Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kesenjangan Pendidikan Bagi si Kaya VS si Miskin
4 Mei 2025 14:30 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Dheavica Angelie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah tanggung jawab bersama yang membutuhkan komitmen jangka panjang, karena hal ini berkaitan langsung dengan pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional, yang bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat demi terciptanya kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Pendidikan menjadi salah satu sarana pembebasan dari kemiskinan. Melalui pendidikan, masyarakat dari latar belakang dengan ekonomi yang kurang beruntung mendapat kesempatan untuk mengubah nasib mereka. Namun, apakah semua masyarakat telah mendapat kesempatan yang setara dalam menempuh pendidikan?
Realitas di lapangan menunjukkan adanya hambatan yang signifikan. Kondisi ekonomi orang tua turut mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendidikan anak. Kondisi ekonomi ini ditentukan oleh pendapatan, jenis aktivitas ekonomi, serta kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, tingkat anak yang tidak bersekolah pada berbagai jenjang pendidikan masih cukup tinggi, terutama pada kelompok usia sekolah menengah. Total anak yang tidak bersekolah di tingkat SD mencapai 0,71 persen pada 2022 dan 0,67 persen pada 2023. Ketika beranjak ke jenjang SMP atau sederajat, angkanya meningkat signifikan. Jumlah anak SMP yang tidak bersekolah berada di angka 6,94 persen pada 2022 dan 6,93 persen pada 2023. Data tersebut lebih mencolok lagi terlihat pada jenjang SMA atau sederajat yang mencapai angka 22,52 persen pada 2022 dan menurun menjadi 21,61 persen di 2023.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan pada akses pendidikan berkualitas masih terjadi di antara daerah urban dan rural, juga antara kelompok ekonomi kelas atas dengan kelompok ekonomi yang berbeda. Padalah, mengutip dari University of York dalam Septiani (2023) dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor keluarga berperan penting dalam menentukan keberhasilan di bidang pendidikan. Kondisi ini memicu munculnya kesenjangan antara anak-anak dari keluarga kurang mampu dengan mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi lebih baik.
Dalam penelitiannya, diungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah umumnya memulai pendidikan dengan kemampuan bahasa yang lebih terbatas dibandingkan teman-teman mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi yang lebih baik. Kekurangan ini membuat mereka kesulitan memaksimalkan kesempatan belajar di sekolah, yang pada akhirnya berdampak pada perolehan nilai yang lebih rendah di jenjang pendidikan dasar dan menengah, sehingga mereka juga memperoleh jumlah kualifikasi pendidikan yang lebih sedikit.
Mereka yang berada dalam kondisi ekonomi baik, cenderung lebih mudah memperoleh layanan pendidikan yang layak dan berkelanjutan. Sebaliknya, masyarakat yang kurang mampu kerap menghadapi berbagai hambatan untuk mendapatkan pendidikan sesuai harapan mereka.
ADVERTISEMENT
Secara umum, anak-anak dari keluarga menengah ke atas cenderung lebih mendapatkan arahan mengenai pentingnya pendidikan untuk masa depan. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga dengan kondisi ekonomi rendah seringkali kurang mendapat bimbingan serupa, karena orang tua mereka lebih fokus pada upaya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dengan keadaan ekonomi yang mencukupi, seseorang dapat memilih sekolah yang berkualitas dengan fasilitas pendidikan yang lebih memadai. Mereka memiliki kesempatan yang lebih besar dalam memilih pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang masih kurang beruntung.
Anak-anak yang berasal dari kondisi ekonomi yang berkecukupan tak khawatir jika mereka tak bisa membeli buku. Mereka tak mengkhawatirkan biaya yang mereka butuhkan selama menempuh pendidikan. Mereka dapat fokus menempuh pendidikan tanpa mengkhawatirkan kondisi ekonomi keluarganya.
ADVERTISEMENT
Berbanding terbalik dengan itu, anak-anak dari kalangan ekonomi yang kurang mampu menghadapi keterbatasan dalam akses pendidikan. Mereka tak memiliki kesempatan yang besar untuk memilih kualitas pendidikan seperti kalangan atas. Mereka dipenuhi harap cemas dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya.
Tak hanya sampai disana, kesenjangan ini juga dapat dilihat dari pemilihan media dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Muhamad Yasin (2015):
Pemilihan media tidak terlepas dari program pembelajaran. Sehubungan dengan adanya media besar dan media kecil, penggunaan media besar akan memberikan harapan dimana pendidikan akan dapat menjadi lebih produktif. Akan tetapi disatu sisi, hal ini memerlukan biaya yang besar, hal ini tentu menjadi masalah terutama di negara-negara yang sedang berkembang.
ADVERTISEMENT
Kondisi ekonomi juga berpengaruh pada peluang pendidikan lanjutan seseorang. Keluarga dengan kondisi ekonomi yang stabil memiliki peluang lebih besar untuk mendukung pendidikan lanjutan anak, seperti kuliah atau pelatihan pasca-sekolah menengah. Kesempatan ini memungkinkan anak untuk mengasah keterampilan khusus dan meningkatkan prospek kerja di masa depan. Sebaliknya, keluarga dengan keterbatasan ekonomi seringkali mengalami hambatan dalam memberikan akses pendidikan lanjutan, karena kendala biaya menjadi tantangan utama dalam mendukung jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Adanya hal tersebut menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga ekonomi kelas atas memiliki akses yang jauh lebih baik ke pendidikan berkualitas tinggi dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga dari kalangan ekonomi yang kurang beruntung. Hal ini perlu diatasi untuk mengoptimalkan potensi pendidikan sebagai pendorong utama mobilitas sosial.
ADVERTISEMENT
Menyikapi hal ini, pemerintah Indonesia tak boleh abai dalam menjaga kualitas pendidikan di semua sekolah. Jelas penting betul setiap kebijakan yang diambil pemerintah dalam memperhatikan isu pendidikannya. RUU Sisdiknas dalam merancang sistem pendidikan setidaknya harus menitikberatkan pada tiga isu fundamental. Hal tersebut meliputi pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, dan kolaborasi dalam pendanaan pendidikan.
Problem pemerataan terhadap akses pendidikan masih belum tuntas. Mengingat kondisi geografis dan topografis Indonesia bervariatif, perhatian yang lebih terhadap keadaan pendidikan di daerah terpencil perlu mendapat prioritas yang serius dari pemerintah. Kebijakan yang dibuat pemerintah dalam percepatan layanan pendidikan haruslah dibuat tanpa diskriminasi.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia perlu terus diperkuat. Berdasarkan berbagai indikator, mutu pendidikan nasional masih tertinggal dibandingkan dengan sejumlah negara lain, sehingga memerlukan perhatian serius dan langkah perbaikan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sejatinya memiliki tanggung jawab utama untuk menjamin hak setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas, termasuk memberikan akses yang merata bagi masyarakat kurang mampu. Namun realitanya, tanggung jawab tersebut kerap diabaikan, dengan berbagai alasan seperti keterbatasan anggaran. Padahal, alasan ini tidak seharusnya menjadi pembenaran untuk melepas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Biaya pendidikan yang tinggi di Indonesia bukan lagi hal baru. Meski secara nominal tergolong lebih rendah dibandingkan negara-negara lain yang tidak menganut sistem pendidikan gratis, kenyataannya masih banyak masyarakat Indonesia yang kesulitan membiayai sekolah anak-anak mereka. Inilah yang menjadi salah satu faktor utama tingginya angka putus sekolah dan rendahnya angka partisipasi pendidikan di jenjang lebih tinggi. Dalam kondisi ini, pemerintah perlu lebih sigap dan responsif dalam mengatasi persoalan akses pendidikan yang tidak merata akibat kesenjangan ekonomi.
ADVERTISEMENT