Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dahulu Orang Tua Dibantu KPI Melindungi Anak dari Konten Negatif, Sekarang?
29 Desember 2022 11:23 WIB
Tulisan dari Dhela Seftiany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa hari lalu, saya dikejutkan oleh tingkah sepupu perempuan saya yang berusia 4 tahun. Saat berada dalam mobil bersama saya, ia menyangkutkan rambutnya yang dikepang ke jendela mobil dan meminta saya menaikkan kaca. Dengan polosnya, ia berkata, "Ini nanti nyangkut, rambutnya naik ke atas, terus nanti dipotong rambutnya, kayak di Youtube".
ADVERTISEMENT
Sontak saya memintanya membatalkan tindakan berbahaya itu. Namun dalam hati, saya merenung, sebesar itukah konten video Youtube mendorong anak melakukan hal berbahaya?
Pada tahun 2000 an awal, masa di mana saya masih berstatus sebagai anak-anak, hiburan sepulang sekolah hanya terbatas pada satu-satunya TV analog di rumah. Ketika ponsel masih terbatas fiturnya pada pengiriman SMS (Surat Masa Singkat), Telepon, dan game 'cacing', tayangan Unyil, Si Bolang, Spongebob, Upin-Ipin, dan beragam tayangan anak di TV lainnya sangat saya andalkan. Di masa sekarang, tayangan-tayangan itu nampak kalah pamor, konten-konten viral di TikTok dan Youtube nampak lebih menarik, pun mudah diakses.
Dahulu, orang tua saya cukup menyembunyikan remot TV jika ingin saya tetap menonton tayangan anak atau terpaksa ikut menonton berita. Tayangan-tayangan pun sudah diatur sedemikian rupa oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan lulus dari LSF (Lembaga Sensor Film). Salah satu tujuannya adalah untuk menjaga anak-anak dari konten yang tidak seharusnya usia mereka saksikan.
ADVERTISEMENT
Dalam melakukan pengawasannya, KPI mengacu pada P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Dalam P3SPS, diatur pasal-pasal yang berorientasi pada perlindungan hak anak. Contohnya, Pedoman Perilaku Penyiaran mengatur hal tersebut dalam Bab X tentang Perlindungan terhadap Anak, yang berbunyi (1) Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran; (2) Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.
Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi, banyak hal bisa dilakukan melalui ponsel pintar atau smartphone, termasuk menonton beragam tayangan. Berbagai Platform seperti Youtube, TikTok, dan Instagram sudah mampu menyajikan banyak konten yang bisa diakses sesuai keinginan penggunanya.
ADVERTISEMENT
Lain dari TV kabel atau TV langganan yang sama-sama menyediakan lebih banyak pilihan atau bahkan ada yang bisa mengatur tayangan secara ulang, tayangan dalam ponsel bisa lebih liar dari apa yang disajikan dalam televisi. Konten-konten kekerasan dan vulgar tidak turut menjadi pengecualian. Masalahnya, ponsel bukan bagian dari media penyiaran, KPI tidak bisa ambil andil.
Salah satu tindakan berbahaya yang pernah ramai dibicarakan dari konten TikTok adalah blackout challenge. Tantangan viral yang mengharuskan seseorang mencekik diri sendiri atau menahan nafas ini, telah menjatuhkan korban. Dilansir dari Detik Health (15/04/21), seorang anak 12 tahun asal Colorado bernama Joshua Haileyesus meninggal dunia karena mengikuti tren ini.
Di lain sisi, awal tahun 2021 lalu, saya sempat meresahkan semakin banyaknya tayangan reality show dan talkshow di televisi yang seolah mengenyampingkan hak anak dengan menampilkan banyak adegan sensasional di tengah jam tayang anak. Tayangan-tayangan tersebut memperlihatkan bagaimana atmosfer televisi cenderung berorientasi pada rating. 'Bintang tamu' dalam banyak acara televisi bukan lagi orang inspiratif atau berprestasi, melainkan mereka yang viral di media sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana televisi bahkan ikut diatur oleh gelombang di media sosial.
ADVERTISEMENT
Yang menyedihkan, tayangan televisi bahkan ikut mengikuti tren media sosial. Beberapa bulan lalu, banyak acara talkshow yang mengundang Bonge 'Citayam', Intan 'begitu syulit' dan Alif 'cepmek' karena tingkah viral mereka di media sosial. Akhir-akhir ini, Fajar 'sadboy' turut menampakkan wajahnya di televisi karena videonya yang viral. Meskipun tayangan-tayangan itu tidak melanggar P3SPS dalam konteks perlindungan anak seperti kekerasan dan seksualitas, yang disayangkan, konten-konten tersebut berpotensi mendominasi dan menutupi konten-konten edukatif yang seharusnya dikonsumsi anak-anak. Sangat disayangkan, masih banyak orang tua yang cenderung tak acuh terhadap efek jangka panjang dari paparan konten media sosial terhadap anak.
Peran orang tua untuk membatasi penggunaan gadget berikut konten yang mereka saksikan, menjadi andalan. Pengawasan bijak dari orang tua di tengah liarnya konten negatif dan tidak bermanfaat sangat dibutuhkan karena konten yang disaksikan langsung oleh anak melalui ponsel pintar tidak mendapat pengawasan dan penyaringan oleh KPI dan LSF. Hal ini menjadikan orang tua memiliki tugas berlipat untuk memastikan konten yang dikonsumsi anak-anak mereka bersifat edukatif, untuk memanfaatkan masa-masa tumbuh kembang mereka dan memahami perbedaan tindakan benar dan salah sesuai norma masyarakat.
ADVERTISEMENT