersebut. Dalam keadaan panik, Kumbang Banaung tiba-tiba teringat pada piring malawen pemberian ayahnya. Ia pun segera mengambil piring pusaka itu dan melemparkannya ke tepi sungai. Secara ajaib, piring itu tiba-tiba berubah menjadi besar. Mereka pun menaiki piring itu untuk menyeberangi sungai. Mereka tertawa gembira karena merasa selamat dari kejaran warga.
Sementara, orang tua Intan marah luar biasa mengetahui kejadian itu. Amarahnya yang membara hingga terucap sumpah pada keduanya, lebih baik kalian menjadi buaya penunggu danau daripada menjalani hidup tanpa restu orang tua.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah sumpah dilontarkan, muncul angin ribut dan langit menjadi gelap gulita. Guntur dan petir menyambar membelah angkasa, hujan lebat turun tanpa henti. Piring sakti yang membawa Kumbang dan Intan terbalik di tengah danau. Dengan begitu, kesaktian anak muda dikalahkan oleh kata-kata petuah orang tua.
Setelah kejadian singkat itu, kedua anak muda yang dimabuk asmara berubah menjadi sepasang buaya. Akhirnya, mereka menjadi buaya hitam dan putih penunggu danau. Sementara danau tersebut di beri nama Danau Malawen oleh Masyarakat setempat.